Kita berbeda.
Satu hal itulah yang baru benar-benar kusadari belakangan ini. Entah apa saja yang sudah kulakukan selama hampir satu tahun kebelakang, tetapi sungguh aku tidak pernah memikirkannya. Aku hanya, terbuai-akan semua yang terjadi. Bersama Edwan tidak membuatku merasa ada kecanggungan diantara kami. Kami biasa berbagi hal-hal yang terjadi, meski begitu kami tidak saling berusaha untuk menerobos privasi satu sama lain. Dan aku benar-benar menyukainya.
Sekarang sudah pukul tujuh pagi dan aku masih di rumah Edwan. Setelah bangun dari pingsannya tepat pukul tiga pagi tadi, lelaki itu terlihat lelah dan kebingungan. Jadi, aku memintanya tidur. Sampai sekarang Edwan masih belum bangun. Dan disinilah aku sekarang. Di dapur, untuk menyiapkan sarapan bersama Mbok Mini.
Kami memasak beberapa makanan. Satu diantaranya adalah sup kentang yang sedang kubuat. Aku tidak terlalu pro dalam hal ini, tapi skillku tidak bisa dipandang sebelah mata juga. Apalagi setelah papa meninggal, aku melakukan semua hal sendiri-termasuk memasak.
Kulihat di sebelahku Mbok Mini sedang sibuk memotong sayuran. Wanita itu begitu tekun melakukan pekerjaannya. Ia kelihatan lelah, tetapi itu tidak mempengaruhi hasil pekerjaannya. Mbok Mini tetap maksimal melakukan kegiatannya. Tapi tidak untukku, kuambil sebilah pisau dapur yang tergantung di dinding depanku dan sayuran yang belum selesai dipotong Mbok Mini.
"Biar saya yang teruskan, Mbok. Mbok, istirahat saja. " kataku.
"Aduh, Non. Jangan, biar saya teruskan. Nanti malah Non yang capek. Lagipula kita tadi kan sudah bagi-bagi tugas. " ia tersenyum ramah. "Biar Mbok sudah tua. Tapi tubuh ini masih sangat kuat kok, kalau cuma urusan masak gini mah, kecil. " katanya.
Wanita paruh baya itu lalu meneruskan pekerjaannya. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku terbilang orang yang cukup kompeten dalam banyak hal. Aku akan melakukan apa yang sudah aku katakan. Atau terserah, kau bisa menyebutku keras kepala. Jadi aku tidak akan menyerah.
"Supnya sudah hampir matang kok, Mbok. Saya juga nggak ngerasa capek sama sekali. Daripada saya disini nggak ngelakuin apa-apa mendingan saya bantuin, Mbok kan. " elakku.
"Aduh, Non Pandora ini sudah cantik, baik lagi. Den Edwan benar-benar beruntung. "
Aku tersenyum menanggapinya. "Terimakasih, Mbok. "
Namun sesuatu mengganjal di kepalaku sedari tadi. Rumah besar ini terlihat sangat sepi. Akhirnya pertanyaan besar keluar dengan sendirinya dari bibirku. "Om Smith kemana, Mbok? " tanyaku.
Mbok Mini menatapku sebentar, menghentikan kegiatannya. "Itu yang pengen saya bicarain sama Non. "
Setelah menyelesaikan kegiatannya Mbok Mini mengajakku duduk sambil memakan sarapan. Aku mendengarkan ceritanya dengan cermat. Ia menjawab pertanyaanku tentang dimana Om Smith dan aku tidak bisa mengelak untuk tidak percaya akan apa yang dikatakannya.
Aku belum lama masuk ke kehidupan Edwan. Maksudku tidak terlalu singkat juga. Tapi sejauh yang kulalui bersamanya kupikir keluarga ini benar-benar mengalami konflik yang nyata dan berat-terlepas dari konflik yang dialami masing-masing individu di dalamnya. Aku tidak tahu ujian apalagi ini. Tidak bisa kubayangkan bagaimana jadinya nanti jika Edwan tahu. Airmataku menetes tanpa bisa kukendalikan. Mbok Mini memohon padaku.
"Jangan bilang ke Den Edwan ya, Non! Saya sebenarnya dilarang sama Tuan buat cerita ke siapapun termasuk Den Edwan. Tapi saya gak bisa menyimpan ini sendiri. Saya rasa Non Pandora perlu tahu. Hari ini Tuan Smith akan pulang dan menjelaskannya ke Den Edwan. "
↭↭↭↭↭
Ago berdecak pelan mendengar perintah mamanya yang masih berkutat dengan laptopnya. Wanita itu mengatakannya dengan begitu mudah dan tampak acuh-tidak peduli. Padahal perkara yang barusan ia katakan bukanlah sesuatu yang ringan, semacam ingin makan mie instan saat hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
the Edge.
Teen FictionKetika divonis mengidap kanker otak yang sudah cukup membuat Edwan porak-poranda, sang ibu malah memilih pergi meninggalkan dirinya dan ayah yang tak pernah sepaham bersama lelaki lain. Tak cukup di situ, sahabat satu-satunya yang ia punya bukan men...