Grisa tidak masalah jika dia terus-menerus menabrak orang, dengan catatan orang itu Gesa. Dihadapannya sudah ada Gesa yang berdiri tegap, cowok itu masih diam ditempatnya, kehadiran sosoknya membuat hati Grisa senang. Sudah sepekan cowok itu hilang seperti ditelan bumi, walau hanya seminggu, tetap saja efeknya sangat terasa sampai Grisa dibuat khawatir olehnya.
Jika ditanya apakah Grisa merindukan sosok Gesa, dia akan mengiyakannya. Dia tidak dapat membohongi dirinya, Grisa mengaku merindukan sosok itu.
Tak perlu gadis itu mengakui secara terang-terangan bila dia rindu, Grisa yakin matanya pasti sudah berbicara lebih dulu dari bibirnya.
"Sa..." suara Grisa melemah.
Apa-apaan ini?! Grisa protes pada suaranya yang tiba-tiba mengecil sampai tak terdengar oleh Gesa.
Grisa menyesal mengapa suaranya tenggelam dan seperti hilang begitu saja diterpa oleh angin. Grisa menyesal mengapa suaranya menjadi ciut kala melihat wajah datar tak berekspresi dari Gesa.Grisa bergidik ngeri tatkala manik mata mereka bertemu, tak banyak yang Gesa sampaikan dari sorot matanya yang teduh itu, tapi disisi lain Grisa merasa ada amarah didalam diri Gesa. Grisa tak apa jika cowok itu ingin memarahinya karena dia menabraknya. Grisa tak apa jika cowok itu membentaknya karena keteledoran Grisa dalam berjalan. Grisa tak apa jika cowok itu protes atas kejadian seminggu lalu. Grisa tak masalah, asal cowok itu mau berbicara dan tidak diam seperti ini dengan pandangan yang seolah-olah ingin menusuk Grisa dalam diam.
Grisa rindu Gesa.
Cowok yang masih setia berdiam diri itu tidak tahu bahwa gadis yang ada didepannya ini sedang meneriakkan beribu-ribu kata rindu didalam hatinya.
"Sorry."
Jantung Grisa berdegup kencang, tiba-tiba perasaan senang muncul didadanya, hampir-hampir kedua sudut bibir Grisa terangkat sempurna.
Tapi nyatanya kesenangan itu hanya muncul sekejap saja, tak bertahan lama karena sedetik kemudian perasaan itu mati kala Gesa melaluinya tanpa sepatah kata apapun lagi. Angin yang berhembus setelah Gesa melangkahkan kaki dari sana mampu meruntuhkan pertahanan hati Grisa.
Dingin,
Sangat dingin,
dan tak tersentuh.Dadanya ngilu bukan main, seperti ada yang meremasnya keras-keras. Setiap helaan napasnya terasa sulit karena rasa pedih yang ditimbulkan cukup membuat Grisa meringis.
Sikap lain dari Gesa yang baru Grisa tahu itu mampu membuat kaki Grisa terasa lemas dan rasanya tidak sanggup lagi baginya untuk berjalan.
Pelupuk matanya terasa sangat perih kala gadis itu menahan sesuatu yang sudah mendesaknya agar tidak keluar. Grisa mendongakkan wajahnya, melihat langit-langit atap koridor sekolah untuk menghalau air mata yang sepertinya sengaja ingin jatuh. Namun nyatanya Grisa tidak dapat menahan lagi karena matanya terasa sangat panas. Air bening itu mengalir membentuk satu garis lurus dipipi kirinya lalu disusul dipipi kanannya.
"Grisa?" Terdengar suara lembut dari samping.
Grisa masih tetap diam, memejamkan matanya dan meremas kedua sisi roknya kuat-kuat, menandakan bahwa dia sangat takut.
"Gris!" Panggilnya lagi dengan nada khawatir.
Cowok itu kaget karena mata Grisa masih saja tertutup rapat dan air matanya membanjiri pipi putihnya yang sekarang berubah menjadi kemerah mudaan.
Grisa membuka matanya perlahan, pandangannya buram, dia mengedip berkali-kali untuk memperjelas penglihatannya, didepannya sudah ada Banyu.
Tidak dapat dicegah lagi, tangisannya kini semakin deras, Banyu yang melihatnya lantas panik dan langsung merengkuh Grisa dalam pelukannya, cowok itu mendekapnya pelan-pelan seperti hati-hati memegang kaca tipis yang sewaktu-waktu dapat pecah dengan sangat mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
GESA
Teen FictionSetelah mengenalnya ada bagian hati yang sepi menuntut untuk diisi. - Gesa Abiyaksa Ananta