Piece46 again

1.8K 115 11
                                    

At the end of the day, what people need is just a bottle of cola and cozy sofa to rest
their madness of tired.

↭↭↭↭↭

Edwan bisa berkamuflase dengan sangat baik di siang hari, namun lelaki itu tidak mampu menahannya lagi ketika malam tiba. Tepat seperti apa yang dikatakan Ago pada Daffa pagi tadi di sekolah. Manusia bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi malam memiliki intuisi yang kuat hingga cukup untuk menyudahi kepura-puraan itu.

Sebenarnya saat ini belum terlalu larut, masih pukul tujuh.

Sejak pukul setengah enam sore, tepatnya sepulang basket, Edwan sudah menanggalkan lensa kontaknya dan membersihkan diri. Rencananya ia ingin segera tidur. Menggunakan lensa kontak saat tidur adalah ide yang buruk. Namun nyatanya ia tidak kunjung terlelap. Moodnya sedang berantakan untuk melakukan apapun termasuk tidur.

Bahkan game yang sedang ia mainkan tidak mampu membuatnya merasa lebih baik.

Pikirnya berkeliaran bebas tanpa bisa ia kendalikan. Seolah otaknya memiliki kehendak sendiri. Bayangan tentang sang mama kembali terputar, membuatnya pening seketika. Edwan menggeleng, ia tidak boleh tenggelam dalam hal-hal yang bisa membuatnya stress atau schizoid akan kembali mengusiknya.

Lelaki itu berjalan ke nakas, mengambil sebatang rokok. Ia harus menenangkan dirinya. Edwan menghisap rokoknya setelah sampai di balkon. Meresapi ketenangan yang di bawa benda itu dalam-dalam. Tidak perlu diragukan lagi memang.

Tak apa, jika benda itu merusak dirinya yang sudah bobrok ini. Sungguh, Edwan merasa tidak dirugikan sama sekali. Kalau sudah rusak, sekalian dihancurkan saja.

Tok... Tokk...

Edwan menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk. Tanpa harus memberi embel-embel kata masuk, siapapun itu kalau mengenal Edwan dia akan masuk sendiri. Karena jika Edwan mengatakan sesuatu dibalik pintu, itu artinya dia tidak ingin diganggu. Tak lama kemudian Smith melangkahkan kakinya, menghampiri Edwan.

"Kamu ngerokok lagi? " tanya Pria itu, meski ia tahu jawabannya dengan sangat jelas.

"Iya, mau? " jawab Edwan santai, tanpa menatap lawan bicaranya .

Smith menahan amarah. Kalau saja ia tidak ingat Edwan sedang sakit, ia pasti langsung memukulnya. Pria itu menghela nafas lelah, ia harus sabar. Mendidik seorang remaja memang tidak mudah. Apalagi tipe yang sangat keras kepala seperti Edwan.

"Papa sudah bilang kan, jangan ngerokok. Rokok itu tidak baik untuk kesehatan kamu. "

Edwan tersenyum samar.

"Apa yang baik, Pa? " tanyanya.

Smith mengernyit. "Papa sedang tidak dalam mood yang baik untuk berdebat sama kamu, Edwan. " suaranya terdengar tegas.

Masih tanpa menatap Smith, lelaki itu berujar. "Aku tahu Papa capek seharian kerja keras. Pulang bukannya istirahat tapi masih harus ngurusin anakmu yang penyakitan ini. Dia ngerokok, pasti bukan hal yang ingin Papa lihat. Tapi barangkali Papa mau tahu, Edwan juga capek. Obat bukan satu-satunya hal yang mau Edwan lihat. Tapi ya mana mungkin Edwan jauh-jauh dari itu, kecuali kalau ingin mati. Sama seperti Papa, Edwan juga gak punya pilihan. "

Saat itu juga rasanya Smith ingin meluruh ke lantai. Mendadak ia merasa bersalah. Namun Edwan memang benar. Tak lama kemudian Smith menggeleng. Tidak, bagaimanapun alasannya merokok itu tetap saja salah. Pria itu mencoba mengalihkan topik pembicaraan setelah bergelut dengan pikirannya.

the Edge.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang