Masa Lalu Fathan
***
Nania sedang memasukan beberapa potong baju ke dua koper di hadapannya. Satu koper berisi baju milik Fathan dan satu lagi berisi baju miliknya. Nania tersenyum begitu mengingat kalau dia akan berangkat ke ibukota bersama dengan suaminya.
"Sayang, udah selesai?" Nania menengok ke arah Fathan yang sedang berdiri di ambang pintu kamar mereka. Dia memasukkan tumpukan baju Fathan yang sudah ditata lalu menarik retsleting koper agar tertutup.
"Sudah." Fathan berjalan mendekati istrinya yang masih berjongkok di dekat koper-koper mereka.
"Ikut aku bentar, yuk." Nania meraih tangan Fathan yang diulurkan dihadapannya. Lalu ia berdiri.
"Kemana, mas? Aku belum pamit ke bapak sama ibu. Mami, Papi sama Gina juga belum."
"Setelah ini kita pamit. Ayo." Ajak Fathan yang langsung diikuti Nania.
Fathan melajukan mobilnya ke kawasan kampung tak jauh dari sekolah Nania. Mobilnya berbelok masuk lebih dalam ke kampung tersebut lalu berhenti ke rumah minimalis bercat putih.
"Rumahnya siapa, mas?" Tanya Nania.
"Turun dulu, yuk!"
Nania menurut lalu mengikuti Fathan masuk ke pelataran rumah tersebut. Rumah itu terlihat sepi, apalagi keadaan pelataran yang ditumbuhi banyak rumput liar membuat rumah itu makin terkesan tak terawat. Fathan mengetuk pintu beberapa kali tapi tak ada jawaban. Ia menunggu beberapa saat tapi tetap tak ada yang membukakan pintu.
"Mas, coba tanya sama penduduk sekitar dulu aja." Usul Nania begitu melihat raut wajah sumainya gusar. Fathan mengangguk lalu mengajak Nania bertandang ke rumah sebelah untuk bertanya.
Fathan mengetuk pintu tiga kali dan mendapat sahutan dari dalam. Tak lama muncul wanita paruh baya yang membukakan pintu.
"Ada apa ya?" Tanya wanita itu.
"Saya mau tanya bu, Bu Ningsih sama Pak Hendra apa nggak ada di rumah, ya?" Wanita itu sedikit bingung dengan pertanyaan Fathan.
"Kalau boleh tau Ada perlu apa ya, mas?"
"Saya Fathan, bu. Anaknya Bu Ningsih. Dan ini istri saya." Fathan memerkenalkan diri.
"Oh.. kamu ini Fathan yang itu, pantas saya nggak asing sama wajah kamu." Fathan tersenyum. "Memangnya kamu ndak ikut bapak dan ibumu? Kok sampai balik lagi ke sini." Fathan menggeleng. Dia agak bingung dengan perkataan wanita itu. Bukankah ini rumah orang tuanya? Makanya dia kembali kesini.
"Orangtuamu sudah lama pindah, Le. Ibu pikir kamu ikut dengan mereka." Jantung Fathan terasa berdetak lebih cepat.
"Pindah, bu?" Tanyanya retoris. "Pindah kemana?"
"Wah kurang tau juga ya. Soalnya pindah juga mendadak. Memangnya kamu nggak ikut?"
***
Fathan belum melajukan mobilnya untuk meninggalkan rumah itu. Pernyataan dari wanita paruh baya tadi membuat perasaannya campur aduk.
Orangtua angkatnya pergi. Tapi kemana? Seumur dia tinggal dengan mereka, dia tak pernah tau mengenai kakek neneknya. Apalagi sejak ia pindah dari daerah tempat panti asuhan yang mengurusnya. Dia sama sekali tidak punya petunjuk.
"Mas." Fathan menoleh ke arah Nania. Dia sampai lupa keberadaan istrinya karena sibuk dengan pikirannya.
"Maaf. Aku mengacuhkan kamu." Nania tersenyum lembut.
"Cerita aja. Ada apa sebenarnya?" Fathan diam. Tujuan awalnya datang ke tempat ini adalah untuk memperkenalkan Nania kepada orangtua angkatnya, tapi hal itu tak bisa diwujudkan karena orangtuanya pergi entah kemana.
"Mas, kenapa? Kamu kebanyakan diam." Fathan tersenyum kecil mendapati istrinya menggerutu. Dia lalu meraih tangan Nania dan menggenggamnya."Sebenarnya mas mau kenalin kamu sama seseorang. Ehm.. dua orang sebenarnya, tapi mereka udah pergi."
"Siapa? Pemilih rumah ini?" Fathan mengangguk.
"Ibu dan ayah. Orangtuaku." Nania menautkan alisnya bingung. Orangtua Fathan? Bukankah orangtua Fathan yang waktu itu? Yang sekarang berada di ibu kota.
"Aku pernah di taruh di panti asuhan." Ternyata kekagetan Nania masih berlanjut. "Mama dan Papa yang menikahkan kita kemarin adalah orangtua kandungku. Sedangkan ibu dan ayah adalah orangtua angkatku yang mengambilku dari panti asuhan."
"Gimana bisa?" Fathan menggenggam tangan Nania lebih erat lagi.
"Aku hidup di panti sejak umur satu tahun. Mama bilang, dulu papa ada masalah dengan rekan bisnisnya. Mereka mengancam sehingga mama menaruhku di panti agar aku selamat. Waktu umur empat tahun, ibu dan ayah mengadopsi aku dan aku menganggap mereka adalah orangtua kandungku. Ayah mengajak kami pindah kemari dengan alasan biaya hidup disana terlalu mahal. Waktu itu aku umur sepuluh tahun saat pindah kemari." Fathan menjeda ceritanya sejenak. "Ayah dan ibu nggak sebaik yang aku kira. Awalnya mereka baik, tapi lama kelamaan mereka jadi kasar dan sering menyuruhku ini itu. Aku terima perlakuan mereka sebagai bentuk balas budi karena sudah mengurusku.
"Lalu saat aku SMA mama dan papa datang. Mereka menginginkanku untuk kembali tinggal dengan mereka. Aku nggak percaya yang mereka bilang, tapi mereka bisa membuktikan semuanya dengan tes DNA yang kami jalani. Mau tidak mau aku harus percaya itu semua." Nania mengeratkan genggaman tangan mereka. Dia pikir kehidupan suaminya lurus-lurus saja, tapi nyatanya tidak. Dia juga punya masa sulit.
"Awalnya aku marah. Tapi lama-kelamaan semuanya berjalan baik. Apalagi saat tau aku punya adik. Aku senang. Aku mulai mau mendengarkan penjelasan mama dan papa dan mulai hidup bersama." Fathan mengakhiri ceritanya dengan senyum tipis. Dia merasa lebih lega bisa berbagi dengan istrinya. Sedangkan Nania sudah berkaca-kaca.
"Mas, kamu kok kasihan banget sih." Pecah sudah tangisnya. "Aku masih bisa hidup dengan ibu dan bapak. Tapi mas enggak. Malah dapat hal-hal buruk."
Fathan tersenyum kecil melihat reaksi istrinya. Istrinya itu benar-benar bisa merusak suasana dengan. Lihat saja. Yang tadinya suasana sendu sekarang malah lucu dimatanya.
"Ngapain senyum? Ada yang lucu?" Sentaknya setengan tersedu. Fathan menggeleng.
"Udah, Nggak usah nangis. Nanti mas nggak boleh bawa kamu kalo papi tau mas buat kamu nangis." Tangan Fathan terulur menghapus airmata yang membasahi pipi Nania. Setelah istrinya tenang, ia melajukan mobilnya. Ia akan mengunjungi kediaman orangtua Nania juga Gina untuk pamit.
KAMU SEDANG MEMBACA
2U (To YOU) (ON HOLD)
RomanceAnak terakhir itu tidak selalu dimanja seperti dalam cerita. Anak terakhir itu juga harus bisa mandiri dan bisa mengalah. Seperti Nania. Dia adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, dimana kedua kakaknya sangat disayangi oleh kedua orangtuanya, ti...