aku harap kalian nggak lupa sama cerita ini yaa
jangan lupa vote dan komen ya..
bagikan juga bolehhh
with love
N
***
Aku nggak gila
***
Sejak kejadian pesawat terbang itu Nania memastikan keberadaan Fathan sesering mungkin. Seperti saat subuh ia akan bangun lebih awal dan saat malam ia akan tidur lebih akhir hanya untuk memastikan bahwa Fathan masih berbaring di sampingnya. Menggenggam tangan suaminya saat tidur dan akan terbangun ketika genggamannya terlepas.
"Aku nggak kemana-mana, sayang. It's okay." Itu yang selalu Fathan katakan setiap kali meliah Nania gusar dan takut. Seperti saat ini. Sudah dini hari ketika Fathan terbangun untuk melanjutkan pekerjannya. Ia melepaskan genggaman tangan Nania secara perlahan agar ia bisa berpindah ke ruang kerjanya. Tidak sampai lima belas menit Nania sudah mencarinya dengan wajah pucat dan panik.
Nania lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah dan mengikuti Fathan. Beberapa kali tidak mengikuti kelas karena mendapatkan serangan panik.
Beberapa kali Kinan mengunjungi kediaman Nania untuk melihat bagaimana keadaan temannya itu. Kinan akan datang setelah jam kuliahnya usai dan akan pulang jika sudah menjelang Maghrib. Kinan yang memang tidak memiliki kegiatan jika dirumah memilih menemani Nania yang memang baru saja menyelesaikan masalahnya. Dia juga kadangkala berkumpul dengan Nevan, Haidar dan Fadel, seperti saat ini.
"Apa kita jengukin aja ya?" respon Fadel ketika mendengar kabar Nania dari Kinan.
"Emang boleh sama suaminya?" Haidar menyeruput Iced coffe-nya.
"Suaminya baik, kok. Ramah juga." Kinan mengambil potongan terakhir pisang bakar sebelum ia beranjak. "Kalau mau ikut ke rumah Nania kabarin, gue bilang dulu ke orangnya."
"Gue ke kelas dulu yee abang abang.." Kinan meninggalkan ketiga orang itu dengan lambaian tangan yang gemulai.
Bisa sial dia kalau telat di kelas Pak Dewangga. Jika dia telat bukan hanya di kampus, bahkan dirumah dia akan tersiksa.
***
"Aku nggak gila, mas!"
"Nggak ada yang bilang kamu gila, Sayang."
Fathan mencoba membujuk istrinya. Merupakan sebuah perdebatan jika Fathan meminta Nania mengikuti pertemuan dengan psikiater.
Fathan tahu jika ia tidak bisa memaksa Nania, tapi melihat bagaimana emosi Nania yang seringkali berubah, serangan panik yang semakin sering terjadi membuatnya khawatir.
"Sayang, Psikiater dan Psikolog ada bukan untuk orang gila aja."
Fathan masih tak menyerah.
"Mereka itu dokter jiwa, mas! Mas anggap aku gila?!"
Fathan berhasil memegang tangan Nania yang sedaritadi menjauhinya.
"Sayang... mas nggak mau kamu terus dihantui mimpi buruk dan rasa takut." Nania tidak menyembunyikan tatapan marahnya. "Psikiater bisa bantu kamu lebih tenang dengan mimpi kamu."
"Aku baik baik aja!"
"Kamu baik-baik aja? Yaudah kita bulan madu sekarang, naik pesawat ke Raja Ampat!" Nania yang baru duduk di kursi meja rias melayangkan pandangan membunuh pada Fathan.
"Kamu tau aku nggak bisa naik pesawat!"
Fathan beralih duduk di tepi kasur, mengadap ke arah istrinya. Sesungguhnya dia juga lelah dengan perdebatan seperti ini. Dia hanya ingin istrinya menjalani pengobatan ataupun terapi yang akan membuatnya lebih baik.
Fathan sendiri tidak meyangka kalau Nania akan bereaksi seperti ini menyangkut Psikiater. Mungkin karena Kurangnya pendidikan mengenai kesehatan mental mebuat orang-orang berpikir enteng dan menimbulkan sebuah pemikiran liar mengenai mental health oleh orang orang awam.
"Karena itu, Sayang." Fathan sudah lelah, "Ayo kita buat Phobia-mu sembuh, kita hilangkan rasa takut dan mimpi buruk kamu."
"Aku bisa, mas, tanpa Psikolog, cuma butuh waktu!" Nania mauh kekeuh.
"Lalu kamu akan ingat lagi?"
Nania terdiam. Dia pernah melewati mimpi buruknya, hanya butuh waktu saja, dan semua akan kembali ke semula.
"Sakit di Psikis itu lingkaran setan, Na! Kalau kamu nggak mau keluar dan nggak mau dibantu, selamanya kamu akan terjebak disana!" Fathan meninggikan suaranya tanpa sadar. "Kamu akan kembali ke tengah lingkaran itu lagi bahkan sebelum kamu bisa keluar!"
"Kamu ke Psikiater nggak berarti kamu gila! Nggak berarti Iman kamu lemah!" Fathan jongkok dihadapan Nania yang masih setia di kursinya. Menatap Nania dengan tatapan lembut.
Fathan memang tidak sepenuhnya salah saat memaksa Nania untuk mendatangi psikolog, mengingat Bagaimana Nania terguncang karena kejadian yang hampir sama. Bahkan hampir setiap malam ia melihat istrinya mengalami mimpi buruk hingga tidak tidur semalaman. Belum lagi mengenai serangan panik yang dialami istrinya tidak mengenal tempat dan waktu yang membuatnya harus melewatkan jadwal kuliahnya.
Sedangkan Nania, ketakutannya sangat wajar mengingat dia tidak pernah mendapatkan edukasi mengenai kesehatan mental. Dia selama ini hanya melihat bagaimana reaksi orang sekitarnya saja, bahkan tak jarang ada orang yang mengolok mengenai kesehatan mental orang lain sehingga membuatnya takut.
"Ke Psikiater, ya? Mas temenin kalau kamu takut."
KAMU SEDANG MEMBACA
2U (To YOU) (ON HOLD)
RomantikAnak terakhir itu tidak selalu dimanja seperti dalam cerita. Anak terakhir itu juga harus bisa mandiri dan bisa mengalah. Seperti Nania. Dia adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, dimana kedua kakaknya sangat disayangi oleh kedua orangtuanya, ti...