BAB 23 Jadi, aku sudah terlambat ya?

1.6K 60 0
                                    

selamat menikmati~

---

 Aku terpekur di depan buku sambil selonjoran menunggu masuk kelas. Semester ini, Lian mengambil cuti kuliah. Kehamilannya membuat suami tercintanya jadi sangat protektif. Jadwal bertemu dengan geng curut jadi berkurang intensitasnya. Ketambahan Maya yang memutuskan berkerja paruh waktu. Bukan untuk nambah uang jajan, tapi karena bosnya itu super tampan. Dia sering nge-flirting dan berharap diciduk jadi pendampingnya. Kasian deh, Adan. Harus patah hati terus-terusan.

Memasuki semester tua, kegiatanku berkurang. Sudah tidak lagi aktif di organisasi, aku memilih fokus ke kuliah. Mengejar ketertinggalanku dari teman-teman yang mulai setor judul skripsi. Cukup dengan dua curut itu yang tertinggal, aku nggak mau ikutan.

Sekarang aku di masa-masa menyelami diri. Memantaskan diri agar bisa menemukan yang terbaik nantinya. Melupakan masa-masa kelam tapi tak luput untuk belajar dari pengalaman. Kata orang, pengalaman itu guru yang terbaik. Dan aku percaya. Pengalaman pahit cukup membuatku tersentak, hingga sadar diri, koreksi diri, dan memantaskan diri.

Pandu menikahi Kezi satu bulan yang lalu, setelah sebelumnya babak belur karena dihajar kakak-kakak Kezi dan ditempeleng Ayahnya. Aku yang melihat wajah gantengnya jadi acak adul cuma ngakak lebar. Terakhir kali aku bertemu, dia dan Kezi sudah sangat mesra. Akhirnya, il est trouvé son grand amour.

Soal mantan, kami sudah saling melepaskan. Menganggap apa yang pernah ada di antara kami adalah masa lalu yang cukup dikenang sesekali saja. Beberapa kali kami bertemu, dia selalu melempar senyum seadanya. Tanpa ada tegur sapa atau saling menghampiri. Ini pilihan kami, membatasi diri agar tak saling menyakiti kembali.

"Renata?"

Aku tersentak mendapati Pak Taka berdiri di depanku. Kedua tangannya menyandar pada dinding pembatas, senyum menghiasi wajah tampannya. Senyum itu mengingatkanku pada seseorang. Siapa lagi kalau bukan adik kandungnya, Abiel Gandhi.

"Nunggu kelas?" tanyanya.

Demi kesopanan, mau tak mau aku bangkit, lantas berdiri dan menyalami beliau. "Bapak ada kelas?"

Pak Taka menggeleng, "Oh nggak, berhubung tadi saya liat kamu jadi ke sini. Tapi pertanyaan saya belum dijawab lho," aku menggaruk tengkuk yang nggak gatal. Salah tingkah.

"Iya nunggu kelas yang mulainya satu jam lagi," cengirku.

"Bicara bentar yuk?" Tanpa menunggu balasanku, Pak Taka mengode agar aku mengikutinya.

Pak Taka menggiringku ke kantin. Untungnya lagi sepi, jadi nyinyiran unfaedah nggak akan membanjiri medsos-ku. Ini sebenarnya agak bikin trauma. Semenjak penutupan ospek, entah sumbernya darimana, ada yang menyebarkan isu putusnya aku dan Raka karena perselingkuhan yang disulut olehku. Jadinya, medsos-ku penuh dengan sindiran dan hal-hal nggak mengenakan. Sindiran penuh kata-kata tajam selalu aku terima di Direct Message, bahkan maba-maba aja berani buka suara.

Dua gelas jus alpukat tersaji di meja. Tanganku memainkan sedotan saking gabutnya. Sebelum pembicaraan di mulai, Pak Taka ijin mengotak-atik ponselnya, beliau bilang istrinya lagi agak rewel. Aku cuma tersenyum maklum, meskipun dalam hati menggerutu. Kalau sibuk harusnya nggak usah ngajak ngomong, dong. Untungnya, tak lama Pak Taka memasukkan ponselnya ke dalam saku.

"Butuh kata pengantar atau langsung ke intinya?"

Tanpa pikir panjang aku langsung menjawab, "Intinya aja, Pak. Kan Bapak orang sibuk." Pak Taka tersenyum miring menganggapi gurauanku. "Saya pikir, hubungan kamu dengan adik saya nggak berjalan lancar? Benar begitu?"

Mengulum bibir, aku mengangguk. "Begitu lah, Pak. Cerita kami sudah lama selesai."

"Kenapa?"

"Maksudnya, Pak? Apanya yang kenapa?" polosku. Sebenarnya aku tau apa yang ingin Pak Taka ketahui dan kehendaknya. Entah itu darinya sendiri atau adiknya.

AKU TAKUT JATUH (CINTA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang