13

14.5K 1.4K 64
                                    

Sore hari ini hujan rintik-rintik mengguyur sebagian kota. Dingin yang dihasilkan membuat linu dari rasa sakit yang baru saja dibuat. Berita perihal Adarma masih menjadi topik hangat di berbagai stasiun televisi.

Anindya memilih rebah di kamarnya. Mengistirahatkan segala pikiran yang berkecamuk mengusik rasa. Adeeva tampak gamang di tempatnya. Dia tahu karakter kakaknya dari dahulu. Bahkan dahulu diapun di perlakukan amat picik oleh dirinya. Tapi dia lebih menyayangi kakaknya dibanding semua perilakunya tapi orang-orang diluaran sana tak semua memiliki hati lapang dalam menerima dan memaafkan.

Dipta tampak memeluk istrinya itu dari belakang. Menemani istrinya yang tak sanggup mengeluarkan suara kali ini. Segala rasa sakit dahulu seolah menghantui dirinya kembali.

Suara mobil berhenti di pekarangan kediaman Hardinata. Pintu besar itu terbuka menampilkan Darma yang sudah kuyup. Binar tajamnya redup. Dengan langkah lemah dia menghampiri adiknya. Menyentuh kepalanya.

"Maafin kakak, Terasa lebih baik saat semua ini menamparku dengan segala apa yang telah aku lakukan padamu dahulu."

Deeva berlinang air mata.

"Aku tak meminta balasan untuk tindakanmu dahulu. Aku tak ingin melihat kakak sakit seperti halnya aku. Tidak kak, aku tak ingin kakak seperti ini."

Darma hanya tersenyum. Menanyakan kemana menantunya karena selepas maghrib dia ada pelajaran mengaji.

Humaira yang resah menunggu Arkan di kejutkan dengan pintu kamarnya yang di ketuk. Papa mertuanya itu tersenyum dengan pakaian rapi.

"Papa siap dengan pelajaran baru."

Humaira haru. Dia berlari dan memeluk Papanya. "Arkan pa." Adu Ira.

"Biarkan dia dahulu. Terlalu terkejut dia dengan keadaan ini."

Humaira mengangguk. Berjalan beriringan menuju mushola rumah ini. Humaira kira mushola ini akan kosong tapi semua keluarga sudah berada di dalam termasuk Anindya, mama mertuanya yang sepertinya sudah diberi penjelasan oleh suaminya.

Humaira tersenyum. Saat tak lama kakaknya Ihsan datang dan langsung berdiri di hadapan mereka mengimami.

Selesai shalat maghrib disaat yang lain mendengarkan tausiyah Ihsan. Darma dan Ira asyik dengan dunia mereka. Papanya sedang mengaji surat Al fatihah. Setelah kemarin sudah mampu baca Al-qur'an. Lalu ke Al baqarah. Ira mengiringi suara lantunan ayat suci papa mertuanya dengan air mata.

Darma yang keras hatinya itupun berlinang. Terasa hidayah itu merengkuhnya, melunakan hatinya yang keras.

"Bagus Pa. Tinggal tajwidnya nanti kita pelajari lagi. Ira ada bukunya. Papa pelajari nanti kita bahas."

Darma mengangguk antusias. Anindyapun merasakan perasaan haru luar biasa. Kehadiran menantunya membawa efek positif terhadap keluarganya.

Setelah melaksanakan shalat isya. Ihsan dibawa keruangan kerja Hardinata. Harry dan Adarma sudah duduk di kursi mereka. Irapun ikut serta. Reynand anak itu masih di perusahaan. Menangani segala sesuatunya begitupun Arkan.

"Jadi bagaimana berbisnis dengan cara yang baik itu Ustadz?" Tanya Harry.

Ihsan dengan mengucapkan bismillah menjelaskan sesuai apa yang dia ketahui. Humairapun menimpali dengan wawasan yang ia pahami. Harry dan Adarma tampak tercenung. Banyak kealpaan yang mereka tanamkan di perusahaan mereka.

"Saya sudah menilai rekan kerja saya. Dan mengambil keputusan untuk berhenti bekerja sama kepada orang-orang yang seperti itu." Ujar Harry.

Humaira baru tahu bahwa Perusahaan Hardinata ada dibelakang hiburan malam yang mewah dan menjadi sponsor bagi event-event yang membuat Ira tercengang.

Diam Yang TerpilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang