Angin malam berembus kencang membelai kulit gadis itu. Bermain-main dengan rambutnya. Membuat helai demi helai rambut itu menari-nari di udara. Ia sudah duduk di sana sejak dua jam lalu. Kali ini ia mengecek jam tangannya lagi. Entah sudah berapa kali ia melakukannya. Gadis itu, Pandora ia sedang menunggu seseorang di teras rumah sakit itu, Edwan.
Ia mengeratkan jaketnya, dingin. Hari sudah larut, namun Edwan tak kunjung datang. Ia mengecek jam tangannya lagi dan lagi. Jarum jam itu terus berputar mengiris ketenangan teras rumah sakit. Beberapa kendaraan masih berlalu lalang namun rasanya tetap sepi.
Hal itu semakin membuat perasaannya campur aduk. Ia sedih atas sepeninggalnya Christop, tentang Prim, lelah menunggu, dan kesal karena Edwan tak kunjung datang. Jauh di dalam ia merasa kecewa. Padahal ia benar-benar membutuhkan lelaki itu untuk menemaninya. Rasanya rumit, untung ia bisa menguraikannya satu-satu. Namun hal itu tak memperbaiki keadaan. Untuk kesekian kalinya ia mengetikkan pesan pada lelaki itu.
Alisnya berkerut. Ia sudah berkali-kali menghubungi lelaki itu namun tak satupun pesan atau panggilannya mendapat balasan. Setidaknya jika tidak bisa datang ia bisa menghubungi gadis itu.
Namun tidak. Begitu mudahnya. Pada akhirnya semua hanya omong kosong belaka. Menunggu itu menyebalkan, mengertilah. Apalagi jika yang ditunggu ternyata tidak datang. Percayalah itu semenyakitkan cinta yang bertepuk sebelah tangan.
"Show me where you are. Tonight is so cold and i need you here, by my side."
Pandora menatap sekelilingnya yang mulai sepi dan angin malam masih berhembus. Membuatnya merasa putus asa ketika mendapati mobil ambulance mulai mendekat. Padahal ia berharap Edwan yang datang. Ia sungguh kecewa. Gadis itu berdiri dan mengangkat tasnya. Ia memutuskan untuk pergi dari sana dan pulang.
Ambulans itu menurunkan sebuah bankar yang diatasnya terbaring lemah seseorang yang sedari tadi ia tunggu. Seseorang itu memejamkan matanya dengan begitu rapat. Hidung bangirnya sudah tertutup oleh masker oksigen yang membantu agar pernapasannya berjalan lancar. Empat orang petugas berseragam putih menggiring bankar itu dengan tergesa namun tetap berhati-hati.
Pandora sama sekali tak menyadari kalau lelaki yang ada di sana adalah Edwan. Detik itu, sebelum melangkahkan kakinya Pandora mengecek ponselnya kembali. Tidak ada notif dari Edwan. Yang ada dari bibinya yang tinggal di Tanah Abang menyuruhnya segera pulang sedari tadi.
Bibi Maria Yang Hobi Masak: Pandora, dimana kamu? Cepat kembali. Almarhum Christop akan segera dimakamkan.
Bibi Maria Yang Hobi Masak:
Kami harus segera melakukan prosesi pemakaman. Kembalilah secepat mungkin. Jika kamu dalam kondisi mendesak aku paham. Setelah selesai cepat kembali.Akhirnya ia membulatkan tekad untuk memutuskan penantiannya.
"Just a waste."
Ia melangkahkan kakinya menuju parkiran rumah sakit dan bersimpangan dengan Edwan yang tergeletak di bankar itu. Sialnya Pandora tak melihat siapa yang terbaring di sana. Ia sudah terlalu lelah untuk mengamati.
Setelah bersimpangan, bankar itu masuk ke ruang IGD dan Pandora menghentikan langkahnya. Ia menengok ke belakang.
"Poor person just like me."
Gumamnya lalu pergi setelah membiarkan GoCar yang ia pesan menunggu disana selama sepuluh menit.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
the Edge.
Teen FictionKetika divonis mengidap kanker otak yang sudah cukup membuat Edwan porak-poranda, sang ibu malah memilih pergi meninggalkan dirinya dan ayah yang tak pernah sepaham bersama lelaki lain. Tak cukup di situ, sahabat satu-satunya yang ia punya bukan men...