14

14.3K 1.4K 77
                                    

Siang ini begitu terik. Siaran berita dan infotainment membuat panas suasana hati. Di kediaman keluarga Sidik. Lelaki sudah senja itu ngomel-ngomel sedari tadi.

"Liat Sidik! Kau tak mau mendengarku. Tidak menantu, Tidak besan sama saja kelakuannya."

Muhammad Sidik hanya diam dan sesekali menghela. Dia tak menyela atau mengeluarkan argumennya. Dia membiarkan abahnya itu berkata sesuka hatinya. Disaat sudah tua perangai kita suka kembali seperti anak kecil.

Meledak-ledak dan berpendapat sesuai sudut pandangnya saja apalagi Humaira cucu kesayangannya. Sidik tak mengeluarkan kata sedikitpun. Dia hanya mendengarkan saja.

Di perusahaan Arkan sedang menatap istrinya yang tertidur diatas sajadah setelah shalat shalat dzuhur tadi. Istrinya itu masih dibalut mukena.

Arkan bekerjapun tak konsen. Walaupun Reynand berkata akan menyelesaikan masalah yang menjerat Arkan. Reynand bisa diandalkan tapi ketakutan terbesar Arkan bukan masalahnya tapi kehilangan istrinya.

Dipastikan tak ada anak baik-baik di perangainya sekarang dimata keluarga istrinya itu. Arkan masuk kedalam mushola di ruangannya itu. Merengkuh tubuh istrinya dan merebahkannya di pangkuannya tapi Humaira malah terbangun.

"Kak?" Panggilnya sambil mengedipkan matanya memulihkan kesadarannya.

Arkan hanya diam menatap istrinya dalam. Humaira kini mendudukan tubuhnya lalu mengusap pipi suaminya.

"Apa yang kakak pikirkan?"

"Banyak hal."

"Apa kakak mau berbagi? Agar pikiran kakak sedikit ringan."

"Aku hanya merasa buruk bukan merasa lagi tapi iya. Aku merasa tak memiliki wajah dihadapan keluargamu. Menjadi suami yang timpang sekali disisimu. Aku merasa tak pantas."

"Lalu kenapa? Bukankah dulu kakak Ridho atasku begitupun aku. Kesemua hidupmu adalah hidupku juga."

"Lalu keluargamu? Dia ridho anaknya bersamaku." Arkan mulai tersulut emosi karena dia merasa kacau sekali.

"Bukankah Abi sudah menjabat tanganmu di depan penghulu, sehingga kita halal untuk saling mengasihi."

"Aku tak tahu. Pulanglah, Biarkan aku sendiri dulu untuk saat ini."

Humaira mengangguk. Dia membereskan mukenanya. Sebelum pulang dia menghadap suaminya yang berdiri menjulang di kaca jendela besar.

Humaira mengambil tempat di depan. Lalu melingkarkan tangannya di pinggang suaminya. Arkanpun langsung memeluk istrinya itu. Dia tak mengucapkan apapun hanya pelukannya begitu erat.

"Ira pulang dulu, Insha Allah masalahnya cepet selesai."

Ira mencium pipi suaminya sebelum pulang "kakak tidak lupakan bahwasannya Allah tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hambanya. Masalah ini adalah sebuah ujian yang dipastikan kakak mampu menghadapinya. Yakin kepada Allah seperti halnya kita yakin bahwasannya akan ada hari esok."

Arkan hanya diam. Tak menimpali pun tak memberikan reaksi. Wajahnya datar seperti awal mereka baru saling mengenal.

Ira keluar kantor dengan pengawalan tapi para wartawan itu tidak memburunya. Tetap asyik dengan obrolan sesama rekannya. Yang dicari adalah bos pertelevisian besar ini yang sekarang sedang menatap dingin kehidupan ini.

Sesampainya di kediaman Hardinata. Ira langsung menemui mama mertuanya. "Ma, boleh Ira masuk." Ketuk Ira dipintu kamar yang terbuka.

"Masuk sayang."

"Sudah makan siang Ma?"

Anindya menggeleng.

"Loh kok belum. Ira ambilin yah."

Diam Yang TerpilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang