bab 30 - republish

5K 222 5
                                    


Dara terbangun saat langit masih gelap, tangannya bergerak mencari ponsel yang biasa ia letakkan di nakas samping tempat tidurnya. Tangannya terus bergerak tapi tidak menemukan apapun, dengan enggan Dara membuka sedikit matanya, beberapa saat kemudian matanya terbuka sempurna dan dia duduk bersandar pada tempat tidur.

"Dimana ini?" gumamnya, menelisik seisi ruangan yang remang-remang di sinari cahaya bulan dari balik tirai, sebuah jam digital terletak di samping kanan tempat tidur menunjukan angka 03.19

Dara menyingkirkan selimut yang menutup tubuhnya, kaki telanjangnya menyentuh lantai, rasa dingin langsung menjalar di kaki putihnya. Dia berjalan menghampiri tirai di sisi kiri ruangan itu, menggesernya ke ujung hingga memperlihatkan pemandangan yang berhasil menarik perhatian Dara.

Dara memutar knop pintu menuju balkon, angin langsung menerpa wajah pucatnya. Dara memandang jauh ke depan ke dalam sebuah kegelapan, bayangan pohon bergerak perlahan di terpa angin bulan Oktober, gesekan daun yang tertiup angin terdengar memilukan. Hutan gelap di hadapannya terlihat begitu sunyi dan sepi seperti menyimpan misteri tersendiri.
Dara berdiri di tepi balkon, kedua tangannya bertumpu pada ujung besi pembatas. Matanya terpejam merasakan setiap angin yang menyentuh kulitnya, bayangan kejadian itu kembali terlintas di pikirannya, semuanya masih terasa begitu nyata, rasa takut itu datang lagi. Tubuh Dara melemas, hingga membuatnya jatuh di lantai. Dara memeluk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya di sana. Tangisnya kembali terdengar menyatu dengan bisunya malam.


***


Dari balik jendela kamarnya Mario memperhatikan empat orang bersetelan serba hitam sedang berjaga di halaman rumahnya, untuk pertama kali dalam hidupnya dia meminta banyak orang untuk berjaga di sekitarnya.

Waktu sudah semakin larut tapi Rio tidak terlihat akan segera tidur, dia keluar dari kamarnya berjalan menuju ruang kerjanya, saat melewati kamar yang ditempati Dara, Rio membuka sedikit pintu kamar gadis itu, dilihatnya Dara sedang tertidur, wajah pucatnya terlihat bersinar terkena cahaya bulan.

Rio menatapnya beberapa saat, ulu hatinya terasa sakit melihat gadisnya begitu menderita karena kejadian yang menimpanya beberapa tahun lalu. Rio memang merasa jika Dara memang tertutup dengan orang lain, tapi tak pernah terpikir olehnya semua sikap itu disebabkan oleh seorang bernama Alvian Dirgantara.

Rio memasuki sebuah ruangan yang cukup besar tapi tidak memiliki banyak perabotan, Rio menghampiri meja yang terbuat dari kayu jati di ujung ruangan di dekat sebuah jendela kaca yang besar, memisahkan ruangan itu dengan balkon yang menghadap ke pegunungan.

Suasana hati Rio saat ini tidak bisa di definisikan, yang ada dalam pikirannya adalah keselamatan Dara menjadi prioritasnya. Kursi yang diduduki Rio berputar ke arah jendela, terlihat bulan bersinar di balik pepohonan yang menjulang tinggi. Rio mengecek ponselnya berkali-kali, dia merasa waktu berjalan sangat lama saat menunggu informasi yang dimintanya dari Dani.

Rio bersandar pada kursinya, menatap kosong pada bulan di ujung sana. Perlahan matanya mulai menutup, tubuhnya menuntut untuk beristirahat sekalipun sang pemilik merasa enggan untuk tidur tapi tak berapa lama nafasnya mulai teratur.

Di dalam ruangan yang sunyi ini hanya terdengar suara-suara binatang malam yang berasal dari luar, kawasan tempat tinggal Rio berada di sebuah dataran tinggi di utara kota Bandung, tidak banyak rumah yang di bangun di lingkungan ini. Hutan hujan tropis menjadi daya tariknya, jajaran pohon pinus seolah membentengi rumah-rumah itu dari bisingnya kota.
Suara berdering dari ponsel yang berada di tangan Rio membuatnya terperanjat, dengan gerakan cepat dia menggeser icon berwarna hijau itu.

"Ya." jawab Rio singkat dengan suara seraknya.

"Informasi lengkapnya sudah saya kirim ke email anda Pak." ucap pria di seberang sana.

"Baiklah, terima kasih." setelah telepon itu terputus, Rio membalik badannya menghadap meja kemudian menyalakan laptop dan dengan wajah yang sudah tidak sabar lagi dia segera membuka email yang dikirimkan oleh Dani beberapa saat lalu.
Tangannya bergerak di atas mouse, membaca dengan teliti segala informasi tentang orang yang sudah masuk ke dalam daftar hitam seorang Mario. Tangan kiri Rio mengepal kuat saat mengetahui latar belakang pria itu.

Rio kembali meraih ponselnya, tidak butuh waktu lama sampai orang di sana menerima panggilannya.

"Iya Pak." jawab Gilang tegas dan kaku.

"Periksa..." Rio menghentikan ucapannya saat mendengar suara aneh. "Nanti saya hubungi lagi." kemudian Rio memutuskan sambungan teleponnya, berdiri dari kursinya untuk mencari sumber suara itu.
Rio berdiri mempertajam pendengarannya, lalu melangkahkan kakinya ke dekat jendela maka suara itu terasa semakin dekat. Rio memutar knop pintu, memandang ke sebelah kiri, Rio terkejut sepersekian detik kemudian dia dengan cepat dapat mengendalikan dirinya lagi, dengan langkah tergesa-gesa dia menghampiri Dara yang sedang terduduk di lantai dengan wajah yang di sembunyikan di antara kedua lututnya.

Dengan satu gerakan Rio sudah mengangkat tubuh Dara dari lantai dingin itu, membawanya masuk ke dalam kamar.

"Rio  yaampun." kata Dara setengah berteriak saat merasakan tubuhnya melayang.

"Kamu kaya kunti." jawab Rio sekenanya, lalu menurunkan tubuh Dara di atas tempat tidur.

Dara mendengus kesal, kemudian tangannya mengusap sisa air mata yang masih basah di wajahnya.

"Kamu enggak tidur?" tanya Dara saat melihat dengan jelas mata lelah Rio.

"Gak bisa tidur." Rio berkata jujur, "Kamu kenapa jam segini di luar?" manik mata mereka saling bertatapan.

"Tadi tiba-tiba kebangun," suara Dara sedikit parau "Rio." dara menghentikan ucapannya.

Rio semakin dalam menatap pacarnya, menunggu apa yang ingin disampaikannya, wajah Dara sedikit pucat dengan mata yang sembab.

"Kenapa sayang?" tanya Rio lembut dan menyentuh tangan Dara yang sangat dingin.

Dara merasakan jantungnya kembali bekerja lebih cepat, dan tangannya sedikit gemetar.

"Takut." suaranya sangat pelan, bahkan hampir tidak terdengar.

Tanpa banyak bicara Rio merengkuh tubuh Dara ke dalam pelukannya, memeluknya begitu erat memberikan rasa nyaman yang sangat Dara butuhkan. Untuk beberapa saat mereka berpelukan tanpa saling bicara.

"Dulu dokter Anne bilang, PTSD bisa kembali muncul." suara Dara teredam di balik dada bidang Rio.

"Nda, kamu harus ambil alih kehidupan kamu, jangan merasa terancam sama masa lalu." Rio melepaskan pelukannya dan menatap Dara dengan sungguh-sungguh.

"Orangnya juga muncul Yo, bukan cuma ingatannya aja." balas Dara dengan suara lebih tinggi.

"Saya tahu. Tapi perlu kamu tahu saya enggak akan pernah ngebiarin kamu diganggu siapapun." Rio membalasnya dengan tenang, tidak merasa kesal karena di bentak oleh pacarnya. Setelah Dara tertidur tadi malam Rio mencari tahu semua yang berhubungan dengan Post Traumatic Stress Disorder, emosi dan mood yang mudah berubah adalah salah satu gejalanya.

Dara bergeming bukan karena tidak ingin menanggapi ucapan Rio, hanya saja dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa karena ucapan Rio yang kadang terdengar ketus justru membuatnya seperti dihinggapi ribuan kupu-kupu.

"Mulai sekarang kamu jangan khawatir." kembali Rio menenangkan Dara.

"Makasih Rio." ucap Dara dengan wajah yang menunduk menatap sprei biru navy.

Dara berusaha mengingat apa yang dulu disarankan dokter untuk mengatasi gejala yang muncul dan membuatnya merasa lebih baik. Keningnya berkerut semakin dalam saat dia belum berhasil mengingat apapun.

"Mikirin apa lagi?'' Tanya Rio yang sedari tadi terus memperhatikan Dara.

"Cara mengatasi gejala PTSD." suaranya terdengar putus asa.

"Kamu bisa mulai menceritakan kejadian itu, Nda." Rio mencoba memberi saran.

Dara diam, mempertimbangkan saran yang diberikan. Kemudian dia meraih bantal yang berada di belakangnya, mendekapnya dengan kedua tangannya. "Itu juga bisa sih ,tapi..." kalimat Dara menggantung terdengar sedikit keraguan.

"Kalau kamu enggak bisa, lebih baik tidur aja dan hari ini enggak usah kerja dulu yah." Rio menarik selimut hingga menutupi kaki Dara.

"Waktu itu hari kamis, cuacanya panas banget." Dara memulai ceritanya, tangannya meraih tangan Rio, seperti meminta dukungan moral untuk menceritakan hal itu.

Rio balas menggenggam tangan Dara, meremasnya pelan seperti menyatakan bahwa dia akan baik-baik saja, sebuah senyuman hangat terukir di wajah tampannya.

Hari sudah menjelang sore saat Dara baru saja selesai dengan kelompok belajarnya, dia berjalan di koridor yang sudah sepi dengan beberapa temannya. Dara meraih ponsel dari dalam saku rok abu-abu itu, ada dua pesan yang belum terbaca. Segera dia membuka pesan itu.

"Ra, lo pulang sama siapa?" tanya salah satu teman Dara.

"Sama Davi." Dara tidak menoleh karena sedang fokus dengan ponselnya.

"Rendi mau pdkt gagal terus, kasian." goda Nadia, gadis manis yang selalu menggunakan bandana, di susul tawa teman-teman lainnya.

"Sialan lo semua." balas orang yang dipanggil Rendi itu, dia termasuk orang yang populer di sekolah sekalipun jauh lebih terkenal Davi daripada Rendi
Dara hanya tersenyum tipis setiap kali mereka menggodanya, dia bukannya tidak tau kalau Rendi menyukainya hanya saja Dara terlalu malas untuk menanggapi hal-hal seperti itu.

"Gue duluan yah. Sudah dijemput." pamit Nadia pada semuanya.

"Hati-hati Nad." balas Dara.

"Davi mana Ra?" Tanya yang lainnya.

"Sebentar lagi sampai, kalian duluan aja."
Satu per satu mereka meninggalkan sekolah yang sudah sepi, hanya tinggal Dara yang masih berada di sana, dia berjalan menuju pohon akasia di dekat gerbang sekolah duduk di bangku yang sudah disediakan.

Dara menekan beberapa tombol di ponselnya, mendekatkan benda itu ke telinganya.

"Halo, Kak Adam." sapa dara saat panggilan itu terhubung.

"Kenapa Dek?" tanya Adam.

"Sudah pulang belum?, Davi enggak bisa jemput nih." daun-daun di sekitar kaki Dara berterbangan tertiup angin.

"Kamu masih di sekolah?" tanya Adam, dan dia mempercepat laju mobilnya.

"Iya, sudah sepi. Kak Adam bisa jemput enggak?"

"Tunggu di halte, Kakak lagi dijalan sebentar lagi sampai."

Dara pun bergegas menuju halte yang terletak di seberang sekolahnya, jalanan sudah lumayan sepi hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Memang letak sekolah Dara bukan di jalan utama.

Dara mengeluarkan sebuah buku bersampul biru muda dari dalam tasnya, membukanya di halaman yang sebelumnya sudah diberi tanda kemudian dia membaca buku itu dengan sangat serius. Dara akan lupa dengan lingkungan sekitar saat dia membaca, buku apapun akan di bacanya.

Dara melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, sudah hampir jam lima. Halaman demi halaman sudah di selesaikannya, tapi Adam belum juga muncul. Maka Dara kembali tenggelam dalam buku bersampul biru itu.

Terdengar suara rem berdecit, kemudian sebuah mobil SUV berhenti tepat di depan halte tempat Dara duduk. Dara mengangkat kepalanya, dia memperhatikan mobil yang tidak di kenalinya. Seseorang keluar dari mobil itu dan Dara melanjutkan kembali bacaanya.

"Permisi." suara berat dan sedikit serak itu mengalihkan perhatian Dara, dia melihat sepasang sepatu abu-abu berada di dekatnya.

"Bisa minta tolong, saya mencari alamat ini tapi dari tadi enggak ketemu." lanjut pria itu. Dara mendongak menatap pria di hadapannya yang sedang memegang secarik kertas usang tapi tidak menyodorkan ke arah Dara.

Dara berdiri menghampiri pria itu yang jaraknya hanya dua langkah di depannya.
"Bisa saya lihat?" Tanya Dara saat sudah berada dekat dengan pria itu.

Pria yang menggunakan jaket baseball menyodorkan kertas itu ke hadapan Dara yang langsung diraih olehnya. Dara sedikit kesulitan membaca tulisan tangan yang sedikit berantakan itu, setelah membaca dan mengingat alamat itu Dara kembali menyerahkan kertas yang warnanya sudah menguning.

"Maaf Kak, saya enggak tau alamat yang dimaksud." Dara tersenyum ramah ke arah pria yang tingginya mungkin sama dengan Adam.

"Oh begitu."  terdengar nada kecewa dari suaranya. Dara hanya tersenyum kikuk kemudian dia berbalik untuk kembali duduk menunggu Kakaknya.

Dara menjerit tertahan saat merasakan sesuatu menutup mulut dan hidungnya, dia merasa tubuhnya ditarik paksa oleh pria itu.

Dara meronta, memukul pria itu dengan sisa tenaganya. Pria itu menyeret tubuh Dara dari belakang, sebelum kesadarannya benar-benar hilang tangan Dara sengaja menjatuhkan sesuatu.

Pria asing itu menutup pintu mobilnya, jalanan yang sepi begitu menguntungkan niat jahatnya, dia berlari ke  arah samping kemudi dan melajukan mobil itu dengan kecepatan penuh.

Langit sudah mulai menggelap saat Adam tiba di depan sekolah Dara, tidak ada seorang pun berada di sana. Adam mengambil ponselnya untuk menghubungi Adik bungsunya, tapi panggilan itu hanya dijawab oleh suara lembut operator. Kemudian Adam kembali menelpon lagi.

"Dimana lo?" tanya Adam mulai merasakan sesuatu yang janggal.

"Di café, kenapa memang?"

"Dara ada nelepon lo?" adam turun dari mobilnya menuju halte saat matanya menangkap sesuatu yang tidak asing.

"Enggak ada, tadi gue bilang ada urusan Kak jadi enggak bisa jemput dia." jawab Davi masih nampak tenang.

“Hubungi teman-teman lo, apa ada yang nganter dia pulang?" tangan Adam meraih sebuah buku yang tergeletak di atas lantai yang ubinnya sudah pecah di beberapa bagian.

"Kenapa sih?" Davi mulai merasa jengah, karena acara kencannya terganggu.

"Dia ilang goblok." Adam sudah tidak dapat mengontrol emosinya.

Adam membalik buku biru itu, membuka setiap halamannya dengan cepat. Di beberapa halaman Adam menemukan paragraf yang diberi tanda dan ada tulisan tangan di sekitarnya, itu adalah kebiasaan Dara jika menemukan yang tidak ia pahami.

Pikiran Adam mulai kacau, dia takut hal buruk terjadi pada Adik bungsunya. Dia menjambak rambutnya kasar. Marah pada dirinya sendiri karena membiarkan Adiknya menunggu.

Adam mencoba menghubungi ponsel Dara kembali tapi nihil, ponselnya masih tidak aktif. Dia melihat ke sekeliling berharap ada seseorang yang sempat melihat adiknya.
Sekitar 500 meter dari halte tempatnya berdiri, dia melihat ada sebuah kios kecil di pinggir jalan. Adam hendak berjalan menuju kios itu saat matanya melihat sesuatu yang berkilau di atas aspal. Adam berjongkok mengambil benda itu, sebuah ballpoint berwarna hitam metalik. Adam memutar perlahan pulpen itu hingga di bagian sisi lainnya terdapat sebuah nama terukir di sana.

Anandara Faza nama itu terukir indah dengan warna gold di atas ballpoint berwarna hitam metalik.
Pikiran Adam semakin kalut, dia kembali ke  mobil dan mengendarainya dengan sangat cepat.


***

ANANDARA ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang