Pagi ini mentari bersinar seperti seharusnya, Sinarnya menerpa embun-embun dan menjadikannya berkilauan. Di jalan motor sederhana itu di kendarai oleh seorang lelaki yang begitu tampan, Terlihat seorang perempuan yang lebih muda darinya memeluknya dari belakang.
Motor itu masuk kedalam halaman luas sebuah sekolah elit di sekitaran Jakarta. Perempuan yang tampak masih muda dan lugu itu turun.
"Ingat, Pesan kakak kan, Ra?" Tanya si lelaki.
"Iya, Ira paham."
"Kakak, Bertanggung jawab atas keputusan kamu ini."
Gadis lugu itu mengangguk mengerti, Kakaknya langsung mengusap pelan kepala adiknya.
"Nanti, Kakak jemput lagi."
Gadis itu tersenyum, Dia memakai pakaian putih biru dengan segala pernak-perniknya untuk penerimaan murid baru di sekolah menengah atas ini.
Langkah ragu gadis itu masuk lebih dalam ke area sekolah itu, Sesekali menengok kebelakang melihat kakaknya yang mulai menjauh mengendarai motornya.
***
Humaira Sidiq. Hari ini membuat keputusan besar dalam hidup yakni keluar dari lingkungan baik di sekitaran rumanya. Orangtuanya pemilik pesantren ternama di Jakarta bernama Pesantren As-Sidiq dengan dirinya meminta diberikan kesempatan untuk bisa merasakan dunia luar. Dunia tanpa ada gerbang tinggi yang menghalangi pandangannya selama ini.
Abi, Menatap putrinya dengan penilaian. Beliau tidak mudah memberikan kepercayaan kepada anak-anaknya karena di saat melanggar kepercayaannya beliau akan terluka sedangkan sebagai anak, mereka takut membuat beliau berlinang air mata disebabkan terluka akibat tingkah laku mereka.
Humaira Sidiq memiliki kakak lelaki yang bernama Ihsan Sidiq. kakak tertua dan lelaki satu-satunya maju ke depan, Memberikan tanggung jawabnya mengatas namakan Humaira.
"Abi, Ihsan yang akan bertanggung jawab atas keputusan Ira." Ujarnya tenang.
Sebagai seorang kakak dirinya selalu mengerti apa kemauan adiknya dan selalu memberikan dukungan tak habis-habisnya.
Humaira tersenyum saat mengingat kejadian itu di mana dia berani mengutarakan keinginan, karena dia tidak seperti kakaknya yang kedua Annisa Sidiq yang bisa mematahkan segala pemahaman Abi.
Dia terpaut usia satu tahun dengannya dan memilih sekolah di Lembang dan tinggal dengan neneknya di sana.
Sedangkan Ihsan, Dia sudah duduk dibangku kuliah usianya dengab Humaira terpaut hampir lima tahun. Kaka lelaki yang tampan juga begitu shalih. Yang selalu Humaira sedihkan dia tidak berangkat untuk menempuh pendidikan di Mesir karena terlalu mengkhawatirkan keluarganya dan pesantren.
"Di sini juga kakak tetap bisa belajar perihal ilmu agama, Sama saja." Ujarnya saat Humaira menangis tersedu memeluknya.
"Bolehkah? Kakak menitipkan impian ini kepadamu. Kakak harap kamu bisa sekolah di sana."
Humaira mengangguk cepat. Dia bertekad akan melakukannya, Merealisasikan impian kakaknya. Ihsan tidak jadi berangkat karena katanya siapa yang membantu Abi mengurus pesantren selain dirinya.
Kakak lelakinya itu, sudah terjun dalam kepengurusan pesantren sejak masih remaja. Humaira pun kadang heran, ilmu agamanya sangat baik walaupun tidak pernah jauh-jauh dari ruang lingkup pesantren.
Humaira merasa sangat beruntung memiliki mereka. Langkahnya kian dia pacu semakin cepat masuk kedalam sekolah sampai suara ribut para murid menghentikan langkahnya.
"Pangeran Hardinata, Pangeran Hardinata." Bisik mereka malu-malu.
Humaira menatap arah pandangan semua siswi dan terperangahlah diriny, Matanya tidak mampu dia tundukan. Jantungnya berdetak tak karuan melihat seorang lelaki mengenakan jas osis berjalan dengan begitu baiknya.
"Kak Arkan, Diamnya itu membuatku tak mampu berkata-kata." Ujar salah satu siswi.
"Kak, Reynand, dengan titel osisnya mampu membuatku terbata-bata." Sambung salah satu siswi yang berdiri di samping Humaira.
"Lalu siapa namamu?" Tanya hatinya tanpa terkira.
Humaira langsung tersadar dan beristigfar berkali-kali. Kakinya melangkah cepat menjauh dari seorang lelaki yang begitu memesona.
Humaira terduduk di salah satu kursi entah dibagian sekolah yang mana, Yang penting dirinya menjauh, Teringat akan nasehat-nasehat para ustadz dan ustadzah di pesantren.
”Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina. Dia mengetahui yang demikian tanpa dipungkiri.Mata bisa berzina, dan zinanya adalah pandangan (yang diharamkan). Zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan). Lidah (lisan) bisa berzina, dan zinanya adalah perkataan (yang diharamkan). Tangan bisa berzina, dan zinanya adalah memegang (yang diharamkan). Kaki bisa berzina, dan zinanya adalah ayunan langkah (ke tempat yang haram). Hati itu bisa berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan membenarkan yang demikian itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657. Lafadz hadits di atas milik Muslim).
Dirinya meringis mengingat hadits yang selalu diberitahukan kepadanya setiap hari.
"Mata adalah sahabat hati, Jangan sampai hatiku menjadi ikut-ikutan saat mata ini tidak sengaja menyukai. Ya Allah, Abi, umi, Kakak. Maafin, Ira."
Humaira termenung sedih, Baru pertama kali dibebaskan seperti ini. Matanya tidak bisa ia kendalikan.
"Ngapain kamu di sini?" Tanya suara yang asing ditelinganya
Dirinya menengadah dan melihat lelaki itu, Ya. Lelaki itu berdiri menjulang tepat di hadapannya.
"Aku a a a a ku tidak tahu." Jawabnya tergagap.
"Arkan, Ayoo, Murid baru sudah pada ngumpul di lapangan. Asisten itu tugasnya ngintilin bosnya bukan aku nyariin kamu begini. Nyusahin tahu gak." Ujar seorang lelaki yang sama tampannya menghampiri kami.
Jadi namanya Arkan? A R K A N. Teriak hatinya. Ya Allah. Astagfirulloh. Lirih hatinya lagi.
Lelaki yang bernama Arkan itu tidak menimpali sama sekali, Wajahnya datar tak terdeteksi apa yang dia rasakan.
"Eh, kamu murid baru? Kumpul di lapangan ngapain diam di sini?" Teriak lelaki yang baru datang. Kalau tidak salah namanya Reynand. Hati Humaira berbicara sendiri.
"I i ya kak." Jawabnya langsung melangkah terburu-terburu.
"Hei." Teriak suara itu.
"Iya kak." Jawabnya dag dig dug sendiri.
"Tasmu ketinggalan." Ujar Arkan langsung memberikan tas itu kepada Humaira.
"Ikuti kami, Nanti kamu nyasar. Sekolah ini luas." Ujar Arkan langsung berjalan mendahului Humaira.
Nada bicaranya itu tidak berirama tapi entah kenapa membuat telinganya kembali menghinati dirinya sendiri.
Ya Allah. Astagfirulloh. Hatinya yang sadar kembali melafadzkan itu berulang-ulang.
***
Mentari mulai naik lebih tinggi. Memberi cahaya lebih luas kesela-sela semesta. Angin pagi yang kian menghangat mengitari langkah-langkah anak-anak adam yang kembali tenggelam dengan segala rutinitasnya.
Langkah Humaira terlihat berlari kecil mengikuti punggung tegap yang berjalan di hadapannya. Kepalanya senantiasa dia tundukan. Dia anak remaja yang begitu patuh terhadap ajaran islam yang baik itu. Mengagumkan.
***
Assalamualaikum..Selamat pagi dan berakhir pekann..Aku bawa cerita baruuu..Ini Coming Soon yah..Setelah beres cerita Reynand aku akan menggarap cerita ini.
Cerita Zahraiz entah bagaimalah kabarnya. Stuck muluuu..hueeee
Ini cerita Arkan - Humaira..Semoga idenya tetap mulus nantinya.
Aku patenkan dulu ide awalnya disini..Biar nanti tidak kelabakan lagi memulainya..
Oke, Sampai berjumpa nanti dikisah ini kita berfokus dulu ke Rey untuk sekarang ini..
SEMANGATT..
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam Yang Terpilih
Spiritual[COMPLETED] Keterkaitan cerita #6 Humaira gadis lugu yang terperangkap cinta dalam diam yang tak terelakan. Arkan sosok lelaki yang memiliki segudang pesona telah mengurung Humaira dalam keterdiaman yang dia pilih. Bisakah Humaira menjaga hatinya? t...