BAB 24 Kita itu kaya simbiosis parasitisme

2.6K 66 0
                                    

Hay... Selamat menikmati 😘

---
"Kapan sih kamu balik ke Jakarta?! Betah banget di sana sampe pulang kampung aja setahun sekali! Mamah tuh dicecar Ayah kamu terus-terusan karena nggak pernah pulang, apalagi nggak ada tanda-tanda kamu mau bawa calon suami! Surabaya-Jakarta tiga bulan sekali nggak akan bikin kamu bangkrut kok, nggak secapek Jakarta-New York juga. Heran deh Mamah sama kamu, dapat tugas ke Paris aja dijabanin, tapi kalau disuruh balik rumah malah ogah-ogahan. Jakarta bikin kamu trauma?!"

"IYAAAAA MAMAHKU TERSAYANG TERCINTAAAA..." teriakku dalam hati. Mana berani aku nyahutin omongan orang tua, pamali. Jadi yang bisa kulakukan sekarang ya cuma, diem aja sambil ngegosok kuping kanan-kiri gantian. Setengah jam sudah ponsel merk terbaruku menempel di telinga, memuntahkan cuap-cuapan Mamah yang lagi kesel tingkat dewa karena anaknya nggak pernah pulang ke rumah kecuali lebaran.

Berdoa aja lah semoga gue nggak dikutuk nyokap jadi batu.

"Perempuan memang harus berpendidikan, harus mengejar karir sebelum menikah. Tapi itu bukan alasan biar perempuan lari, sayang. Mamah tahu kalau kamu berusaha lari dari kenyataan, makanya kamu pilih Surabaya."

Beberapa tahun belakang ini aku memang tinggal di Surabaya. Ceritanya panjang kalau harus diceritakan dari awal. Jadi aku hanya kasih tau garis besarnya aja.

Setelah mewek-mewek didekapan Rival, aku langsung minggat karena malu dan serba salah. Pelarianku adalah belajar lebih keras, KKN terus PPL. Juga yusun skripsi dan belajar ikhlas dengan keadaan. Dari pagi sampai malam aku selalu sibuk dengan urusan akademik. Sayangnya, menjelang tidur aku pasti ngeringkuk di bawah selimut sambil mukulin dada yang sakit. Menangisi kebodohan. Positifnya, aku bisa sidang tepat waktu. Total empat tahun hingga aku menyandang gelar sarjana. Sebelum wisuda, aku mencoba melamar gawean di Surabaya. Niat hati ingin kabur dari rutinitas di sini dan cari suasana baru.

"Karena Surabaya berbeda, Mah. Di sini, aku bisa mencoba hal baru, ketemu orang-orang baru..."

Seminggu setelah wisuda aku sudah berada di tanah Surabaya. Menempati rumah kos yang waktu itu masih dibiayain Ayah. Mulai bekerja sebagai junior di perusahaan penerbitan. Di awal-awal memulai karir, aku terseok-seok dengan pekerjaan yang menumpuk. Belum lagi harus adaptasi dengan orang-orang serta suasana yang baru. Memang aku keturunan Jawa, tapi terbiasa dengan suara alus orang Jogja jelas berbeda dengan suara keras orang Surabaya. Mereka selalu berbicara keras dan kasar, seenggaknya menurutku sih.

Aku sengaja mematikan kolom komentar di medsosku, mengganti nomor dan ponsel. Salah satu usaha untuk melupakan kepahitan perlahan-lahan. Tapi memang itu nggak mudah. Sangat sulit. Pelampiasannya, aku jadi workholic, semua deadline dari atasan aku hajar habis-habisan sebelum ditagih. Hasilnya, dua tahun bekerja, aku bisa menempati pegawai teladan. Masuk kategori karyawan senior dengan gaji lumayan. Dipercaya untuk keliling ke Indonesia untuk promosi buku-buku yang baru launching.

"Mamah tahu itu berat, tapi kamu maksa. Ayah sama Mamah nggak bisa ngelarang karena itu pilihan kamu. Jaga diri ya, sayang. Jangan nakal lagi, cukup dulu bikin kamu hancur. Jangan lagi," suara Mamah melirih. Hatiku teriris mendengarnya. Ibu akan selalu jadi ibu, orang yang tahu bagaimana anaknya berperangai. Setelah menutup perbincangan -yang selalu sama setiap minggunya- aku menangis.

Ini tahun keempat aku seperti ini. Dulu, saat masih ada tanggungan skripsi dan lagi mumet-mumetnya, Ayah menamparku bolak-balik. Nggak tanggung-tanggung, sampai bibir lecet dan pelipis berdarah. Entah gimana ceritanya, Mamah yang lagi inspeksi ke kos bisa menemukan benda sialan -yang lupa aku buang- itu. Shock berat sampai pingsan di kamar. Aku yang baru kembali dari kampus tergugu saat Ayah memandangku dingin-tajam-sadis-kecewa-marah. Mamah menangis di pelukan beliau. Tanpa babibu lagi, aku diseret ke mobil. Kebingungan, aku diam sepanjang jalan. Sampai di ruang tamu, pipiku jadi sasaran beliau. Murka, Ayah memakiku sesuka hati.

AKU TAKUT JATUH (CINTA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang