BAB 15 Cinta nggak harus memiliki

2K 64 0
                                    

Part sebelumnya privat ya, hehe
---

Setiap wanita yang ada di dunia ini pasti akan merasa bersalah jika melakukan sesuatu hal yang fatal. Hal yang mungkin bisa disebut dengan kesalahan, atau lebih parahnya lagi dengan main belakang. Kasarnya, perselingkuhan.

Aku nggak tahu, apa yang aku lakukan beberapa hari lalu itu apakah yang dinamakan dengan selingkuh atau bukan. Yang jelas aku memang melakukan hal yang sangat-sangat fatal. Perasaan tidak tenang menghantuiku belakangan ini. Ada perasaan mengganjal yang sedikit demi sedikit menggerogoti akal sehatku.

Rakarya sedang sibuk-sibuknya dengan kegiatan di desa pinggiran ibu kota, mengabdi pada masyarakat di sana. Membantu para bocah-bocah untuk belajar dan mendapatkan ketrampilan. Juga membantu para tetua untuk memperbaiki fasilitas desa. Itu sih sejauh yang ku tahu dari update-an instagram miliknya.

Untuk berbalas pesan, kami agaknya terkendala. Aku yang semakin acuh tak acuh, dibarengi Rakarya yang entah mengapa bisa update instagram tapi tak sempat mengecek pesan.

Jadi, itu salahku atau salahnya, kalau hubungan kami merenggang?

"Mbak Ren!"

"Apaan sih, Gan?! Jangan ganggu dulu, bisa?!"

Aku sedang duduk di depan laptop, mengutak-atik jadwal rundown acara closing PKKMB Fakultas untuk diajukan saat rapat besar besok. Kalau aku tak segera merampungkan ini, bisa-bisa Pandu ngamuk dan mencecarku. Tapi entah mengapa, otakku rasanya macet. Aku nggak bisa konsen dengan rentetan waktu dan apa-apa saja yang seharusnya ada di layar.

Menghembuskan napas kasar, aku mendelik pada Gandi. Di depanku, dia langsung mengkeret sambil misuh-misuh. Semenjak kami sering bersama di rapat atau saat kami satu tim dalam projek video, anak itu tak lagi malu-malu. Kalau dia kesal karena aku, pasti akan langsung di aplikasikan di depanku langsung, tanpa rikuh-rikuh seperti di awal pertemuan.

Suara panggilan yang mampir di telinga, hanya ku jawab dengan gumaman. Ini waktunya rapat sie Acara. Tapi otakku malah tambah bebal, bukannya encer. Sambil menggigiti ujung jari, dibarengi kepala yang nyut-nyutan, aku mendesah pelan. Ambil napas, tahan sebentar, lalu hembuskan. Berulang kali aku melakukannya, berharap pikiran-pikiran laknat yang saat ini mengubek-ubek bisa digeser sedikit agar aku bisa fokus.

Lima menit, senyuman sudah menangkring di bibir. Beberapa anak-anakku sudah berkumpul dan berceloteh ria. Ada yang membahas liburannya di kampung, juga merasa kurang liburan di rumah, lalu bercerita tentang asmaranya juga. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, saat telingaku menangkap nyinyiran seseorang tentang liburannya ke Bali yang gagal karena suatu hal. Raut mukanya bahkan seakan bisa membeberkan betapa sedihnya dia.

Masih enak dia lah punya planning ke Bali, coba tengok diriku ini?

Liburanku ruwet banget. Hanya berputar-putar di rumah dan sekitarnya. Sekalinya pergi ke pantai, juga yang nggak jauh-jauh banget. Atau sekalinya pergi kondangan, pulangnya malah pagi hari. Terpaksa aku harus berbohong ke orang rumah, bahwa aku menginap di salah satu rumah temanku. Setelah itu, aku juga hanya pergi ke mall atau ke rumah saudara-saudara Ayah dan Mama. Kemudian, pergi dengan Pandu dan teman-teman lainnya.

Pokoknya liburanku itu standar banget lah. Nggak ada yang patut dibicarakan seperti liburan anak-anakku. Ngenes banget, ya?

"Lho, Mbak Renata kok diem aja? Biasanya cerewet banget." Aku tersenyum, ketika Anna, salah satu teman Gandi mencoba membangun komunikasi denganku.

"Puyeng nih kepala, berasa mau meledak!" jawabku.

"Paham lah, Ren. Jangan terlalu dibawa spaneng." Bahuku ditepuk oleh Adan yang entah datang dari mana.

AKU TAKUT JATUH (CINTA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang