BAB 18 Hidup Mahasiswa Indonesia!

1.5K 57 2
                                    

"Gercep dong! Udah besok lho acaranya, masa masih aja belum selesai sih masang dekorasinya?!" ucapku ketus ketika sudah hampir dua jam lamanya menemani anak-anak PDD lembur memasang dekorasi fakultas di GOR. Besok acara PKKMB tingkat universitas sudah akan dilaksanakan, lalu akan disusul tingkat fakultas besok lusa.

"Santai bisa kali omongannya. Lo pikir nggak ribet masang-masang barong segini gedenya di atas sana, HAH?!!! BANTU AJA NGGAK! JANGAN BACOT DOANG YANG DIGEDEIN!" sebuah telunjuk teracung di depan hidungku persis. Desisan Tival –koordinator PDD- masih menandakan kalau dia lebih emosi dariku. Tapi dasar akunya yang lagi PMS, semakin lawanku berang, aku justru semakin semangat untuk mengalahkannya.

"YA LO PIKIR AJA GUE CEWEK DISURUH MANJAT-MANJAT GOR, HAH?!"

Tival melengos, memanggil anak buahnya kemudian memicing ke arahku. "Balik sana, di sini juga nggak guna." Aku cemberut, Tival memilih mengalah daripada meladeniku.

"Tivaalll...." Rengekanku membuatnya melotot, lalu saat seseorang yang tadi dipanggilnya mendekat, dia berbisik-bisik. Setelahnya, mereka berlalu bersama. Tapi, lima belas detik kemudian, sebuah jaket warna maroon tersampir di bahuku. Saat kepalaku menengok ke belakang, Tival sudah menyeret tanganku ke arah pintu keluar.

"Gue anter balik, jaketnya pake!"

Aku menuruti Tival tanpa membantah satu katapun. Menuruni tangga hingga sampai parkiran dan menaiki boncengan. Motor Tival melaju, membelah kesunyian malam. Sampai di depan kos, dia membuka helm. "Istirahat, Ta. Besok lo harus buka briefing pagi buta lho. Percayain sama gue dan anak-anak lainnya. Nggak usah khawatir dan kebanyakan pikiran. Gue lihat lo dari awal rapat sampe sekarang, jelas banget kalau lo kehilangan berat badan banget. Dari yang semoknya bikin ngiler jadi kurus kerempeng gini, nggak enak dipandang."

Mataku mengerjap mendengar omongan Tival yang panjang kali lebar. Selama aku mengenalnya, Tival adalah lelaki tipe pendiam dan emosional. Dia segan untuk berbicara kalau nggak penting-penting banget. Dan bisa mendengar dia ngoceh sepanjang itu tanpa emosi yang menggebu-gebu, jelaslah aku terkejut. Nggak bisa membalasnya seperti tadi, hanya bisa manggut-manggut.

"Masuk gih, tidur. Besok bangun pagi! Gue balik ke sana, percaya sama kita! Seperti gue yang percaya kalau lo bisa bikin acara kita luar biasa."

Tanpa lambaian tangan atau kata 'bye', Tival melajukan motor matic-nya ke luar gang. Meninggalkan aku yang tersenyum miris. Terngiang dibenakku kata-katanya yang bilang bahwa badanku kurusan. Dia yang nggak terlalu dekat denganku aja bisa melihat perubahan ini. Pantas saja Pandu jadi rajin mengirimku camilan-camilan berbumbu michin, mungkin biar aku jadi agak gemukan.

Melangkah pelan, aku memasuki deretan kos-kosan yang sepi. Kudengar ada lirihan bunyi suara lagu yang di putar dari kamar sebelahku. Aku memutar kunci, membuka pintu lalu menutupnya kembali. Menyalakan lampu kamar, kakiku mengarah ke tempat tidur. Setelah sebelumnya membersihkan diri di kamar mandi dan berganti pakaian tidur.

"Tidur... tidur... tidur..." sugestiku. Sekarang sudah jam setengah sebelas malam, waktunya aku menjemput mimpi. Padahal besok pagi buta, aku harus sudah berada di area kampus.

Sepuluh menit kemudian, mataku masih belum mau terpejam. Aku mengecek notifikasi ponsel. Ada ratusan pesan dari grup yang belum sempat aku buka dan cek isinya. Menggulir ke bawah, aku menemukan satu pesan dari Abiel.

Abiel Gnd : kapan kmu balas pesanku, Nat?

Abiel Gnd : plis jangan hanya dibaca

Abiel Gnd : butuh waktu berapa lama agar kamu paham klo kita saling membutuhkan?

Setiap harinya, terhitung sejak aku berjanji akan mengejarnya jika dia memang jodohku, Abiel selalu mengirimiku pesan. Entah itu berisi gombalan receh, ungkapan rasa rindu, atau permintaannya agar aku berkenan untuk mengetikan balasan. Namun, yang aku lakukan justru sebaliknya. Membaca lalu membiarkan.

AKU TAKUT JATUH (CINTA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang