Piece 14 Stranger

2.1K 127 2
                                    

"Pain killer?"

Smith menatap lekat Edwan yang menyesap Chateau Lafite Rothschild Vintage 1990 Red Wine itu dengan santai.

"Obat seperti ini, tidak bagus untuk hati dan ginjalmu."

"I never said that i'm fine right?"

"Thats it. You always like this. Hiding it all the time." Smith menuangkan wine dan meneguknya perlahan. "Ahh, jangan berubah, jadilah Edwan yang manis seperti dulu." lanjutnya.

Ia mulai merasa tidak nyaman dengan orang itu, yang seenaknya datang dan pergi di kehidupannya.

"Okay. I mean sorry, Ed. Papa memang bukan orang yang baik, bukan seorang Ayah yang baik. Tolong maafkan papa. "

Kedua bola mata itu terus bertemu. Namun ia tak bisa membohongi dirinya sendiri, Edwan lega akhirnya Smith meminta maaf. Entah mengapa ia senang mendengarnya.

Ia memang bukan tipe orang yang senang menatap mata lawan bicaranya. Jadi dialihkannya pandangan itu. Tiba-tiba saja rasa sakit di kepalanya datang kembali, bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Dan terasa seperti pukulan benda tumpul dari belakang dan menghantam kepalamu dengan keras.

Refleks Edwan mencengkram kepalanya kuat-kuat sambil menjambak surai hitam kelam itu. Tadinya ia hanya turun untuk mengambil air putih dan meminum pain killer itu. Namun yang ia lakukan malah minum-minum di sana.

"Kamu kenapa?" Smith yang terkejut dengan pergerakan Edwan, ia menyentuh bahu anak itu.

Sementara yang ditanyai malah menenggelamkan wajahnya di antara kedua tangan itu, sambil tetap mencengkram kepalanya sendiri.

Tidak jangan sekarang. Edwan tak ingin orang itu mengetahui apa yang sedang ia coba sembunyikan. Dengan usaha keras ia menggigit bibir bawahnya agar erangan kesakitan tidak keluar dari sana dan memperburuk keadaan dan merapatkan giginya.

Atmosfer di dapur sedikit berubah.

"Edwan!" tegur Smith karena anak itu tak meresponnya.

Entahlah bagaimana nantinya, yang ada di pikiran anak itu saat ini adalah, segera pergi dari sini. Intinya dia harus pergi, entah nanti ia mampu menaiki tangga menuju ke kamarnya atau tidak.

Akhirnya ia berdiri, wajahnya sudah pucat dan bibirnya sangat kering serta nampak memutih, padahal ia baru saja minum. Peluh sudah bercucuran di seluruh tubuhnya, seperti seorang atlet marathon yang baru saja menyelesaikan tugasnya.

Entah kenapa pandangannya semakin memburuk dan kabur, padahal ia sudah menggunakan lensa kontak. Apakah minusnya sekarang bertambah atau karena penyakit itu sudah mulai menjarah indera pengelihatannya. Ia tidak tahu.

Ia menatap Smith di depannya dan wajahnya tidak terlihat jelas, padahal jarak meraka saat ini mungkin hanya empat puluh sentimeter. Ia memijat pangkal hidungnya dengan jari-jarinya yang kurus.

Smith yang menatap anaknya dalam kondisi seperti itu terpaku, ia segera berdiri dan menatap Edwan lebih dekat.

"Ed kamu sakit?" tanya Smith saat Edwan mulai berjalan menjauh darinya.

Tanpa menghiraukan pertanyaan Smith, ia berusaha berjalan senormal mungkin menuju kamarnya. Di tangannya ada tabung kecil berisi pain killer. Seharusnya ia menelan pil itu juga jika ingin rasa sakit itu cepat lenyap. Namun entah apa yang dipikirkan olehnya.

Mungkin ia tidak ingin menunjukkan pada Smith kalau ia sudah benar-benar ketergantungan pada obat itu. Apalagi di saat-saat seperti ini, dimana rasa sakit sialan itu kembali menguasai dirinya.

the Edge.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang