Piece32 useless

1.9K 126 9
                                    

Hari ini aku langsung pulang setelah kencan dengan Edwan.

Well, apakah itu tadi bisa disebut dengan kencan? Mungkin iya pada awalnya. Tapi kenyataannya, pertemuan itu terasa sangat menyakitkan untuk kita berdua. Baik bagiku ataupun Edwan sendiri. Aku yakin itu.

Kuhentikan langkahku.

Aku tahu. Aku bodoh sekali memintanya menceritakan semuanya, padahal aku sendiri belum siap menerima kenyataan terburuk yang akan terjadi. Kupikir semuanya akan baik-baik saja, ternyata aku salah. Hal yang menimpanya itu, jauh lebih buruk dari bayanganku. Lalu aku menyambutnya dengan buruk juga.

Maksudku, aku selalu mengatakan pada diriku sendiri untuk menyiapkan diri akan kemungkinan terburuknya. Tapi aku tidak pernah mengira akan jadi seperti ini.

Or maybe, maybe i'm just not that ready.

Silly me!

Tapi haruskah semuanya terjadi di kencan pertama kami? Demi apapun, aku mengacaukan semuanya. Kenapa rasa penasaranku ini tidak bisa dipendam barang sedikitpun? Bukankah seharusnya kita memang mengenal satu sama lain dahulu? Aku hanya ingin membuktikan padanya kalau aku selalu ada untuknya.

"Akh! Gila! " aku mengacak rambutku. Terserah seperti apa nanti bentuknya. Aku tidak peduli lagi.

Dari sekian banyak orang di dunia ini mengapa harus aku yang diperlakukan seperti ini oleh takdir.

Kuseka air mataku cepat-cepat dan kembali berjalan senormal mungkin melewati koridor apartemen ini. Tidak banyak orang yang lewat, tapi beberapa diantaranya melirikku aneh. Lalu apa peduliku? Kau salah jika mengira aku akan menghiraukan pandangan orang.

Aku terus menunduk hingga mataku menangkap sepasang sepatu cokelat di ubin putih itu. Aku yakin aku tidak salah jalan, ini adalah pintu apartemenku. Sepertinya aku tidak membuat janji dengan siapapun hari ini. Tapi tunggu, rasanya aku sangat familiar dengan sepatu ini.

"Udah balik? " suara ini, seperti.

Aku mengangkat kepalaku seketika. Alisku mengkerut setelah menyadari si pemilik sepatu, yang sebenarnya sudah kuduga itu.

"Ngapain kamu di sini? " tanyaku dengan nada yang sangat-sangat tidak bersahabat.

Bukannya menjawab Prim langsung memegang bahuku, namun segera kusingkirkan tangannya. Padahal hal itu sangat kusukai. Dulu.

People change and so i am.

"Siapa? " ia bertanya dengan suara yang sedikit lebih tinggi. Aku mengernyit sebagai respon.

"Siapa yang berani buat kamu nangis? " tanyanya sekali lagi. Kali ini raut wajahnya tampak marah.

"Bukan urusanmu! " segera kumasukkan kunci pada lubang yang ada di pintu itu lalu membukanya.

"Sejak kapan kamu punya urusan sendiri tanpa aku? "

Aku langsung membalikkan tubuhku ke arahnya. Kutatap mata beriris cokelat muda yang bening itu dengan penuh tanya.

Aku meringis sejenak, "Sejak kapan, ha? Sejak kapan, kamu bilang? " bisa kupastikan nada suaraku juga naik, tanpa bisa kutahan.

Hari ini aku lelah sekali. Pertemuanku dengan Edwan sudah cukup untuk menguras seluruh tenagaku. Perasaan yang hancur ini mendorongku untuk cepat-cepat tidur. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi.

Tapi sekarang, Prim ada di depan pintu. Kehadirannya yang sangat tidak diharapkan itu benar-benar mengundang emosiku. Padahal sudah kucoba tahan sekuat tenaga. Tetapi semuanya sia-sia akhirnya aku meledak juga.

the Edge.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang