Disaat mentari mengintip dibalik bukit.Rumah besar kediaman keluarga konglomerat ini terlihat megah dari luar. Didalamnya di mushola rumah ini Adarma sedang duduk bersila di depan menantunya.
Dia mengikuti apa yang menantunya ucapkan.
"Papa udah bagus bacaannya. Papa pernah belajar mengaji?"
"Pernah, waktu kecil. Diajari pengasuh papa saat itu."
"Alhamdulilah, berarti papa dasarnya sudah punya. Mengagumkan tidak pah? Bahwa hal baik yang tertanam dipikiran kita akan kembali jika kita menggunakannya."
Adarma terlihat mengangguk. Lelaki paruh baya yang menghabiskan masa mudanya dengan keangkuhan, kepicikan terlihat begitu tak malu mendengar nasehat menantunya.
"Papa senang ada kamu di keluarga ini."
Ira tidak bisa menyembunyikan keharuannya. Air matanya menetes di pipinya.
"Papa menyakitimu?"
"Tidak Pa!, Ira seneng aja."
"Papa sudah bicara sama ayah bahwasannya perusahaan Hardinata akan merombak peraturan yang tidak baik, Kalau perlu kita tutup saja."
"Kenapa harus ditutup? Bukankah dari perusahaan keluarga ini banyak karyawan yang menggantungkan hidupnya disini. Ratusan ribu orang yang mencari nafkah disini. Hanya kita perbaiki wadahnya. Nanti Ira akan meminta bantuan kak Ihsan untuk bagaimana cara berbisnis yang baik. Siti Khadijah istrinya Rasulallah dahulupun seorang pembisnis loh Pa."
"Iya? Bagaimana ceritanya."
"Siti khadijah perempuan yang begitu di hormati dikalangan quraisy. Dari nasabnyapun dia baik." Mengalirlah cerita perihal perempuan mulia itu. Yang menghabiskan seluruh hartanya di jalan Allah. Dakwah suaminya yakni Rasullallah.
"Nama besar keluarga ini bisa untuk melindungi mereka-mereka yang tidak beruntung. Harta ini bisa kita gunakan untuk kepentingan ummat. Insha Allah, Allah membukakan jalan."
Adarma mengucapkan Aamiin. Anindya istrinya yang mendengar itu dilanda keharuan luar biasa. Dakwahnya dahulu tidak mempan terhadap suaminya. Tapi menantunya meluluhkan sifat keras itu. Adarma tolak ukur perubahan Hardinata. Sifatnya yang Disiplin mampu menjungkir balikan segala aturan yang salah menjadi baik.
Ira sebentar teringat akan Umar bin Khatab. Papa mertuanya itu pamit meninggalkan dirinya sendirian di mushola. Ira menghela nafas lega.
Dia membereskan peralatan shalatnya. Dibawah dia melihat Deeva sedang menunjukan berbagai bentuk jilbab kepada Arkan. Suaminya.
"Ar, Menurutmu aunty cocok gak pake jilbab?"
"Cocok."
"Ini kemarin Aunty beli di butik desainer muslimah ternama. Tante borong semua. Lucu-lucu habisnya. Nanti siang aunty mau ikut Ira pengajian." Ujarnya antusias.
Ira turun dengan menampilkan senyum manisnya. Jangan jadi orang yang mudah melesatkan komentar. Perbaikilah akhlakmu jangan bajunya terlebih dahulu yang di nomer satukan. Itu berlebihah. Tak boleh. Allah melarang yang berlebih-lebihan.
Sebagai muslimah yang bijak. Rangkulah tanpa celotehan yang menyakiti. Mereka yang berniat berhijrah berikan tempat pengertian dahulu dalam dirimu.
"Wuahh. Bagus sekali bajunya tan."
"Iraaaa.. baguskan? Tante juga kemarin beliin buat kamu. Khusus."
Ira memilah-milah baju yang tak murah itu. Dia memilihkan yang cocok dengan Deeva.
"Ini bagus sepertinya buat tante. Cantik pasti. Masya Allah."
Deeva terlihat berkaca-kaca. Tanpa diduga-duga dia langsung memeluk Ira erat. "Tante kira kamu akan nyeramahin tante kayak ibu ustadz itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam Yang Terpilih
Spiritual[COMPLETED] Keterkaitan cerita #6 Humaira gadis lugu yang terperangkap cinta dalam diam yang tak terelakan. Arkan sosok lelaki yang memiliki segudang pesona telah mengurung Humaira dalam keterdiaman yang dia pilih. Bisakah Humaira menjaga hatinya? t...