08

18.7K 1.5K 82
                                    

Disaat mentari membentuk semburat di ufuk timur. Sepasang anak muda ini sedang khusyuk dalam shalat mereka. Suasana shubuh yang membuat ketentraman di hati mereka.

Sang imam memimpin do'a di depan. Istrinya mengaminkan dengan lirih. Selesai, sang imam membalikan tubuhnya ke hadapan istrinya sambil menunduk dalam.

Dengan tangan gemetar, Ira mencium tangan suaminya. Setelah itu dia membuka mukenanya dan memperlihatkan rambutnya yang lembab. Arkan yang melihat itu seketika wajahnya memerah. Dia berdehem lalu sibuk dengan sarung dan sajadahnya.

Tahapan itu menjadi tahapan yang sangat jauh bagi mereka. Jadi setelah melewati kewajiban itu mereka di landa malu yang luar biasa. Sepasang pengantin baru itu bingung kembali saat berinteraksi.

Setiap tatap mengingatkan mereka akan semua itu. Disaat saling bersentuhanpun demikian. Hati mereka serasa mau tumpah saat dalam satu ruangan. Suasananya jadi canggung tak terkira.

"Aku ijin keluar terlebih dahulu." Ujar Arkan terburu - buru sampai kepalanya terjedot pintu yang dia buka sendiri.

"Astagfirulloh. Kakak gak kenapa - kenapa?" Tanya Ira langsung melihat kepala Arkan dan menekannya.

Arkan yang di perlakukan seperti itu wajahnya merah sempurna. Lelaki yang tak pandai berekspresi itu terlihat sekali salah tingkah atas perlakuan istrinya.

"Aku gak kenapa - kenapa." Arkan langsung menurunkan tangan Ira dari keningnya. Tangan mereka saling menggenggam dan malah tertunduk malu.

Sungguh, rasa malu itu membuat rasa di hati menjadi lebih hangat. Merasakan bagaimana indahnya cinta berlandaskan keimanan itu.

"Kakak ke bawah duluan ya."

Ira mengangguk dan melepas suaminya. Setelah itu diapun menyusul untuk membantu mamanya di dapur dan perempuan Hardinata yang lain.

Sebagai seorang ibu. Nindya mengerti sekali perangai anaknya pagi ini. Disaat Arkan melewati dapur menuju kolam pancing. Dua sejoli itu saling lirik lalu tertunduk malu sendiri.

Lumayan lama Ira berkutat di dapur. Setelah menyajikan sarapan di meja makan dia bergegas naik kembali ke kamarnya. Saat dia membuka pintu, Arkanpun baru keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di tubuhnya.

Sesaat mereka terdiam. Menunduk, lalu menggaruk kepala yang tidak gatal.

"I i ra siapin dulu bajunya."

Ira cepat membuka lemari suaminya. Tangannya yang gemetar membuat susunan pakaian itu berjatuhan ke bawah.

"Astagfirulloh. Nanti Ira bereskan, hehe."

Arkanpun sama. Dia sedang memberikan pelembab di wajahnya. Memperhatikan istrinya dari kaca rias. Setelah menyiapkan pakaian suaminya. Arkan menghilang di ruang ganti dan keluar setelah berpakaian rapi.

Mereka mulai bernafas lega walaupun kini Arkan menenteng dasinya memberi kode untuk di pasangkan ke lehernya. Ira berjinjit memasangkan dasi itu. Wajah mereka begitu dekat. Tangan Arkan langsung mengunci pinggang istrinya.

Semua mendadak terdiam. Satu detik dua detik, wajah itu semakin dekat untuk mencium istrinya tapi ketukan di pintu membuat mereka terperanjat lalu Arkan terdorong membentur dinding.

"Lama banget sih turunnya. Yang lain sudah menunggu." Ujar Anindya melongok sedikit di pintu.

Ira yang kaget suaminya terbentur ke dinding karena di dorong olehnya langsung memeluk lengannya erat dan menyembunyikan wajahnya di lengan suaminya.

"Kenapa sayang?" Tanya Nindya melihat menantunya bersembunyi seperti itu.

"Enggak Ma." Ira menggeleng pelan.

Diam Yang TerpilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang