17

14.8K 1.3K 64
                                    

Mentari yang kemuning diufuk timur, Langit yang tempias berserakan awan seputih kapas. Angin menari-nari bersama dedaunan mengajaknya bercanda. Mobil mewah menembus jalanan sisa embun dini hari tadi. Si pengemudi dan seseorang disampingnya saling berpegangan erat tapi taka ada percakapan yang keluar. Dari kejauhan terlihat gerombolan wartawan dikediaman Hardinata itu.

Si pengemudi yang tak lain Arkan menghela, jengah dengan segala sandiwara yang dibuat entah oleh siapa. Wartawan yang waktu itu dia pukuli sempat mau berdamai dengannya karena bujukan Rey tapi sekarang Wartawan itu tetap kembali memilih jalur hukum, Arkan disini memang bersalah dia tidak bisa menguasai emosinya saat itu.

Satpam kediaman Hardinata membantu mobil yang di kemudikan majikannya bisa masuk dan menerobos kumpulan Wartawan, Diapun pimpinan dari salah satu pertelevisian di Indonesia jadi tak bisa memungkiri bahwa infotainment bekerja sebagai dirinya santapan sebuah berita.

Arkan turun beserta istrinya, Anindya tampak senang melihat menantunya kembali. Ira mencium tangan mertuanya dan memeluknya. "Sehat Ma?" Tanyanya begitu sarat akan kasih sayang.

"Mama sehat sayang, senang kamu kembali lagi kesini."

"Iya Ira juga, Papa mana?"

"Di kantor, sibuk dengan sekelumit masalah ini."

"Beliau tahu Ira kembali?"

"Ya, katanya sudah gak sabar ingin belajar mengaji lagi bareng kamu, Kemarin bacaan Papamu itu sudah bagus waktu nyuruh Mama dengerin dia ngaji."

"Alhamdulilah. Tante Deeva?"

"Entah, Dia sama ikutan kakaknya. Suka misterius entah untuk apa."

Liliana Nenek Arkan datang dan memeluk cucu menantunya itu. "Rumah tanpa kamu terasa sepi nak, Jangan kemana-mana lagi ya."

"Insya Allah nek."

Setelah itu sepasang suami istri itu naik ke kamar mereka karena Arkan sedari tadi hanya diam. Sesampainya di kamar, rengkuhan hangat melingkupi Ira. Arkan memeluknya erat. "Aku sedang tak mengerti takdir, Tapi jika ada kamu aku bisa berlapang dada." Ira hanya tersenyum dan mengusap pelan punggung suaminya. "Jika segala usaha telah kita lakukan. Yang kita lakukan tinggal tawakkal kepada Allah. Mungkin, ini cara Allah membersihkan dosa-dosa kita. Anggap saja ini sebagai penghapusan kedzaliman kita di masa lampau."

"Kak, Bukankah jika dipikirkan begitu terbuka banyak sekali tingkah kita yang melukai Allah dan mengabaikan sunah Rasulallah. Tapi ia tetap memberikan rahmannya tanpa meminta timbal balik. Disaat kita ditimpa kemalangan diri yang kerdil ini selalu merasa Tuhan itu tak adil. Adil yang seperti apa? Adil yang bagaimana? Disaat kita melesatkan ketidakadilan kepada Rabb kita tapi kitanya sendiri tak adil dalam hidup dan ibadah kita sendiri."

Arkan mengangguk dalam pelukan istrinya. Nasehatnya begitu lembut. Membuka hatinya untuk lapang menerima segala ketentuan apalagi ini masalah yang memulainya Arkan sendiri kepada wartawan itu. Arkan melepaskan pelukannya, menangkup wajah istrinya yang begitu sejuk disaat dilihat. "Aku tak masalah diluaran sana memojokanku sampai sudut, asalkan istriku ada disini. Bersamaku." Ujarnya sambil mengecup pipi istrinya sayang.

"Ira disini sekarang."

Arkan tersenyum dan meluapkan kerinduannya kepada istrinya dan Ira istri shalihah yang mengerti apa yang suaminya ingini. Disaat senja kembali Ira baru keluar dari kamarnya karena Arkan dipanggil Reynand menuju ruangannya. Ira ke dapur dan membantu memasak untuk makan malam.

Di ruangan Reynand. Arkan tampak santai sekali wajahnya "Wajah apaan itu. Kamu akan di penjara. Paham." Cecar Reynand.

"Biarkan saja."

Diam Yang TerpilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang