We used to play pretend,
give each other different names.
-- twenty one pilots --Angin yang berhembus pelan terasa mencekik, entah kenapa.
Daffa dan Jimmy masih berdiri di tempatnya semula. Terjadi hening beberapa menit setelah Daffa melontarkan pertanyaannya.
"Lo masih make sampe sekarang? "
Seketika itu Jimmy terhenti. Berhenti melakukan semuanya. Lelaki itu mematung, tidak tahu harus melakukan apa. Ia menahan nafasnya, entah tercekat atau ia memang sengaja. Tidak ada yang tahu.
Rooftop yang luas terasa begitu sempit karena keduanya tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Daffa yang tidak tahan lagi dengan kebisuan ini. Setelah menduga-duga cukup lama, lelaki itu akhirnya angkat bicara.
"Jadi bener? " tanya Daffa, memandang ke arah gedung-gedung pencakar langit yang mengelilingi sekolah.
Suasana yang semula cair berubah begitu saja hanya karena satu pertanyaan sederhana. Pertanyaan yang seharusnya dijawab tidak saja oleh Jimmy. Satu pertanyaan sederhana yang akan membuka semuanya.
Jimmy mengusap wajah kasar dengan telapak tangannya. "Darimana lo tahu? "
"Fuck! Kenapa lo gak bilang! "
"Kenapa juga? Gak ada yang berubah. "
Daffa melangkahkan kakinya cepat ke arah Jimmy. Mencengkeram kerah kemeja putih milik Jimmy dengan kencang, lalu membanting punggung lelaki itu hingga terantuk dinding pembatas di sisi kiri rooftop. Jimmy hanya menatap kosong ke arah Daffa yang siap memberinya bogem mentah.
Tangan lelaki itu sudah mengepal erat. Terangkat ke sisi kanan tubuhnya. Bersiap memukul manusia dihadapannya. Tapi hingga beberapa detik, Daffa tidak bergerak. Lelaki itu mengerjab beberapa kali. Lalu menurunkan tangannya sambil menghela nafas lelah.
"Bangsat! " umpatnya. "Seharusnya gue tanya dari dulu, anjing! "
Jimmy masih diam.
"Sebenarnya kenapa? Kenapa persahabatan kita jadi gini? " Daffa melepaskan cengkramannya. "Pertama Edwan, terus elo. Lo berdua sukanya sakit sendiri. Kalau gini, apa gunanya kita sama-sama terus setiap hari? Nyatanya lo semua, gak pernah nganggap penting kebersamaan kita. "
"Gue malu, Daf. "
"Maksud lo? "
"Gue takut kalau kalian bakalan tahu. Terus kalian memperlakukan gue beda dari sebelumnya. Lo bisa bilang alasan gue receh. Tapi buat gue, itu bener-bener ketakutan yang berat. Gue gak tahu harus gimana. Gue gak bisa menghindar dari ini. "
Daffa mengusap matanya kasar. "Anjing! Kenapa cuma elo? " lelaki itu menatap ke segala arah asal tidak ke mata Jimmy. "Kita berempat make. Tapi kenapa cuma elo? "
Jimmy menyunggingkan senyum kecut. "Kenapa ya? Menurut lo gimana? " lelaki itu selalu nampak tenang dengan emosinya. Sesekali ia kelepasan, tetapi ia tetap ahli dalam mengendalikan dirinya. "Is this what they call justice? "
"Justice? I don't think if that things still there in this broken world. Why? "
"Well, aku mendapatkan apa yang pantas aku terima. That's the point. "
Daffa kembali menatap Jimmy. "Jangan ngawur. Gue eneg dengernya. Kalau pada akhirnya lo kecanduan karena lo pantas mendapatkannya, terus apa yang pantas gue, Ago, sama Edwan dapetin? Karena lo tahu pasti, kita makenya barengan. "
KAMU SEDANG MEMBACA
the Edge.
Teen FictionKetika divonis mengidap kanker otak yang sudah cukup membuat Edwan porak-poranda, sang ibu malah memilih pergi meninggalkan dirinya dan ayah yang tak pernah sepaham bersama lelaki lain. Tak cukup di situ, sahabat satu-satunya yang ia punya bukan men...