Duabelas (Egois, bolehkah?

1.4K 165 4
                                    

####

Daniel keluar dari ruangan dr Ong untuk mencari Rose. Ia ingin mengantar Rose pulang. Senyum diwajahnya terlihat jelas. Setelah ia keluar dari lift, matanya terus menelisik setiap lorong rumah sakit. Pandangannya kini tertuju pada objek pencariannya. Senyumnya kembali mengembang saat ia melihat Rose baru saja keluar dari pintu lobi utama.

"Rose" teriaknya, namun Rose tidak mendengarnya. Daniel tersenyum seraya menggelengkan kepalanya, tentu saja Rose tidak mendengar. Dilobi itu banyak orang berlalu lalang.

Daniel keluar dari rumah sakit. Kini ia berjalan dengan sedikit memelankan langkah kakinya. Rose berdiri dipinggir jalan. Mungkin ia sedang menunggu taksi. Ia ingin menggodanya. Sedikit bercanda mungkin mengasyikkan.

Tap

Tap

Tap

"Hey..." Daniel berada tepat dibelakang Rose. Ia ingin membuat Rose terkejut, namun senyum Daniel menghilang saat kedua matanya melihat punggung didepannya bergetar. Rose menangis. Daniel segera beralih, kini ia berada didepan Rose.

"Maafkan aku" Daniel merasa bersalah, seharusnya ia tidak menjahilinya. Tapi sepertinya Rose tidak terganggu akan kehadirannya tadi. Berarti gadis itu memang sudah menangis sebelum ia mendekatinya. 

Rose masih menunduk, menyembunyikan air matanya juga suara tangisnya. Namun gagal, Daniel sudah lebih dulu tahu.

"Aku tidak bermaksud melakukannya. Aku hanya ingin bercanda denganmu, tapi sepertinya waktunya tidak tepat" Daniel merasa sulit untuk bergerak, ia ingin memeluknya tapi ia takut Rose marah. Ia ingin mengangkat wajah Rose tapi ia takut Rose akan kecewa. Daniel hanya bisa diam melihat bahu itu yang terus naik turun.

Rose mencoba menghentikan tangisannya, ia tidak ingin menangis didepan Daniel. Ini menyedihkan. Tapi air matanya tak ingin berhenti.

Ia akui, ada kecemburuan yang merasuk dalam dadanya saat ia melihat wanita lain berada disamping Daniel. Wanita yang lebih pantas untuk Daniel. Ia ingin melupakan kejadian itu, tapi entah mengapa itu sulit. Tiba-tiba saja hadir dalam pikirannya saat ia keluar dari rumah sakit sampai berada dipinggir jalan. Dan Daniel melihatnya.

Bolehkah, ia egois?

'Aku ingin egois, aku ingin bersamamu. Aku ingin kau tahu akupun mencintaimu. Aku ingin selalu disampingmu, aku ingin melupakan perbedaan kita. Aku ingin...' Rose bahkan tidak bisa melanjutkan perkataan dalam hatinya. Ia ingin melakukan semuanya bersama Daniel. Semuanya.

"Apa kau begitu terluka?" Tanya Daniel sekali lagi. Ia khawatir. Sangat.

Rose menguatkan hatinya juga pikirannya, ia mengusap air matanya. Mengangkat wajahnya untuk melihat lelaki itu, lelaki yang ia cintai. Yah, ia jatuh cinta padanya.

"Boleh pinjam dadamu?" Ujarnya lirih. Air mata itu masih tersisa, air mata yang masih menggenang. Daniel menangkap mata itu, mata yang tiba-tiba membuat hatinya bersedih.

Apa yang terjadi dengan gadisnya?

Daniel tidak bersuara, ia hanya mengangguk dan merentangkan kedua tangannya. Mempersilahkannya. Rose dengan cepat memeluk tubuh Daniel erat, wajahnya berada tepat didepan dada Daniel. Rose bahkan bisa mendengar debaran jantung Daniel.

Egoiskah aku sekarang?

"Menangislah" Daniel mengusap punggung Rose, ia memeluknya erat namun Rose yang lebih erat memeluk Daniel.

Air mata Rose semakin mengalir membasahi kemeja putih Daniel. Menangis tanpa suara. Daniel merasakannya, kemejanya mulai basah.

'Rasanya begitu nyaman. Bolehkah? Bisakah? Hanya aku yang bisa memlukmu seperti ini. Bolehkah, dada ini hanya milikku sandaranku saat aku terluka? Aku menyukai debaran jantungnya, iramanya membuatku candu' hatinya terus berujar, Rose menutup matanya. Pikirannya kembali hadir untuk menyadarkannya 'lakukanlah, jika sudah selesai. Lepaskan, karena kau tak pantas mendapatkannya. Lepaskan, karena itu yang terbaik. Yang seharusnya kau lakukan bukan? Cukup. Sudahi keegoisanmu itu, kembalilah pada kenyataan' Rose membuka matanya, menarik tangannya dari punggung Daniel.

"Sudah?" Tanya Daniel yang masih belum melepaskan pelukannya. Ia menyukai lembutnya rambut Rose, juga aroma tubuhnya Rose. Rose mengangguk dalam dekapan Daniel. Wajahnya kini sudah tidak ia dekatkan pada dada Daniel "tapi aku belum selesai"

"Ada banyak orang yang melihat" Rose mengingatkan.

"Biarkan saja, biar mereka tahu. Hanya kau wanita yang selalu ingin aku dekap" Daniel mencium ubun-ubun Rose beberapa kali.

Air mata Rose kembali mengalir dikedua pipinya. Ia juga ingin melakukan hal yang sama, tapi ia hanya menyadari keadaan yang tidak berpihak pada mereka. 

"Lepaskan" Rose berujar lagi, lirih tapi Daniel bisa mendengarnya. Suaranya seperti mengisyaratkan jika ia juga ingin melakukannya tapi ia berbohong.

"Baiklah" Daniel memilih mengalah, mencoba mengerti, Daniel menurut untuk melepaskan pekukannya, kini ia menatap bola mata milik Rose yang sekarang terlihat sembab.

"Terimakasih" Rose memalingkan wajahnya, berjalan meninggalkan Daniel.

Bukan Daniel namanya jika ia hanya berdiam diri melihat Rose meninggalkannya.

"Tunggu" Daniel menarik tangan Rose, untuk menghentikan langkahnya,"apa yang terjadi padamu, heum. Kau membuatku khawatir Rose"

"Aku baik-baik saja" Rose tersenyum, lebih tepatnya terpaksa tersenyum.

"Selalu, kau selalu mengatakan baik-baik saja. Kenapa? Kenapa kau tak pernah mengatakan yang sebenarnya padaku" Daniel melihat senyum palsu itu.

"Karena aku memang baik-baik saja" Rose mengusap sisa air matanya. Cukup, sudah cukup ia terlihat menyedihkan.

"Rose..."

"Aku baik-baik saja, Direktur Daniel"

"Berhenti berbohong Rose!" Nada suara Daniel meninggi, ia marah sekarang. Lebih tempatnya ia marah pada dirinya sendiri yang tak tahu harus berbuat apa melihat Rose. Ia hanya ingin menjadi orang yang Rose butuhkan.

"Lalu, bagaimana jika aku mengatakan. 'Aku terluka', 'aku ingin bersamamu tapi keadaan memaksaku untuk menyadari dimana tempatku dan dimana tempatmu' 'aku ingin melupakan perbedaan diantara kita, aku ingin bahagia bersamamu'. Apa yang akan kau lakukan?"

Ada rasa lega dalam hati Daniel saat Rose mengatakan semua itu, tapi tatapan mata Rose memancarkan kesedihan.

"Kalau begitu kita bersama sekarang, kita akan bahagia bersama-sama. Kita hanya akan melakukan itu" Daniel meraih tangan Rose. Menggenggamnya erat.

"Lalu kau akan mengenalkanku pada orang tuamu?" Tanya Rose menampilkan senyum sinisnya. Ia meremehkan perkataan Daniel.

"Tentu saja. Aku akan membawamu kerumahku. Aku ingin ayah dan ibuku tahu, aku ingin menikah denganmu"

"Ck, pasti bahagia sekali tuan. Aku bisa menjadi menantu keluargamu dan menjadi istrimu" Rose menarik paksa tangannya dari genggaman tangan Daniel.

"Sebenarnya ada apa dengamu? Apa yang terjadi padamu. Kau seperti bukan Rose yang kukenal"

"Bagaimana jika ibumu menanyakan tentangku?"

"Kau tidak usah khawatir serahkan semuanya padaku, aku yang akan menjawabnya"

"Oh ya? 'Ibu ini calon isteriku, hanya seorang anak panti asuhan. Bekerja dirumah sakit kita sebagai asisten dokter spesialis jantung, karena ia akan menempuh pendidikan lagi sebagai dokter spesialis jantung' begitu. Lalu ibumu menjawab 'oh, wanita yang hanya ingin menikah dengan anakku karena hartanya, yang selalu menempel pada anakku karena ia direktur rumah sakit tempanya bekerja' lalu ibumu mengejekku, begitu. Wahh drama yang luar biasa"

"Aku tidak mungkin mengatakan seperti itu"

"Lalu apa? Apa yang akan kau katakan?"

"Ya... e... yang jelas bukan seperti yang kau katakan Rose"

"Lihat, kau bahkan tidak tahu apa yang akan kau katakan. Sadarlah tuan, sebuah dinding besar terlihat nyata antara kita. Terimakasih sudah meminjamkan dadamu. Selamat malam"

"Kenapa kau bisa seegois ini? Kau seperti orang lain"

"Aku? Egois? Benarkah? Wahhh aku bahkan tidak memikirkannya" 'maafkan aku tuan' lanjutnya dalam hati. Rose mati-matian menahan gejolak hatinya. Lagi lagi ia menuruti pikirannya, meski hatinya menentangnya.

"Tentu saja. Kau benar-benar egois. Kau hanya melakukan untuk dirimu sendiri. Oh atau dari awal aku memang benar. Kau memang hanya ingin memikatku, lalu aku jatuh cinta padamu. Lalu kau akan lakukan apapun untuk bisa mendapatkan uangku. Iya?!!"

'Aku memiliki alasan untuk itu. Baiknya memang seperti ini, agar aku bisa menjauh darimu dan kau membenciku' batin Rose menarik nafasnya dalam-dalam.

"Iya! Lihat, bukankah aku bahkan lebih hebat dari aktris korea" Rose tertawa sinis. Ia merasa tawa itu tertuju untuk dirinya yang menyedihkan. Sangat menyedihkan.

"Kau benar-benar menjijikan Rose!" Daniel berlalu meninggalkan Rose, membawa perasaan marah dalam hatinya.

Tes

Air mata itu, air mata yang sudah ia tahan akhirnya keluar lagi bersamaan dengan punggung lebar itu yang semakin menjauh dari pandangannya. Ini keputusannya, ia harus lakukan semuanya. Biarkan Daniel membencinya. Biarkan Daniel menganggap dirinya egois.

"Ini caraku mencintaimu tuan" Rose mengusap air matanya yang masih terus mengalir. Ia berusaha menahannya, sudah cukup. Tapi air matanya tidak bisa dengan mudah ia tahan. Ini karena hatinya yang begitu terluka.

'Aku tidak egois' batinnya

Rose berjalan dengan gontai, pikirannya mengatakan ia sudah lakukan semuanya dengan baik. Namun hatinya, hatinya terluka. Ia ingat saat keluar dari ruangan dokter Ong. Ia bertemu dengan wanita paruh baya namun masih terlihat cantik juga segar. Wanita itu mengenalkan dirinya sebagai ibunya Daniel. Ia juga ingat apa yang ibunya Daniel katakan.

"Tentu saja aku tahu, kau mencintainya bukan? Jika benar kau mencintainya lepaskan dia, kau bisa lihat dia ada diantara mutiara bukan? Dia bukan pasir yang bisa dengan mudah diinjak semua orang, dia mutiara yang begitu nyata. Banyak orang yang menginginkannya, banyak orang yang ingin memilikinya. Dia tampan, memiliki banyak uang, sukses. Wanita mana yang tidak mau bersamanya. Ahh inilah kenapa aku tidak menyukai dia kenal dengan orang miskin"

Rose duduk dihalte bus, kepalanya menunduk. Ia menangis, tangannya terulur untuk menenangkan hatinya. Mengusapnya pelan, meremas pakaiannya kuat-kuat.

Ini menyakitkan. Seharusnya ia tidak seperti ini. Ini lebih menyakitkan dari yang pernah ia alami dulu saat diJerman.

"Maafkan aku, tidak hanya kau yang tersakiti. Aku juga, aku bahkan lebih sakit tuan" Lirihnya, air matanya mengalir lagi bersamaan dengan kalimat terakhirnya.

Rose hanya berharap ini mimpi buruk yang akan hilang saat ia terbangun.

"Kau harus bahagia tuan, harus"

Next....

Akhirnya ada ide lagi, maaf yah part ini menyedihkan. Semangat buat nunggu part bahagianya, pasti bakal muncul kok. :)

07122017

FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang