"Hah?" tanya Pandora dengan suara tercekat.
Buku yang ada digenggamannya pun terjatuh ke lantai.
Bruk.
Gadis itu kehilangan kata-katanya seketika. Sang perawat menyentuh pundaknya bermaksud menguatkan. Tapi siapa yang bisa menghadapi kenyataan seperti ini. Di saat kau tak punya satupun tempat lagi untuk pulang. Karena satu-satunya tempatmu telah pergi jauh darimu. Begitu jauh hingga bahkan kau tak bisa menggapainya dengan tanganmu. Rasanya tak berguna sekali. Terbuang dan tak dibutuhkan. Diabaikan dengan kepergian tanpa pamit.
Kenyataan terasa semakin kabur dan menyesatkan. Semuanya terasa berat. Kalaupun harus terjadi, kenapa harus secepat ini? Hanya itu yang ingin Pandora tanyakan. Ia selalu jadi anak yang kurang ajar untuk pria sebaik Christop. Semua rasa sesak kini berkumpul di dadanya. Membuat gadis itu terengah.
"Maafkan kami. Begitu kami sampai di sana, sudah tidak ada yang bisa kami lakukan lagi. Kami sudah berusaha sebisa mungkin tapi pasien kehilangan banyak darah dalam perjalanan."
"Hahaha, nggak lucu sumpah. Jangan bercandain nyawa papa saya. Dia bilang malam ini setelah aku keluar dari rumah sakit, kita mau nonton film favoritku." Pandora menggelengkan kepalanya spontan. "Enggak, enggak, enggak. Dia bahkan belum minum kopi kesukaannya beberapa hari ini. Papa sibuk banget sama pekerjaannya dan ngurusin aku ke sana ke mari."
Gadis itu menunduk semakin dalam, "Aku yang bilang ke papa untuk fokus ke pekerjaannya. Padahal dia ma jalan-jalan dan minum kopi. Apa saya sedurhaka itu sus? Saya bahkan tidak merasakan firasat apapun kalau papa bakalan ninggalin saya."
"Maafkan kami," ucap sang polisi lagi. "Mobilnya meledak dan terbakar. Sulit untuk menjinakkan api sehingga harus menunggu pemadam kebakaran datang. Kami sempat mendengar korban berteriak dari dalam. Namun kami tidak bisa melakukan apapun sebelum api itu dipadamkan. Maafkan kami."
"Enggak! Ini bohong. Aku gak mau dengar!"
"Maafkan kami,"
"Papa." Pandora terisak. "Papa, kenapa aku ditinggal sendiri? Aku sendirian." Gadis itu mencengkeram selimutnya kuat-kuat.
Pada akhirnya Pandora tetap sendirian. Tuhan, kenapa orang yang baik pendek umurnya? Kenapa kau mengambil semuanya dariku.
"Sebaiknya kamu segera mengikhlaskannya supaya jalan papa kamu kedepannya lebih mudah." Kata sang perawat.
Menanggapinya Pandora tersenyum miring 'Huh, apa yang kalian lakukan'
"Kalian membiarkannya mati." Ucapnya sembari menunjuk dua polisi dihapannya. "Apa ini balasan bagi para penegak keadilan ketika mereka membutuhkan keadilan?"
Gadis itu menatap nyalang mata salah seorang anggota kepolisian.
"Pandora,"
"Aku mau ketemu papa!"
-----
"Ada apa?" tanya Edwan ketika ia sampai di ruang keluarga mendapati Smith dan Emma sedang menonton televisi.
"Sini duduk." Kata Emma. Ia meminta Edwan untuk duduk berhadapan dengan mereka berdua. Sementara Smith mengecilkan volume televisi.
"Edwan dengerin. Papa dan mam akan bercerai."
Edwan mengangkat kedua alisnya refleks. Entah terkejut atau heran, ia sendiri juga kurang dapat mendeskripsikannya. Namun sebuah dentuman nyeri memukul tepat di jantungnya hingga sesak.
Ekspresi Emma ketika mengatakannya seperti anak kecil yang mendapat hadiah mainan baru pada hari ulang tahunnya. Namun Edwan bisa melihat senyuman tertahan dan nada suara ringan. Terdengar menyenangkan, kontras dengan arti kata cerai itu. Absennya raut wajah sedih dan nada suara sendu jadi bukti. Seperti dugaannya sudah lama mama ingin bebas dari main papa-mama-anak alias keluarga ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
the Edge.
Teen FictionKetika divonis mengidap kanker otak yang sudah cukup membuat Edwan porak-poranda, sang ibu malah memilih pergi meninggalkan dirinya dan ayah yang tak pernah sepaham bersama lelaki lain. Tak cukup di situ, sahabat satu-satunya yang ia punya bukan men...