Sembilan Belas

3.1K 190 12
                                    

“Uugh…” aku mengerjapkan mata sambil memegangi kepalaku yang terasa pusing. Badanku terasa berat. Kulirik seseorang yang masih pulas di sampingku. Seperti biasa, menatap wajahnya untuk memulai hariku. Tanganku terulur meraih laci meja lampu dan membukanya.

Kuambil sebuah camera lalu memotretnya. Ah, dia terlihat sangat, well sexy. Kukembalikan kameraku sebelum dia merebutnya lalu berbisik di telinganya “James, bangun!!”

Dia tidak bergeming sama sekali. Kuusap-usap kepalanya lembut. Ia mulai bergerak pelan.

“Love, kamu harus ke kantor. Bangunlah,”

“Bisakah kau mengatakan pada Papa kalau aku sakit?” tanyanya dengan suara serak, masih memejamkan mata.

Kupencet hidungnya, “Kau mengajariku untuk berbohong, eh?”

Ia tersenyum lalu membuka mata. “Aku benar-benar malas dan ingin melanjutkan kegiatan kita tadi malam,”

Astaga Tuhan. Apa dia tidak tau kalau kata-katanya itu membuat wajahku ini memerah?! “Jangan kekanakan. Ayo, cepat bangun!!”

“Morning kiss,” katanya sambil memejamkan mata. Aah… chuup… “Mmmhhh…”

Sial, tangannya menahan tengkukku, membuat niatku yang hanya mengecupnya kini tertahan. Bibirnya melumat nikmat bibirku. Kau tau? Ciumannya selalu memabukkan. Tapi dia tidak memberiku kesempatan sama sekali untuk bernafas. Aku memukul-mukul dadanya. Astaga, apa dia ingin membunuhku?

“Haaaah…” kulepas paksa ciuman itu. “James! Kau ingin membunuhku, hah?” teriakku pada laki-laki yang masih memejamkan mata sambil mengambil nafas itu.

Dia tersenyum tanpa dosa kepadaku. Dan tidak… sudah jam berapa sekarang ini? Kucari ponselku dengan panik dan seketika melotot saat melihat jam di layar ponsel.

“Love, cepat bangun! Ini sudah setengah tujuh lewat!” teriakku panik sambil menyambar baju handuk. Secepat kilat aku keluar kamar. “Kalau sepuluh menit lagi kau belum siap, aku akan menggantungmu! Pakai jasmu yang sudah kugantung di depan lemari!!”

Aku menghela nafas pelan. Kulihat file-file di depanku dengan malas. Sepertinya aku tidak enak badan hari ini. Rasanya badanku lemas. Saat sarapan tadi pun perutku tidak enak. Apa aku sakit? oh ayolah… Apa yang bisa dilakukan suamiku itu jika aku sakit?! Well, tentu aku tidak ingin memakan bubur hancurnya itu saat sakit.

Aku sudah lulus kuliah dua bulan yang lalu. Dan sekarang aku membantu Mama bekerja di butik gaun pengantin miliknya. Sebenarnya aku juga menjadi editor di perusahaan Papa, tapi itu bisa kulakukan sebagai sampingan saja.

“Nadine, ada seseorang yang ingin melihat desain terbaru kita, bisa kau tunjukkan?” tanya Mama. Terlihat ia sedang membawa kotak berisi aksesoris gaun.

“Tentu, Mah,” jawabku sambil beranjak dari duduk. Aku berjalan menemui sepasang pria dan wanita yang tampaknya akan menikah itu. Keringat dingin mulai mengalir di tengkukku. Nafasku terasa berat. Sepertinya aku memang sakit.

“Selamat siang,” sapaku sambil membungkuk pada pasangan itu. “Apa anda ingin melihat desain terbaru kami? Mari saya tunjukkan,” ucapku ramah. Kuantar mereka ke sebuah ruangan. Di sana ada beberapa manequein yang menggunakan gaun pengantin dan beberapa rak yang berisi gaun-gaun.

“Silahkan anda melihat-lihat,” ucapku lagi “Bagaimana model yang anda inginkan?”

“Kami ingin yang sederhana saja, tapi manis dan mewah,” ucap wanita itu.

“Ah, tunggu sebentar,” aku berjalan menuju sebuah rak. “nia, bisa kau bantu aku mendorong rak ini?” pintaku pada seorang gadis yang menjahit manik di sebuah gaun.

“Iya, sebentar,” jawab gadis itu kemudian menghampiriku.

Tiba-tiba saja aku merasa dunia berputar. Keseimbanganku hilang. “Mbak Nadine!!!” teriakan itu sempat kudengar sebelum semuanya gelap.

“Uugh…” aku merasakan kepalaku berdenyut-denyut.

“Nadine sayang…”

Suara itu. Suara James. Aku mengerjapkan mata pelan dan melihat wajah itu ada di sana. Menatapku dengan cemas.

“Aku kenapa?” tanyaku pelan sambil berusaha bangun.

“Kau pingsan tadi,” jawabnya sambil membantuku duduk.

“Apa kau sakit, Nadine?” tanya Mama.

“Aku sepertinya tidak enak badan…”

“Kenapa tidak bilang padaku?”

“Tunggu… apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku pada James.

“Tentu saja melihatmu, bodoh!! Kau pikir siapa yang tidak panik saat mendapatkan telepon kalau kau tiba-tiba saja pingsan?” semburnya.

“Ah… kenapa Mama menelepon James?! Aku hanya pingsan!!”

“Hanya pingsan??” James melotot kepadaku. Oke, itu berlebihan. Aku hanya pingsan, bukan mengalami kecelakaan atau semacamnya.

“Ayolah, James… aku haus,”

Yuli, salah satu pekerja dengan cepat mengambil segelas air lalu memberikannya kepadaku. Aku menggeleng pelan, “Aku ingin air es,” bisikku serak.

Dengan cepat Yuli mengambilkanku air es. “Apa kau baik-baik saja?” tanya James setelah aku minum. “Aku tidak apa-apa, James, kau kembalilah ke kantor,”
“Tidak, kuantar dulu kau ke rumah sakit!!”

“Tidak perlu, aku tidak apa-apa, sungguh,”

“Pergi saja, Nadz, wajahmu terlihat pucat,” kata Mama.

“Atau aku akan di sini terus dan tidak akan kembali ke kantor!” ancam James.

Aku mendesah pelan, “Baiklaaah…” jawabku tidak rela.

“Bagaimana, Dokter?” tanya James.

Dokter itu hanya tersenyum sambil duduk di kursinya, “Non Nadine Lustre hanya kelelahan,”

“Kau dengar itu?! Aku tidak apa-apa, James!”

“Dan sebaiknya mulai sekarang anda harus menjaga kondisi anda, Nona, kalau tidak ada kemungkinan buruk yang terjadi,” tambah Dokter itu.

“Apa maksud Dokter?” tanya James sementara aku hanya menatap bingung.



Haiii... aku mencium bau-bau ending saudara-saudara..

Hahahahhahah

Kamu Yang Aku PilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang