Delapan Belas

3.9K 157 20
                                    

Aku berbalik dan berjalan keluar. Tapi tiba-tiba Simon menahan lenganku. "Mau kemana kau?" Aku hanya bisa menatapnya. Lidahku terasa kelu.

"Dia sudah kelewatan, nadz!!" tiba-tiba saja Simon menarik tubuhku, menyeretku ke hadapan mereka. Otakku yang mendadak kosong ini hanya bisa terkejut tanpa bisa memprotes. Kedua orang itu terkejut saat melihat kami menghampiri meja mereka. Aku memalingkan wajah tidak ingin menatap James tapi Simon tiba-tiba mengangkat daguku dan mencium bibirku.

Aku terbelak. Sepertinya arwahku sudah terlepas dari ragaku. Setelah beberapa detik ia melumat bibirku di hadapan James, Simon berkata kepadaku, "Bilang padanya, Nadz, bahwa kau akan..."

BOUGH...!! BRAAAK...!! PRAAANG...!!

Aku mengerjap kaget saat tiba-tiba saja tonjokan James mendarat di wajah Simon. Membuat laki-laki itu terhuyung menabrak meja-meja di sampingnya. Menjatuhkan piring dan gelas-gelas.

"Aku akan membunuhmu jika kau berani menyentuhnya," desis James dengan nafas naik turun. Aku melihat ada aura pembunuh dalam tatapan matanya. Lalu, tiba-tiba saja dia menarik tanganku dan menyeretku pergi meninggalkan mereka di sana.

Genggaman tangannya begitu erat hingga terasa sakit. Jangankan untuk memberontak, untuk mengeluh saja aku tidak bisa. Sepertinya tenggorokanku tersumpat. Aku hanya bisa menangis. Ia terus menarikku sambil berjalan cepat, mengabaikan orang-orang yang ditabraknya. Hingga tidak lama kemudian, kami berjalan memasuki sebuah loby hotel mewah. Ia terus menarikku melewati koridor lantai satu dan masuk ke dalam sebuah kamar.

BLAAAM...!! Dibantingnya pintu dengan keras lalu memutar tubuhku hingga ke hadapannya dan langsung melumat bibirku kasar. Aku tidak bisa menyebutnya ini sebagai ciuman. Ia mendorongku ke belakang sambil terus melumat bibirku.

"Aakh," aku memekik pelan saat kurasakan perih pada bibirku. Lalu, aku merasakan sesuatu yang asin. Bibirku berdarah.

Dia tidak menghentikan ciumannya sampai kakiku tersandung tempat tidur hingga tubuh kami berdua jatuh ke atas tempat tidur. Air mataku meleleh. Dia bukan seperti James yang kukenal. Tanganku mencengkeram kaosnya erat-erat. Semakin lama, ciumannya semakin memelan dan hanya mengecupi bibirku. Kemudian ia melepaskan bibirku dan membenamkan wajahnya ke dalam leherku. Dan dia terisak untuk yang pertama kalinya.

Aku tertegun mendengarnya. Air mataku mengalir semakin deras. Kuangkat kepalanya, kutangkup wajahnya dengan kedua tangaku. Pipinya basah, matanya terpejam.

"Maafkan aku..." bisiknya pelan. Kukecup bibirnya lembut. "Maaf, love..." bisiknya lagi. Kukecup lagi bibirnya. Kuhapus air matanya dengan ibu jariku.

"Tidak apa-apa, James," bisikku. Ia membuka matanya dengan sedikit terkejut.

Detak jantungku... Aku selalu saja berdebar-debar saat ia menatapku.

"Bibirmu terluka..." bisiknya dengan raut wajah sedih. Diusapnya luka di bibirku dengan ibu jarinya. Aku sedikit meringis karena perih. "Sakit?" tanyanya.

Aku menggeleng pelan. Lalu, dikecupnya bibirku dengan teramat pelan "Nadz, peluk aku," bisiknya.

Aku menaikkan tubuhku bersandar pada bantal dan headboard ranjang sementara ia meletakkan kepalanya di dadaku dengan tangan memeluk pinggangku. Rasanya hangat... untuk beberapa saat kami hanya diam. Tidak ada pertanyaan atau penjelasan. Kami menyelesaikan semuanya lewat batin dan tatapan.

"Nadz,"

"Hmm?"

"Kau ingin tahu apa yang kulakukan saat aku merindukanmu jika aku akan tidur?!"

"Apa?"

"Aku menonton film,"

"Kenapa tidak menelponku?"

Kamu Yang Aku PilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang