19

15.2K 1.5K 164
                                    

Setiap kejadian selalu ada sebuah alasan, Kebanyakan tak mau mengerti sebuah alasan yang sering disebut tidak ada gunanya. Padahal takdir hidup manusia mereka genggampun karena Tuhan memberinya suatu alasan untuk itu.

Langit selalu cepat untuk merubah warna menandakan pagi dan petang lalu malam, hari berganti tak sabar, seperti ingin kembali bertemu dengan pekan dan bulan.

Dari kejauhan tampak mobil tak murah, berhenti tidak jauh dari gerbang kediaman Hardinata. Tiga hari menuju Arkan bebas dari penjara. Dari dalamnya lelaki yang masih tampak muda menatap resah kedepan sana, ada rindu yang tak terdefinisi karena selama sebulan ini perempuan bernama Humaira itu tak pernah kembali keluar rumah.

Tangannya mendial nomer dan mengintruksikan untuk bergerak tapi besok saja, ujarnya dan melajukan kembali mobilnya dan menjauh dari kediaman Hardinata.

Didalam kediaman itu Humaira sedang duduk di balkon kamarnya, merajut kaos kaki untuk anaknya. Mertuanya Darma menghampirinya.
“Boleh papah menemanimu?” Ira menganggukan kepalanya.

“Papa selalu merasa bersalah, menyuruhmu untuk mencoba menasehati lelaki itu secara tidak langsung. Membiarkanmu berduaan dengannya di dalam mobil, sampai suamimu marah akan hal itu. Padahal papa tahu bagaimana begitu baiknya keluargamu dalam menjagamu.”

Ira seperti biasa, memberikan senyum hangatnya, menggenggam tangan Papanya.

“Jangan larut dalam perasaan bersalahmu itu Pa, Ira tidak keberatan. Papa tahu kenapa Ira setuju? Karena Ira melihat harap besarmu untukku dan siap melesatkan kekecewaan kepada Rabbku karena aturannya kembali.”

Darma terkesiap, Dia sempat berpikir begitu jika menantunya tidak mau menerima tawarannya. Dia kembali akan menantang Tuhannya kembali perihal kata kenapa. Darma tertunduk malu. Bagaimana menantunya mengetahui sifatnya yang tidak terpuji.

“Ira tahu bagaimana susahnya untuk meluruskan niat dan istiqomah.”

“Kamu tahu kenapa Papa ingin lelaki itu tersentuh nasehatmu? Seperti halnya Papa. Dia lelaki yang punya nurani. Membuat Papa tercekik rasa bersalah saat tangan kanan Papa memberitahukan bahwasannya lelaki itu yang membuatnya bungkam untuk tidak memberitahukan adiku Deeva hamil karena takut Papa menyakitinya juga. Dari saat itu Papa sadar, Papa telah berbuat terlalu jauh.”

Humaira mendengarkan dengan seksama curahan hati Papanya tentang masa kelamnya, tentang segalanya. Humaira hanya menjadi pendengar tanpa mengomentari. Memberi senyuman memahami.

“Apa kamu tidak ingin memvonis tindakan mertuamu ini?”

“Untuk apa? Jika Allah saja tidak pernah memvonis hambanya tanpa suatu alasan yang jelas. apalagi ini hambanya sadar akan kesalahannya. Ira hanya manusia biasa dimana ujarannya mampu menyakiti hati sesama manusia jika tidak mampu menjaganya dengan baik”

Darma kembali berurai air mata, menggenggam erat tangan menantunya. Ira memberitahukan suatu kisah teladan Rasulallah, manusia mulia, kekasih Allah yang tidak pernah melesatkan amarahnya dan tuduhannya kepada sesama makhluk walaupun dia jelas menyakitinya.

Bagaimana beliau tetap berujar santun dan tegas saat jadi panglima di medan pertempuran. Beliau tahu dimana tempat untuk bersikap. Ira hanya ingin mencontohnya barang sedikit.

Keesokan harinya, Ira bersuka cita karena besok suaminya akan bebas. Dia akan menjemputnya untuk menghirup udara kebebasan. Sampai gerombolan orang masuk ke kediamannya. Meringkusnya dan membawanya pergi tanpa sempat berteriak meminta pertolongan.

Mata Ira melihat bagaimana satpam kediaman keluarga suaminya ini tak sadarkan diri, Dengan pekikan Mama mertuanya sebelum dia tidak sadarkan diri. Mobil itu melaju dan hilang dibalik tikungan tanpa ada yang mengejar karena lelaki Hardinata posisi semua sudah berada di kantor.

Diam Yang TerpilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang