Malam itu hujan deras mengguyur tanpa permisi. Namun entah kenapa, Megan memilih memakai mantel tebalnya dan duduk bergulung di atas sofa ruang tengah dengan tiga mafioso di sudut ruangan.
Televisi menyala menyajikan pemandangan kartun kucing dan tikus sementara pikirannya justru melayang ke masa lalu.
Megan tengah merindu.
Ia masih sangat ingat betul, bagaimana rasanya ditolak secara halus oleh laki-laki itu saat ia berusaha berbicara jujur tentang perasaannya.
Semua tidak semudah itu. Mengakui perasaan membutuhkan lebih banyak energi untuk memicu adrenalin yang berakhir dengan menyenangkan atau membutuhkan tenaga lebih banyak lagi untuk memeras air mata setelahnya.
Dan dulu, entah berapa bulan yang lalu, ia memeras tenaga untuk menangis karena ditolak. Cukup sekali, namun saat ini Megan kembali bimbang.
Jika ini masalah tembak menembak atau sekedar menendang tepat pada pusat kendali seorang pria, mungkin Megan akan sedikit lebih tenang. Namun ini masalah hati yang jika berakhir dengan bertengkar maka akan berakhir buruk untuk ke depannya.
"Melamun bukan gaya Megan, right?" Ren menyodorkan satu gelas berisi Red Wine tepat di hadapan Megan.
Megan diam tidak menanggapi namun meraih gelas tersebut lalu meneguknya dengan perlahan. Ren masih sama, menebar senyum meski nyatanya tak ada hal yang harus membuatnya tersenyum.
"Coba lakukan lagi untuk yang kedua kalinya atau mungkin ketiga kalinya," Megan menoleh meminta penjelasan dari ucapan Om-nya barusan. "Jika sudah tiga kali dan Christian masih seperti itu, lakukan apapun untuk segera melupakannya."
"Tidak semudah itu Om." Megan merasa diri merana karena keadaan kisah cintanya.
"Rasanya memang tidak mungkin untuk kalian menjalin sebuah hubungan yang serius, tapi ... bukan berarti tidak bisa." Ren kembali membuka suara. Laki-laki paruh baya tersebut meyakini bahwa kedua orang yang sering ia lihat bersama memang sudah di takdirkan oleh sang Penguasa. Entah kenapa feelingnya untuk yang satu ini sangat meyakinkan.
"Akan aku coba semampuku Om. Setidaknya Om tahu, sekeras apa Christian itu."
....
Pagi buta para maid di Mansion besar Xian sudah kelabakan dengan pesan dari Tuannya -Christian- . Laki-laki dewasa itu menginginkan para maid untuk memasakkan seluruh makanan dan minuman kesukaan Megan tanpa terkecuali dan inilah dampaknya; para maid bekerja dengan membuat suara yang membuat Megan merengut kesal di kamarnya.
Di dalam kamarnya, Megan mengusap mata beberapa kali sebelum akhirnya menatap jam di atas nakas; 4:37 pagi, terlalu pagi untuk ukuran Megan.
Ia beringsut ke kamar mandi, mempersiapkan diri untuk ke kampus. Empat puluh menit berselang ia siap dan keluar dari kamarnya.
Menemukan hampir seluruh Mafioso di Mansion tersebut berdiri teratur di jalan dari depan kamarnya, kamar Aurora hingga tangga, hampir setiap satu pijakan tangga satu mafioso, 'Gila!' pikir Megan dalam hati. Barisan para Mafioso tersebut berakhir di meja makan.
Christian, Ren, Aurora, Theo, Ilyas, dan satu orang laki-laki berwajah manis dengan kulit sawo matang di kursi ujung meja bersebrangan dengan kursi Megan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✅️ 6. Behind Xian Artch
General FictionCERITA TELAH SELESAI Namanya Bao Megan, gadis semester dua yang berada di puncak emosi dengan peliknya masalah dari bisnis Dunia Hitam. Tak cukup hanya itu, kisah percintaan yang rumit membawanya pada ketidak pastian berkepanjangan...