I bet you never see this,
never thought it there.-----
Suara dentuman keras terdengar mengoyak dari seberang. Tepat sesaat setelah Pandora memberi peringatan pada Edwan. Gadis itu menatap Anneth yang berada di sampingnya penuh kekhawatiran. Mungkin memang benar, beberapa hal dalam dunia ini bisa diperkirakan.
"Halo Edwan? Halo, Edwan!" teriak Pandora panik. "Halo, Edwan kamu dengar aku?"
"Gimana?" tanya Anneth dan Neta spontan, keduanya juga tampak khawatir.
"Dia gak jawab, tapi panggilannya masih nyambung. Barusan gue dengar suara benturan keras."
"Oh my God!" seru Anneth hampir tak percaya apa yang terjadi hari ini.
"Ini udah bahaya banget lo. Coba lo cek lokasi dia sekarang."
"Iya ini juga lagi dicoba. Nah ketemu!" Seru Pandora semangat. "Ayo kita kesana. Fapi kalau dugaan aku salah lagi gimana? Kalau ini murni kecelakaan?"
"Oke, kita buktikan sekarang, ya!" Seru Anneth sambil memegang bahu Pandora.
Pandora punua firasat aneh. Ia tahu kalau ia seharusnya tak membiarkan benaknya berkeliaran jauh. Namun dari pertemuan singkat kemarin ia bisa menangkap tindak-tanduk Lisa dan Eros yang mungkin melakukan hal nekat. Apalagi kata-kata Edwan pada Lisa yang menusuk kemarin. Pandora tak mau berburuk sangka, tapi tak mungkin ini kebetulan. Terlepas dari siapa yang melakukannya, Pandora berharap Edwan baik-baik saja.
-----
"Edwan, kamu gak pa-pa?" tanya Pandora setelah berlari memasuki ruangan gawat darurat, ia langsung memeluk lelaki yang sedang berbaring di atas bankar rumah sakit itu.
"I'm fine." Jawab seseorang yang dipeluk itu amat canggung. "It' okay. I'm okay."
"Gue udah bilang kan makanya kalau nyetir itu pelan-pelan aja! Dasar!" Dari suaranya gadis itu nampak kesal, namun ia masih memeluk seseorang di depannya. Melampiaskan emosi dalam dirinya.
"Aduh, sakit nih. Gue baru kecelakaan nih." katanya sedikit pelan sambil menepuk bahu Pandora.
"Oh iya, maaf!"
"But thank you. Kamu udah kasih tahu, kalau gak, mungkin gue udah mati."
"Jangan ngonong gitu. Kamu gak perlu berterimakasih. Kamu tetap aja luka. Mobilmu juga rusak parah, belum lagi restoran itu."
"Bakal aku beresin hari ini juga." jawab Edwan lebih seperti bergumam pada dirinya sendiri.
"Tapi kamu belum pulih."
"Itu bisa diatur." Jawabnya santai. "Habis ini aku mau ke restoran itu. Mau ikut?"
"Emang udah boleh balik? Lo luka parah banget, Bro."
"Kelihatannya aja."
"Kalau aku dokternya aku. Gak bakal kubiarin kamu lolos dengan mudah."
"Kalau gitu aku harus bersyukur, untung bukan kamu dokternya."
"Asal tahu aja. Kayanya aku belum bilang tapi aku kuliah kedokteran. Kalau sampe kamu berobat ke aku dan ngeyel begini, gue suntik juga lo-"
KAMU SEDANG MEMBACA
the Edge.
Teen FictionKetika divonis mengidap kanker otak yang sudah cukup membuat Edwan porak-poranda, sang ibu malah memilih pergi meninggalkan dirinya dan ayah yang tak pernah sepaham bersama lelaki lain. Tak cukup di situ, sahabat satu-satunya yang ia punya bukan men...