"Besok ke Alika?" Tanya Joshua.
"Sekarang hari apa?" Gesa balik bertanya.
"Jumat."
"Lah gue kira masih hari Rabu!"
"Palelu."
Waktu berlalu begitu cepat. Gesa tidak mengira jika bersama Grisa waktu dengan mudah terlupakan. Ia sangat menghargai setiap jam, menit, pun detik yang berlalu jika bersamanya. Gesa tidak mengistimewakan Grisa, tidak, hanya saja semua yang ia perbuat untuk gadis itu murni atas keinginan hati yang sejalan dengan otaknya. Rasanya semua seakan mendukungnya.
Gesa : Ca ke Alika sama gue ya.
Lelaki itu mengakhirinya dengan titik, ia seakan menegaskan gadis itu untuk pergi dengannya. Tapi tanpa harus memberitahu Grisa pun mungkin Gesa akan menjemputnya. Kebiasaannya.
Gesa memencet tombol kunci untuk ponselnya bersamaan dengan suara bel pulang sekolah yang berbunyi. Semua yang ada di kelas bergegas memasukkan barang-barangnya ke tas masing-masing setelah Pak Budi menutup pelajaran terakhir. Joshua yang tidak sabaran menyerobot Daffa untuk memimpin doa, alasannya agar cepat selesai. Satu persatu yang ada di kelas berhamburan keluar menuju pintu gerbang sekolah.
Grisa : Esaa
Grisa : Anterin beli bunga dongg :(
Grisa : Ya, ya, yaaaa? Iya dong :)))
Gesa : males
Gesa : sama yang lain sana
Otak cerdas Gesa telah menyusun kegiatan yang akan ia lakukan sampai Sabtu pagi, main ke rumah Ema dengan teman-temannya. Gesa merindukan segelas kopi yang mengepul buatan wanita yang rambutnya sebagian sudah memutih. Ia tidak mungkin membatalkannya hanya untuk mengantar Grisa membeli bunga. Sungguh.
Grisa : Yah sama siapa ya? Sama Banyu aja kali ya Sa?
Tapi, apapun yang tidak mungkin rasanya menjadi mungkin kalau alasannya adalah Grisa. Gesa berubah pikiran.
Gesa : dimana?
Grisa : Siapa?
Gesa : kamu lah
Grisa : dih, di kelas.
Gesa bangkit dari duduknya, menyambar tali tasnya lalu menyampirkannya di bahu kanan. Meninggalkan Joshua dibelakang yang hendak bertanya ia ingin kemana.
"Yeh! Dasar bocah semprul!" Semprot Joshua.
Pesan yang ia terima dari Grisa mendapat respon cepat dari otaknya. Seluruh tubuhnya seakan memerintah Gesa untuk menemui gadisnya. Ia sanggup membatalkan mainnya untuk menemani Grisa daripada ia main bersama temannya tapi pikirannya berada di toko bunga.
"Grisa?" Panggil Gesa.
Gesa berdiri di depan pintu kelas Grisa yang terbuka, mendapat kode dari Grisa, kedua kaki Gesa melangkah maju memangkas jarak antara mereka. Matanya masih memperhatikan Grisa yang masih memasukan buku-buku berserakan di meja. Rambut gadis itu terurai hingga menutupi sebagian pipi kanannya karena kepalanya sedikit miring ke kanan.
"Eh Gesa."
"Eh ada lo Nis,"
"Lah gue kan daritadi di sini,"
"Nggak keliatan gitu Nis, kayak kelas ini beserta isi-isinya tuh meredup, kalah terang sama bidadari yang satu ini." Goda Gesa.
"Uh ya ampun, rayuan Pak Gesa klasik betulll." Ledek Nisrin yang diikuti tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
GESA
Roman pour AdolescentsSetelah mengenalnya ada bagian hati yang sepi menuntut untuk diisi. - Gesa Abiyaksa Ananta