05

22.4K 1.8K 113
                                    

Mentari mengintip, Tak memberi secercah sinar. Ia bersembunyi di balik awan kelabu pagi ini. Gerimis menggoyangkan dedaunan. Ibu kota pagi ini begitu sendu di hari libur. Seperti menyuruh para pemeluk rutinitas untuk istirahat sejenak.

Di dalam kamar yang gordennya berkibaran tertiup angin karena jendelanya di biarkan terbuka. Lelaki itu menatap layar handponenya dengan serius. Dia seperti memikirkan sebab akibat apa yang terjadi jika dia mendial nomer rumah calon istrinya itu.

Akhirnya jemari itu menekan tombol hijau di layar handponenya dan menempelkannya di telinga.. Dia duduk dengan tenang. Tak terlihat bahwa hatinya sedang gusar luar biasa.

Disaat telponnya ada yang mengangkat lelaki itu reflek berdiri. "Assalamualaikum." Salamnya.

"Wa'alaikumussalam. Passwordnya." Ujar di sebrang sana.

Lelaki itu mulai menampakan reaksi kebingungan di wajahnya. Kakak iparnya yang menjawab. Annisa Sidiq. Tak lama terdengar suara tawa.

"Tidak ada password telponnya saya tutup. Terimakasih sudah menelpon." Ujar Anisa lagi.

Tut.

Sambungan telpon itu terputus. Arkan ternganga di tempat. Keningnya berkerut. Dia di kerjai? Atau apa? Punya kakak ipar seusil Nisa membuatnya tidak bisa bereaksi biasa - biasa saja.

Dia sekarang mondar - mandir. Memikirkan password apa yang diinginkan kakak iparnya itu. Tidak berapa lama telponnya berdering panggilan dari rumah calon istrinya.

Arkan mengangkat dengan cepat "Passwordnya Saya mencintai Humaira Sidiq." Jawabnya cepat dan lantang.

Hening.. tidak ada yang menjawab.

"Halo." Ujar Arkan. Karena panggilannya masih tersambung.

Tidak ada jawaban. Arkan mulai berpikir. Apa jangan - jangan yang menelponnya? Dia menelan ludah susah payah.

"Ini Ira kak." Ujar suara di sebrang sana.

Arkan serasa mau loncat dari lantai dua rumahnya. Wajahnya panas, Jantungnya berdetak begitu cepat. Arkan maluu..

Terdengar suara cekikikan di sebrang sana. Kakak Iparnya pasti.

"Ada apa?" Tanya Ira lagi.

Arkan termangu. Suara lembut itu membuatnya jadi salah tingkah. Dia menundukan wajahnya, menggaruk tengkuknya dan tersenyum kecil. Reynand yang bersinergi dengan Nisa sedang mengintip di celah pintu. Kamera itu dia arahkan kepada seseorang yang sedang di rundung asmara itu.

Humaira di rumahnya juga diam dengan senyum yang dia sembunyikan. Walaupun Arkan tak kunjung menjawab pertanyaannya. Walaupun tak ada lagi yang bersuara. Telpon itu masih mereka genggam kuat - kuat di telinga.

Sampai tangan Nisa menyambar gagang telpon itu.

"Maaf ya adik ipar, Tagihan telpon nanti mahal." Ujar Nisa lalu memutus telponnya lagi.

"Kakak." Rengek Ira.

"Nanti juga kalau sudah sah kamu ngobrol 24 jam. Ngapain telpon - telponan begitu.ihhh kayak anak SMP aja." Ledeknya.

Humaira langsung mengikuti langkahnya ke ruang makan.

"Ada apa sih kalian pagi - pagi udah ribut?" Tanya Abi.

"Ira nih bi."

"Kak Nisa bi." Ujar adik kakak itu bebarengan.

Ihsan tidak ada di ruang makan. Pasti kakak lelakinya itu masih tertahan di pesantren karena hujan pagi ini semakin deras.

"Ira mau jemput kak Ihsan dulu."

Ira keluar rumahnya. Membentangkan payungnya dan berjalan menembus hujan. Kaki berkaos kakinya basah. Dia berjalan sambil menyenandungkan rindunya dalam rinai hujan yang menelusup menghantarkan gigil.

Diam Yang TerpilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang