16

14.7K 1.4K 69
                                    

Kamar disebuah rumah sederhana ini diisi oleh tangis yang menyayat hati. Humaira menangis dalam pelukan kakaknya. Mengadu akan berbuatan abahnya. Dia sakit saat Abahnya memukulkan tongkat ke punggung suaminya.

"Hati Ira jadi sempir karena hal itu kak, Astagfirulloh." Lirihnya.

Sebagai seorang kakak. Ihsan hanya mengusap lembut bahu adiknya tanpa berujar apapun. Membiarkan Ira puas dengan luapan emosinya terhadap masalah yang kini membelit rumah tangganya.

"Kenapa baru tidak ridho sekarang? Kenapa sebelum Ijab Qabul itu menggemakan seluruh alam. Ira sedih, Ira gak tahu harus bagaimana. Disisi lain Kak Arkan suami Ira, Disisi lain Abah juga seseorang yang Ira amat sayangi dan hormati. Ira tak bisa membuat suasana jadi sepihak kak."

Ihsan kini berujar "Untukmu, seorang yang sedarah denganku. Adiku, Humaira. Dengarkan kakak. Tak salah dengan kekalutanmu, Menandakan kamu memiliki hati yang cenderung kepada kecondongan dan kebimbangan. Hati memang seperti itu. Bukankah kamu memiliki iman? Keyakinan terhadap Rabbmu? Bukankah kelapangan hati menjadi tindakan bagus untuk menyikapi tindakan sekarang."

Ira kini menatap kakaknya. Matanya sembab karena menangis sedari tadi. Baju Koko kakaknya sudah basah karena menampung air matanya.

"Iyaaa." Jawabnya sambil mengusap air matanya.

Ihsan tersenyum. Mengusap pelan kepala adiknya. "Abi dan kakak tak akan banyak bicara karena tahu tabiat abah. Semakin kita membela keluarga suamimu semakin keukeuh untuk beliau menjauhkan kalian. Yang kamu harus tahu, Kakak dan Abi tak pernah merasa salah telah meridhoi kamu di pinang oleh lelaki yang bernama Arkan. Sabar, Kuncinya. Bukankah untuk menempatkan sesuatu ketempat semula itu tak mudah? Banyak duri jika jalanan yang kita lalui dulu banyak bersinergi dengan pemilik benih kedzaliman. Disini, Kita membersihkan. Ikhlas pengiringnya. Tawakkal sebagai penjelasnya."

Ira mengangguk mengerti. Dirasa adiknya sudah tenang kembali. Ihsan pamit kembali ke pesantren. Ira mendial nomer suaminya dan tidak berapa lama ada jawaban.

"Aku tidak apa-apa." Ujar Arkan menenangkan padahal di punggungnya terlihat memar biru memanjang. Lelaki itu mengaduh saat menyentuh memarnya sedikit.

Lelaki itu bertelanjang dada sendiri dikamarnya. Melihat kaca memar di punggungnya. "Ira mau Video Call!." Rengek Ira gak mau dibantah.

"Untuk apa? Bukankah tadi kita sudah ketemu bahkan aku memelukmu dan menciumu." Ujar Arkan sambil menggoda istrinya.

"Itu belum cukup, emang Ira gak boleh lihat wajah suami Ira sendiri." Kesalnya dengan rajukan yang jelas sekali. Arkan terkekeh.

"Boleh, Sayang. Boleh..Sebentarr ya." Arkan mematikan telponnya lalu mendial kembali nomer istrinya dengan Video call. Ira girang mengangkatnya dan wajahnya bersemu saat melihat suaminya sedang bertelanjang dada.

"Malu?? Kataku apa." Ujar Arkan sambil wajahnyapun sama bersemu.

"Kenapa bajunya dibuka? Mau lihat bekas pukulan Abah?"

Arkan diam menatap istrinya. Matanya kentara sekali penuh kasih sayang.

"Iya. Aku tak bisa berbohong padamu."

"Ira mau lihat!" Rengeknya lagi.

"Humairaku, Susah. tangan suamimu itu gak sepanjang itu bisa memvideo punggung sendiri."

Disebrang layar Ira kembali berlinang air mata. "Kenapa selalu menangis hmm? Kamu tak tahu setiap air mata yang jatuh di pipimu aku merasa berdosa."

"Aku menangis karena suamiku sendiri. Kenapa? Gak boleh juga. Aku khawatir" Ira senewen tapi dengan wajah memelasnya.

Arkan tersenyum begitu lembut. "Iya makasih sudah mengkhawatirkanku. Nanti akan aku obati. Nyuruh Mama."

Diam Yang TerpilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang