DUA TIGA

965 77 0
                                    

Satu minggu berlalu dengan aktifitas yang begitu-begitu saja. Christian dan Ilyas yang akan keluar dari Penthouse saat jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan Aurora serta Megan yang akan memulai hari membosankan mereka di dalam Penthouse.

Empat orang dengan pemikiran selaras yang tidak bisa dianggap remeh kekuatannya. Kekuatan dalam arti memerintah apalagi jika hal itu harus berakhir dengan nominal sejumlah uang.

"Pesan pizza bitch." Megan dengan mata tajam menatap Aurora yang menyerahkan ponsel ke arahnya. "Buruan elah."

"Do it by yourself." Sahut Megan ketus. Kembali tangannya membalik halaman selanjutnya pada majalah. Matanya menatap tertarik majalah yang kemarin malam di bawa Christian.

"Ck." Decakan Aurora tak membuat Megan merubah opininya, alih-alih menggulir kursi rodanya dengan majalah di pangkuan menuju kamarnya dan kamar Christian.

Sementara Aurora menggerutu dengan bibir mengerucut lucu, kakinya ia tendang kecil ke udara, "Kenapa juga si bangsat Christian nggak nyiapin satu aja pemba-"

"TELPON KE RESTORAN BAWAH BITCH!!" Teriakan Megan menggema di seluruh penjuru Penthouse memunculkan anggukan tanda mengerti dari Aurora.

...

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Megan selesai berkutat dengan ponsel miliknya kala bunyi lift terbuka menampakkan satu mafioso masuk dengan dua bungkus makanan cepat saji di kedua tangannya, "Letakkan di meja makan dan terima kasih Yan." Namanya Ryan, mafioso yang setia berdiri di depan lift lantai dasar dekat resepsionis.

Aurora datang dari arah ruang bermain -tempat ps dan segala jenis mainan anak lelaki, mendekati Megan yang terduduk pasrah dengan majalah barunya. Lagi-lagi hanya majalah yang berhasil mengusir rasa bosan milik ratu mungil tersebut.

"Cepat saji lagi, huh." Entah sindiran atau keluhan yang Aurora coba kemukakan.

"Berenti mengeluh dan nikmati apa yang ada." Sahutan dari Megan cukup untuk membuat Aurora melangkah mendekati sahabatnya tersebut.

Aurora mulai bermain dengan ponselnya sambil sesekali mengucapkan sepatah dua patah kata untuk memancing Megan, "Jadi kita tunggu para suami pulang atau makan sendiri?" Megan memutarkan bola matanya malas meladeni ucapan konyol Aurora.

"Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan bitch," Ujar Aurora lagi. Megan berhenti membalik dan menatap Aurora penuh selidik. "Kamu dan Christian yang akan menikah bukan sesuatu yang mustahil." Sorot matanya meredup kala menerawang.

"Bukan seperti aku yang bahkan dipermainkan lebih dari sekali." Tawa Aurora menguar sumbang. Menarik atensi Megan lebih lagi dan dengan itu, majalah ia tutup lalu ia lempar pelan ke karpet.

Megan mengatur kedua kakinya supaya sedikit renggang jarak antara keduannya lalu memutar kursi roda menghadap Aurora, "Aku bahkan shock saat tahu Theo yang membunuh Om Ren." Nadanya melemah di akhir. "Maafkan aku atas nama Theo, Meg." Untuk entah yang ke berapa kali, tapi yang jelas masih bisa di hitung dengan jari; Aurora memanggil Megan dengan nama.

Megan tersenyum hangat lalu mendekati tubuh Aurora yang kini sudah bergetar. Topik pernikahan menjadi sesuatu yang mengganggu kendali emosi seorang Aurora akhir-akhir ini dan karena itulah, Megan menolak lamaran resmi Christian dua hari yang lalu.

"Hey, it's okay bitch. Bukan salahmu." Megan menenangkan dengan gayanya.

Detik berganti Aurora masih sesenggukan di dalam dekapan Megan. Aurora cukup jeli karena tanpa ia bertanya, ia tahu bahwa hubungan Megan dan Christian tidak baik beberapa hari ini. Entah benar atau tidak, ada hubungan dengan dirinya. Ia merasa harus meminta maaf dan memperbaiki keadaan yang ada. Setidaknya biarkan penthouse milik Christian tetap suci tanpa masalah.

...

Tiga puluh menit berselang, Ilyas memasuki penthouse dengan tas kantor di tangan kirinya. Wajah lelaki tersebut kusam tanda ia kelelahan pada aktifitas seharian tadi.

Megan menyambut dengan wajah berserinya, sementara Aurora sudah duduk di salah satu meja makan menyiapkan makanan yang mereka beli tadi.

"Kemana Christian?" Ilyas terdiam dengan kikuk. Bukan ia takut di bentak, ia hanya tidak tahu harus jujur atau berbohong.

Detik berselang, "Di club." Akhirnya ia memilih opsi jujur sebagai jawaban.

Megan mengangguk mengerti, terlihat biasa saja tapi siapa yang tahu ?

Terkadang, seseorang perempuan hanya perlu menampilkan senyuman miliknya untuk mendapat predikat 'wanita kuat' dari orang lain. Munafik sekaligus naif.

"Ayo ke dapur, Aurora sudah menyiapkan makan malam." Megan memutar roda pada kursi rodanya mengarah ke dapur mendahului Ilyas yang merutuki mulut besarnya. Dalam hati merapal Christian tak akan menggantungnya hanya karena ucapan barusan.

"Tenanglah, aku tidak akan mengadu pada Christian kamu bicara jujur," Kata Megan menoleh dengan senyum masih pada wajahnya. "Terima kasih kejujuranmu Yas." Berbalik melanjutkan, sedang Ilyas menyusul kedua ratunya untuk menyantap makan malam.

Berpuluh menit berlalu dengan tenang, hanya denting alat makan saling bertemu yang menghiasi ruangan dapur mini tersebut.

"Jadi, ada apa dengan kalian berdua?" Hanya Aurora yang tidak tahu karena Christian menceritakan semuanya pada Ilyas tadi di kantor.

Dua hari berlalu tak membuat kekecewaan seorang Christian mereda. Pemikirannya; Megan menolak dirinya dengan sangat halus.

"Hei," Aurora mengulurkan tangannya demi mengusap punggung tangan Megan yang tergeletak pasrah di atas meja. "Aku saudaramu bukan? berceritalah, aku tidak akan pernah bisa membantu jika kamu tidak bercerita." Seolah keadaan berbalik, kini Megan-lah yang bersedih.

Namun, air matanya tak sampai keluar.

Bermenit pula berlalu dengan Megan yang menceritakan kejadian dua hari lalu; saat Christian keluar dari dalam kamar mandi dengan dada bertelanjang. Bersimpuh di depan Megan yang duduk di ujung ranjang, "Will you marry me?" yang berakhir dengan, "Tidak sekarang Christian. Maafkan aku."

Bersikap menerima namun nyatanya menolak dengan cara yang sangat halus dan sopan. Meminta maaf pada apa yang seharusnya tak ada yang perlu dimaafkan atau memaafkan.

"Kenapa ditolak?" Suara Aurora halus menyahut cerita Megan.

Megan menggeleng, "Hanya tidak di waktu yang pas. Aku tidak akan berbahagia sementara saudaraku sedang bersedih karena dikhianati. Apalagi, salahku mengiyakan Sevya bergabung dengan kita dan merusak semuanya."

Aurora menggeleng sekali lagi, "Kita tidak lari dari mansion untuk bersedih seperti ini kan?" Megan menatap Aurora dengan mata lelahnya -semalam ia tak tidur karena Christian tidur di ruang kerja milik lelaki tersebut.

"Aku dan perasaanku biarkan menjadi urusanku Me, kamu cukup menjadi penyemangatku. Tidak untuk menolak lamaran yang sudah lama kamu harapkan. Aku tidak di sini untuk di kasihani. Aku di sini karena aku tahu kalian memang menyanyangiku."

"Jauh sebelum hal ini terjadi, aku bahkan sering sedih karena alur kisah cintaku. Namun kembali lagi, biarkan itu menjadi urusanku. Lagipula," Aurora mengalihkan atensinya. "Ilyas menemaniku untuk saat ini."

✅️ 6. Behind Xian ArtchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang