Sibuk
***
Sudah seminggu sejak Nania jatuh pingsan dan selama seminggu itu Fathan selalu menyempatkan diri untuk makan siang dirumah. Dia tak pernah absen untuk menemani Nania saat makan, baik makan pagi, siang maupun malam.
Seperti siang ini, dia sudah bersiap akan keluar dari ruangannya saat pintu diketuk dari luar. Dia memersilakan seseorang itu untuk masuk. Frida muncul dari balik pintu dengan pakaian kerja model body-cone yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Menampilkan tiap lekuk tubuhnya dalam balutan kain warna merah tua yang menantang.
"Ada apa?" Tanya Fathan.
"Ayo kita makan siang." Ajak Frida.
"Maaf, saya sudah punya janji." Tolak Fathan sopan.
"Kamu selalu makan siang diluar entah dengan siapa. Sekarang kita bisa seperti teman karena bukan jam kantor lagi. Seperti katamu waktu itu."
Fathan mendesah pelan mendengar ucapan Frida. Ia melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. "Saya sudah punya janji. Permisi."
Fathan lalu meninggalkan Frida yang masih berdiri di depan mejanya. Ia tidak mau terlambat pulang dan membuat Nania menunggu terlalu lama.
Sejujurnya Fathan juga ingin memiliki momongan, tapi dia juga tak mau mengorbankan masa depan istrinya. Apalagi istrinya baru akan memasuki bangku kuliah. Lagi pula usia mereka masih muda dan tak ada yang salah dengan mereka.
Fathan memasuki rumah sambil mengucap salam. Kebiasaan yang selalu ia tanamkan sejak kecil meskipun tak ada jawaban.
"Sayang..." panggilnya karena tak mendapati istrinya di meja makan. Ia mengelilingi hampir seluruh rumanya yang besar dan membuatnya lelah sendiri.
"Pak, tau istri saya dimana?" Tanyanya begitu berpapasan dengan Parto di halaman belakang.
"Tadi nyonya minta diantar ke supermarket, pak." Jawab Parto.
"Yasudah kalau begitu." Fathan masuk ke dalam rumah, berniat menunggu istrinya di ruang tamu. Tak berapa lama, Nania datang bersama dua pembantunya yang membawa plastik putih besar berisi belanjaan.
"Beli apa?" Tanya Fathan setelah menjawab salam.
"Ini. Aku lupa kalau seminggu lagi ospek. Aku belum ada kemeja sama sepatunya jadi beli tadi sama beberapa keperluan lain."
"Udah makan siang?" Nania menggeleng.
"Belum. Tadi belum laper."
"Mbok masuk aja dulu sekalian ajak yang lain makan siang, barangnya Nania biar ditinggal sini aja."
"Baik, tuan." Kedua wanita itu lalu pamit permisi.
"Mas udah bilang kalau makan jangan tunggu lapar, kan?" Nania mengangguk. "Mas nggak mau kamu sakit lagi. Sekarang kamu makan dulu."
Fathan menarik pelan tangan Nania menuju meja makan. Di meja makanemang sudah disediakan lauk pauk dan teman temannya yang tertutup tudung saji.
"Makanannya udah dingin, mas. Aku panasin dulu, ya?"
"Nggak usah, nggak apa-apa." Fathan lalu mengambil duduk di tempatnya sedangkan Nania dengan sigap mengambil piring Fathan dan mengisinya dengan nasi dan sayur, menjadi istri selama hampir sepuluh bulan membuat Nania menjadi terbiasa.
"Semua barang yang kamu butuhkan udah?" Nania mengangguk.
"Untuk barang hari pertama udah. Nanti barang hari selanjutnya menyusul." Fathan mengangguk. Nania memang tidak mengikuti tes dalam mendaftar perguruan tinggi karena nilai rapornya yang cukup besar dan membuatnya berani mendaftar lewat jalur online, bahkan ia rela melepaskan SNMPTN. Dan dia juga hanya mendaftar universitas swasta karena Fathan tak merekomendasikan universitas negeri, lagipula universitas yang dipilihkan Fathan adalah universitas yang cukup ternama. Dan beruntung sekali dia bisa lolos.
KAMU SEDANG MEMBACA
2U (To YOU) (ON HOLD)
RomanceAnak terakhir itu tidak selalu dimanja seperti dalam cerita. Anak terakhir itu juga harus bisa mandiri dan bisa mengalah. Seperti Nania. Dia adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, dimana kedua kakaknya sangat disayangi oleh kedua orangtuanya, ti...