Every end is not really end.
Well, ending is the new start right?-----
Sepuluh tahun setelahnya.
Angin Jakarta berhembus kencang namun tidak menyejukkan. Panas dimana-mana. Gedung-gedung pencakar langit semakin banyak. Macet? Masih banyak juga meskipun transportasi umum semakin membaik.
Telepon di ruangannya berbunyi.
"Dok, apa Anda benar membuat janji dengan seseorang bernama Gian Alesandro?" Kata suara di seberang telepon itu.
Pandora mengangguk, meskipun ia tahu si resepsionis tidak bisa melihatnya. "Suruh ke ruangan saya."
"Baik."
Ditutupnya panggilan itu lalu menyandarkan diri di kursinya. Wanita itu bukan gadis lagi. Ia telah jauh lebih dewasa. Memahami tentang psikologi seseorang dari sensitivitasnya sendiri begitu banyak, hingga tidak bisa marah lagi karena mengerti. Ia sudah jauh lebih tenang dalam hal emosi. Setiap orang memiliki alasan tersendiri atas apa yang dilakukannya.
Alunan lagu dari band indie lokal menggema dengan frekuensi rendah yang menenangkan aliran darahnya. Kepalanya yang penat akan rasa lelah, perlahan menjadi lebih rileks.
♪Ego tlah menghasutku kembali padamu♪
♪Gelap telah membawaku tuk pergi menjauh♪
Ia bahagia, namun tidak sebahagia itu. Sebagian dirinya telah mati sepuluh tahun lalu bersama Edwan. Separuhnya lagi hidup di masa lalu. Yang di sini hanya raga dengan segala pengabdiannya pada dunia medis. Sejak kejadian itu ia bersumpah pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan sesuatu seperti di masa lalu terulang kembali.
Pandora tidak akan membiarkan seseorang pergi dan membuat orang yang ditinggalkannya terlarut dalam lautan kesedihan. Ia hanya berusaha, melakukan yang terbaik yang ia bisa. Tapi Pandora tetap mengandalkan Tuhan di atas segalanya.
Ia memejamkan mata, menikmati alunan musik yang lembut dan menghanyutkan. Air matanya mengalir ketika wajah itu kembali muncul di kepalanya.
"Ya Allah."
Sepuluh tahun lalu adalah saat-saat yang paling berat dalam hidupnya. Pandora tidak mau melakukan apapun. Secara harfiah ia berhenti melakukan semuanya. Tidak kuliah, tidak kerja, tidak basket, tidak apapun. Hanya bernafas, makan, menangis, tidur, ke belakang, dan terdiam menghadap dinding. Tanpa semangat hidup.
Ia tidak memiliki siapapun, tidak pula tempat untuk bersandar. Satu-satunya tempatnya telah pergi. Niatan untuk mengakhiri hidup seringkali muncul dan tidak jarang ia merealisasikannya. Namun Pandora masih di sini sekarang. Mungkin Tuhan tidak terlalu menyayanginya sehingga Ia menahan Pandora di sini daripada bersama-Nya di atas sana.
♪Menghapus tinta yang pernah kau lukis di kanvas hatiku♪
♪Merobek semua bayangan yang nampak di relung sukmaku♪
KAMU SEDANG MEMBACA
the Edge.
Teen FictionKetika divonis mengidap kanker otak yang sudah cukup membuat Edwan porak-poranda, sang ibu malah memilih pergi meninggalkan dirinya dan ayah yang tak pernah sepaham bersama lelaki lain. Tak cukup di situ, sahabat satu-satunya yang ia punya bukan men...