18

14.3K 1.3K 39
                                    

Langit selalu tak sama jika tidak ada mentari yang menghiasi luasnya, Senja tak akan dinanti jika tidak ada kemuning jingganya. Serta lautan tak akan membanggakan jika tidak ada ombak yang menemaninya. Semua lengkap disaat saling menggenapkan satu sama lain.

Kini, mereka diharuskan berpisah kembali. Kini, dalam keadaan yang mencubit hati. Kekosongan itu terasa kembali saat Arkan diam dibalik jeruji besi tanpa ada istri yang ia sayangi disisinya

Dia berkali-kali mengingatkan akan kelapangan hatinya, tapi air mata itu lolos begitu saja. Dia terpekur sendiri, mengurutkan kesalahan dirinya di masa lampau, Dia tipikal lelaki yang tidak banyak tingkah jika dia ingin melakukan pembelaan kepada Rabbnya, saat diberikan ujian seperti ini tapi dirasa sia-sia karena Allah lebih tahu dibanding dirinya sendiri.

Suara lirihnya terus-terusan beristigfar, Dia tak seharusnya melesatkan apa yang terjadi di hidup ini kepada Rabbnya, apa tidak keterlaluan jika seperti itu? disaat kita hidup hanya dari belas kasihanNYA. Manusia yang memiliki kepala yang kebanyakan ingkar dan mudah berprasangka tak baik, selalu mencaci perihal keadilan Tuhan saat tertimpa masalah.

Arkan meluaskan hatinya kembali. Di tempat lain Humaira di kediaman Hardinata, dia tak melamun seperti kebanyakan orang yang tertimpa masalah. Perempuan itu sedang sibuk di dapur membantu memasak sedangkan yang lain sedang di rundung gelisah yang tak sudah tapi perempuan ini tetap terukir sebuah senyuman tulus dari wajahnya.

"Apa kamu tak terluka,Nak?" Tanya Liliana neneknya. Humaira hanya tersenyum sambil memanggil yang lain untuk makan malam karena sedari tadi siang perut mereka pada belum diisi.

"Kakek, Makan malam dulu yuk, simpan dulu kerjaannya nanti Ira bantu." Ujar Ira sambil mengusap bahu yang sudah senja itu.

"Kakek tak lapar sayang, masih banyak kerjaan yang harus dikerjakan."

"Makan tidak menghabiskan waktu berjam-jam kok, Jangan zalim sama tubuh kakek sendiri, merekapun harus diberikan hak berupa nutrisi untuk menunjang kinerja kita sebagai manuasia." Jelas Ira.

Hary menghentikan pekerjaannya, berdiri dan menyambut uluran tangan cucu menantunya. Di meja makan semua sudah berkumpul. Ternyata Papanya Darma yang turun tangan untuk memanggil yang lainnya. Siapa yang tidak mau menurut jika beliau sudah berkata.

Darma hanya menatap menantunya lembut. "Tadi Ira masak ini." Ujar Ira begitu riang.

"Arkan makan apa ya di penjara." Ujar nenek Liliana saat melihat makanan yang terhidang di meja makan. Semua keluarga terhenti dan serempak menatap Humaira. Nenek Lilianapun seolah sadar dia keceplosan dan mengutarakan kecemasan dan dipastikan Humaira lebih merasakan keresahan apa yang mereka resahkan.

Air mata itu jatuh dalam diamnya, dia hapus dengan cepat. Melantunkan istigfar berkali-kali. "Mudah-mudahan asupan makanan yang di makan kak Arkan baik baik dirinya, Aamiin." Do'a Ira.

Semua keluargapun hanya ikut mengaminkan dan sesekali melihat perempuan berhati lembut itu yang berkaca-kaca matanya. Selesai makan Ira membantu membereskannya.

"Istirahat sayang, kamu belum istirahat sedari tadi."Ujar Mama mertuanya. Ira mengangguk dan naik ke kamarnya. Sesampainya disana tubuhnya luruh, dia menangis sejadi-jadinya.

"Ilahiii." Lirihnya merasakan segala perasaan yang penuh sesak menghimpit hatinya. Tapi dia tak larut dalam gelisah. Segera dia ambil wudhu, menghadap kiblat lalu muroja'ah hapalannya.

Dalam tilawahnya air mata itu selalu membersamai tapi bibirnya tak berhenti untuk melantunkan ayat suci. Kini, tangannya menengadah mencurahkan isi hatinya kepada sang maha pembolak-balik hati.

"Ilahi, apa tak apa? Jika aku selalu berkeluh-kesah padamu, sedangkan dihadapan manusia selalu mampu aku menegakan muka. Syukurku tak akan habis, untuk segala kenikmatan yang engkau berikan dari aku belum memiliki jiwa dan sampai saat ini. Ya rahman, Kasihanilah selalu suamiku, berikan keridhoanmu kepadanya, Aamiin."

Diam Yang TerpilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang