Sekolah adalah tempat menuntut ilmu, katanya. Namun apa arti sekolah jika yang diharapkan oleh para muridnya hanyalah jam istirahat, jam kosong, dan libur. Aku benar, bukan?
Di beberapa aspek kurasa sekolah hanya formalitas. Yang kita butuhkan hanya ilmu pengetahuan yang ada di dalamnya. Dan bagaimana pengetahuan itu didapat? Ya belajar, Bung! Gak harus dari buku diktat, dari novel atau komikpun bisa. Karena menurutku sebagian besar kejadian yang akan menimpamu di kehidupan nyata, tidak banyak kau dapati di buku sekolah, melainkan dengan bagaimana caramu memandang kehidupan. Begitu banyak yang terjadi bahkan ketika kau menutup mata untuk berkedip. Banyak jalan menuju Roma kan? Asal ada niat.
"Lis, udah ngerjain tugas PPKN belum?" Tanya Eva ketika ia tiba di sekolah pada rekan sebangkunya, Lisa. Gadis itu nampak terburu-buru.
"Oh itu. Udah, nih!" mengambil buku bersampul batik dan menyerahkannya pada Eva.
"Aku salin ya, masih ada waktu sebelum bel."
"Udah santai aja. Kan jadwalnya jam kedua."
"Orang kek gitu mana bisa dibikin santai."
"Lagian, lo ngapain aja sih di rumah, dasar!" Amel langsung mengomel pada Eva begitu ia selesai piket. Dan iapun duduk di bangkunya yang berada tepat di depan bangku Eva dan Lisa.
"Iya, kamu tuh ya, Va!" Ica menimpali.
"Kemarin malem ya, aku kan ke kafe tuh," Belum selesai kalimat Eva, Amel langsung memotongnya dan itu membuat Eva kesal.
"Oh, jadi kemarin lo main ke kafe dan nggak ngajak gue? Tega lo ya, padahal gue pengen banget kopi putihnya Alldays. Lo pasti ke Alldays kan?"
"Sabar dulu dong. Biar Eva bisa cerita. Ih elo mah Mel!" Ica mendelik, temannya itu kebiasaan suka interupsi ucapan orang.
Amel melirik Eva dengan kesal. Mereka memang selalu bertengkar seperti itu.
"Iya-iya maaf. Kemarin tuh mendadak banget. Kakak gue yang ngajak soalnya wifi di rumah soak. Nanti deh pulang sekolah gue traktir."
"Seriusan?" Tanya Ica.
"Iya!" Seru Eva meyakinkan.
"Ok deh. Ikut kan, Lis?" Tanya Amel pada Lisa.
"Iya, ikut." Kemudian Lisa menanyakan "Eh tapi, bukannya Alldays beberapa hari lalu ada masalah, ya? Yang itu pegawainya jadi tersangka utama pembunuhan polisi."
"Oh iya. Yang itu, aku pernah nonton di berita kemarin." Tambah Amel.
"Kayanya kasusnya masih diusut sih." Ica memberikan pendapatnya. "Tapi Alldays kan besar tuh, cabangnya juga banyak dan dikasus itu cuma ada satu pegawai bagian delivery. Jadi menurutku sih, perusahaan sebesar itu pasti tetep bisa berjalan lancar. Itu cuma kerikil deh kayaknya buaf mereka. Kerikil di pinggir jalan. Lagian rasa kopinya enak."
"Iya juga, ya." Amel
Lisa diam-diam memperhatikan ekspresi ketiga kawannya. Itu artinya usahanya berhasil. Tidak ada yang curiga pada kasus itu, persis seperti harapannya.
"Nah, kemarin banget nih pas gue sana ada cewek cantik, lagi sama pacarnya deh kayaknya. Terus mereka kaya ribut gitu. Eh taunya si cowok brengsek dia ngelempar barang-barang yang ada di meja itu kearah si cewek." Eva mulai menceritakan apa yang dilihatnya kemarin.
"Hah? Masa? Kok bisa sih. Terus-terus ceweknya gimana?" tanya Amel dengan antusias.
"Ceweknya ketumpahan kopi sama tomyam. Kasian sumpah. Terus dia kayak kesakitan gitu. Habis ngamuk gitu itu si cowok kabur. Gila kan. Akhirnya orang-orang pada ngumpul nolongin si cewek." lanjutnya
KAMU SEDANG MEMBACA
the Edge.
Teen FictionKetika divonis mengidap kanker otak yang sudah cukup membuat Edwan porak-poranda, sang ibu malah memilih pergi meninggalkan dirinya dan ayah yang tak pernah sepaham bersama lelaki lain. Tak cukup di situ, sahabat satu-satunya yang ia punya bukan men...