BAB 22 Hidup itu bukan ramalan, melainkan kekejaman

1.5K 59 0
                                    

Enjoy wan kawan!

---

"Ngiler boleh nggak sih gue?" kata cewek yang rambutnya dicepol rapi. "Belum naik panggung aja gue udah ser-seran liat Kak Raka."

Cewek berkerudung hitam menimpali, "Cakepnya overload, kyaaaa..." semuanya menangguk semangat. Sedangkan cewek ketiga yang bibirnya merah menyala berbicara, "Gue denger-denger vokalisnya tuh pacarnya Kak Renata lho," ada perusuh –cewek cepolan yang rambutnya udah nggak rapi- datang dengan hebohnya. "Rumornya udah nggak pacaran. Gagal Manten malah jadi mantan!"

Mereka berempat terbahak sambil bertepuk tangan heboh. Jalan santai berjejer bak cabe-cabean mangkal di perempatan. Lantas gerombolan ciwi-ciwi itu membuat tangan gatal. Pengen nampol. Asli, serius.

Jelas-jelas aku yang besarnya melebihi pohon toge ini lagi berdiri di samping toilet perempuan. Tanpa tertutup masker atau benda-benda lainnya yang mampu menghalau wajahku dari pandangan mereka. Gandi yang cungkring juga lagi jongkok, sehingga aku masih terpampang jelas keberadaannya. Sebut-sebut namaku dengan enteng, berarti mereka cukup tahu mana yang namanya 'Kak Renata' dan bentukannya kek gimana.

Dasar maba menthel!

"Jangan didengerin Mbak Ren, anggep aja angin lalu," santai Gandi. Mencebik, aku mengiyakan. Lalu melanjutkan langkah kami setelah Gandi membenarkan tali sepatunya.

"Gue tahu gue cuman mantan nggak indahnya, Gan. Gue kasih dia sepahit-pahitnya kenangan, bahkan lebih pahit dari buah maja atau bratawali. Tapi bukan berarti dia bisa gituin gue tadi, kan? Yang lain diajakin salaman, ditanyain ini itu, lha gue? Udah disodorin tangan aja, dia malah sok-sokan nangkupin di dada. Nggak ingat apa kalo nyipok gue aja dia doyan banget?! Gue senyumin, dia malingin muka. Gue salah tingkah di di depannya persis, dia malah sok menikmati ruang backstage. Sakit, Gan. Sakit yawlord..." diujung curhatanku buliran kristal bening meluncur deras. Gandi melongo, meringis. Menepuk punggungku, prihatin. Udah biasa jadi tempat sampahku, dia tahu sikap yang harus diambil.

Emosiku masih menggebu-gebu. Teringat acuhnya Raka si mantan terindah.

"Renata, ini guest star udah dateng. Langsung backstage aja, kan?" tanya Adan. Dia diekori Raka dan pasukannya. Aku tersenyum rikuh, mereka membalas sama rikuhnya. Ya kecuali satu orang, dia bahkan nggak mau repot-repot menolehkan kepala.

"Iya langsung ke sana. Well, thanks banget karena kalian bisa ngisi di sini," menjabat tangan personil satu persatu sampai akhirnya aku berhadapan dengan Raka. Sambil menggigit bibir dalam menahan gugup-nyeri-rikuh-sakit hati, aku mengulurkan tangan kanan. Tapi, raut datarnya menjadikan aku tersentak. Kedua tangannya menangkup di dada, tanpa buka mulut alias basa-basi. Aku tarik kembali uluran tangan sambil misuh dalam hati.

Tengsin, kugaruk tengkuk. Lalu mengajak mereka masuk gedung stage pertunjukan –tempat ospek fakultas- lewat pintu belakang. Bertemu Pandu hingga aku gemas sama sikap mereka. Jelas-jelas Pandu bersikap tak bersahabat pada Raka dan begitu pula sebaliknya. Hanya Adan dan Raka yang bisa bersikap layaknya nggak pernah ada perang dunia sebelumnya.

"Gitu-gitu juga dulu Mbak Ren cinta mati," gumam Gandi. Seketika aku menyaut, "Gue nggak cinta mati ya sama dia!" Gandi terkekeh ngibasin tangannya, "Iya Mbak iya, wong sekarang isih urip yo nggak mati."

Aku berjalan lebih cepat, meninggalkan Gandi. Membuka ruang bintang tamu, menghampiri Adan. "Tolong nanti Senandung masuk stage sesuai rundown ya," ucapku mengamati kertas di tangan. Tinggal lima belas menit lagi acara penutupan dimulai.

AKU TAKUT JATUH (CINTA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang