BAB 9 Dasar generasi michin

2.5K 107 1
                                    

*bayangin deh kalo Raka nyanyi, sebelas duabelas sama aa' Manu

coba tekan bintang kejoranya, siapa tahu ada perubahan wkwk

---

Aku melirik lelaki di sebelahku. Dia duduk tenang, namun tetap berinteraksi dengan bocah perempuan –panggil aja Adek- berambut pendek. Beberapa kali dia dan si Adek bercakap-cakap. Mereka terlihat akrab, jadi aku pikir kalo hubungan mereka adalah kakak beradik. Sekali lagi aku melirik dan si Adek sudah ada di pangkuan lelaki itu. Ku taksir usia lelaki berkaos putih dengan celana rumahan –panggil aja Mas- itu seusiaku. Setidaknya mahasiswa semester awal atau mungkin lawas. Badannya subur, tinggi, putih dan menggemaskan. Eh?

Panggilan 'dek' terucap dari bibir Mas di sebelahku. Dugaan hubungan kakak beradik semakin kuat. Lalu mataku memindai ibu penjual lotek yang sedang mengiris-iris sayuran. Kemudian sambil membuka pesan dari Raka aku melirik lagi ke samping. Tanpa malu, si Mas menciumi pipi Adek, membuat bocah itu tertawa keras. Dekapan erat pada si Adek –aku taksir usia empat tahun- itu membuat aku iri berat. Kalau tebakan aku benar, berarti pautan usia mereka berdua sekitar 16 tahun. Pasti enak banget jadi bocah itu, terlihat bagaimana kasih sayang yang dicurahkan sang kakak pada adik.

Pesanan si Mas selesai dibungkus, melangkah pada Ibu lotek, ia memberi uang sepuluh ribu dan mendapat kembalian empat ribu. Kupingku menangkap pertanyaan si Adek, "buat siapa?" ketika si Mas menyuruh si Adek membawa bingkisan itu. Lalu jawaban si Mas yang aku tangkap adalah kira-kira seperti ini, "buat mamah." Otakku otomatis mencerna kata 'mamah' itu adalah ibu si Mas dan si Adek. Sudah pasti lah, tak terelakkan lagi. Kemudian kakak beradik pergi dengan motor maticnya. Meninggalkan aku yang sedikit ngikik karena iri. Manis banget soalnya. Sikap Mas-nya lho, bukan orangnya. Coba kalau aku single, pasti udah aku sepik. Sayang, ya? Hehe.

"Loteknya pake kupat apa nasi, Mbak?" Pertanyaan yang dilontarkan Ibu membuat aku berhenti dari kikikan. Segera ku jawab, "kupat aja, Bu." Ibu mengangguk, menyiapkan pesananku sambil berceloteh. Sebagai info, aku sering beli makanan di warung ini. Si Ibu enggak cuma jual lotek aja, tapi makanan berat lainnya. Ada jus buah juga, harganya kantong mahasiswa lagi. Setiap aku membeli di sini, Ibu suka curcol gitu. Kadang seputar anak-anak yang ngekos di rumahnya karna susah pas ditagih uang listrik. Kadang juga soal hal-hal lain yang sama sekali aku nggak ketahui. Sebagai pembeli yang baik hati dan tidak sombong, aku meladeni curhatan Ibu dengan senyuman atau kekehan. Catet ya, senyum dan kekehan.

Namun, senyumanku lenyap ketika si Ibu dengan enteng berkata seperti ini, "nikah waktu lulus SMP eh anaknya udah segede itu. Dasar kids jaman nows. Bocah nggawe bocah." Aku menengguk ludahku, yang di maksud Ibu 'bocah' itu adalah si Mas yang sama anak kecil itu lho. Tanpa berpikir panjang, otakku bisa menangkap artinya. Berarti kata 'mamah' yang tadi si Mas bilang itu adalah istrinya. Catet ya, istrinya yang notabene adalah emak dari si Adek itu.

Aku tersenyum miris sambil berjalan pulang ke kos. Dalam hati nggrundel, karena merasa patah hati. Baru saja tadi berandai-andai nyepik si Mas kalau sama-sama single, eh enggak taunya doi udah sold out. Di tambah anaknya udah gede dan menggemaskan. Pantes saja kelihatan sayang banget, orang darah dagingnya sendiri.

Potek hati adek, Bang!

Melupakan kegelisahanku tentang kepotekan hatiku sebelum kuncup apalagi mekar, aku malah jadi teringat kebrengsekan aku dan Raka. Kami berdua kan juga sudah beberapa kali dalam proses pembuatan bocah. Untung saja kami main aman. Bisa dipancung Ayahku kalo aku kebobolan.

Lalu kenyataan menyentak lamunanku, menemukan seorang sedang bertengger di motor. Sibuk pada ponselnya, tapi sesekali melihat kearah jalanan. Membenarkan kacamatanya yang mlorot, dia mengalihkan atensinya dari ponsel hingga bersinggungan mata denganku. Dia nyengir lebar dan melambai. Aku menghela nafas, berjalan mendekatinya. Di dalam sana, jantungku berdetak saling bersautan.

AKU TAKUT JATUH (CINTA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang