"Wait. Cowok gentle nggak bakal mukul cewek."
Entah takdir atau apa, Magma tiba-tiba datang begitu saja.
"Bukan urusan lo."
"Urusan gue dong kalau masalahnya kayak gini. Mending lo pergi ke UKS buat obatin hidung lo. Sebelum gue tambah luka lagi di wajah lo." Magma berjalan menghadap ke Awan, yang sebelumnya dia berada di belakang Awan.
Mungkin karena segitu sakitnya pukulan Ata, atau memang Awan sudah tidak tahan berada di sana, dia memutuskan untuk pergi. Setelah sebelumnya menatap mereka bertiga dengan pandangan marah. "Liat aja lo. Apalagi lo, gue bakal bales ini." Tunjuknya ke arah Ata yang hanya di balas dengan lambaian tangan Ata.
"Gue tunggu."
Setelah mengatakan itu, Ata berbalik ke belakang menghadap Lava yang sedari tadi memandang sedih ke arah kotak makan yang terkapar di dalam tong sampah. "Va, lo nggak papa?"
"I'm fine. Cuma kaget aja tadi." Lava terkekeh kecil yang terdengar di paksakan.
Tanpa mereka berdua sadari, Magma bergerak ke arah tong sampah dan mengambil sesuatu dari sana.
Dengan pelan, dia membuka tas yang berisi bekal yang di buat Lava dan memandang isinya yang hancur sedikit. "Wah, lumayan."
Perkataan Magma membuat Lava dan Ata mengalihkan pandangan ke arahnya. Dan terkejut saat Magma mulai menyendok makanan di dalamnya.
"Magma! Jangan di makan, itu kotor." Lava hendak merebutnya dari tangan Magma, tapi Magma justru mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Apaan sih Va, kan tadi masih ada tasnya dan bekalnya nggak berhamburan keluar, jadi ini masih bersih."
"Tapi Ma, itu tuh udah masuk ke tong sampah. Mending kamu buang aja."
"Nggak." Magma tetap menyendokan makanan tersebut ke dalam mulutnya. "Ini enak, tapi gue tetep sedih. Karena yang ada di makanan ini bukan gue dan bukan buat gue." Lanjutnya dengan ekspresi sedih yang di baut-buat. Tak urung membuat Lava tertawa di buatnya.
"Aku bakal buatin yang lebih khusus buat kamu, kalau kamu buang makanan itu sekarang. Kanu nggak mau kan sakit perut?"
"Nggak mau, sebelum lo janji mau buatin gue yang kayak gini."
"Iyaa aku janji. Bakal buatin yang lebih spesial buat kamu. Dan..makasih Ma,"
"Sama-sama." Magma mengusap puncak kepala Lava dan tersenyum lebar, yang di balas dengan senyum yang tak kalah lebar dari Lava.
"Va, semua udah jelas. Siapa yang lebih bisa buat lo bahagia." Gumam Ata pelan yang sedari tadi memperhatikan interaksi dua orang di hadapannya.
"Makasih Ma." Lanjut Ata dalam hati.
*
Sepulang latihan, Lava tidak berniat untuk pulang ke rumahnya, melainkan menyempatkan dirinya untuk berputar-putar di jalanan kota.
Terhitung sudah hampir tiga jam lebih Lava berkeliling. Walaupun, lebih banyak istirahatnya sambil memandang orang-orang yang berlalu lalang.
Bangkit dari duduknya, dan menepuk-nepuk roknya, Lava membuang botol di tangannya yang sempat dia beli saat mampir di supermarket. Kembali ke tempatnya duduk, Lava berpamitan dengan kakek penjual buah keliling, yang sedari tadi menemaninya mengobrol.
"Kek, saya pulang dulu ya. Takut dicariin nanti. Assalamualaikum."
Kakek tersebut membalas salam Lava, "Waalaikumsalam, ati-ati nduk."
Lava lantas mengangguk dan mengatuh sepedanya untuk meninggalkan kakek seorang diri. Hampir satu jam Lava dalam perjalanan menuju pulang, tapi masih belum sampai juga. Ini pertama kalinya, Lava bersepeda sejauh ini. Beruntung, Lava tidak buta arah.
Membuka pagar dengan hati-hati, agar tidak mengganggu Pak Satpam yang tengah tertidur di posnya. Lava menuntun sepedanya masuk dan segera memarkirkannya.
Berjalan mengendap-ngendap ke dalam rumah, dan menemukan mamanya tengah tertidur di sofa dengan posisi duduk. Mungkin mamanya lelah menunggu papanya. Lava bergegas untuk menuju ke kamar mama dan papanya untuk mengambilkan selimut.
Kamar mamanya gelap gulita, apalagi di tambah dengan nuansa kamar yang bewarna merah, membuat suasana kamar menjadi lebih suram. Dengan cepat Lava mengambil selimut yang terletak di ranjang, dan tanpa sengaja sebuah album kecil jatuh akibat dari tarikan selimut tadi.
Walaupun tanpa ada penerangan, Lava bisa mihat tulisan di cover album tersebut. Karena penasaran, Lava pun menunduk untuk mengambil album tersebut. Tapi, belum sempat, tangannya meraih album itu, terdengar suara bel dari luar yang membuat Lava terkejut dan dengan segera menendang album tersebut ke dalam kolong tempat tidur.
Bergegas Lava keluar dari kamar itu dan segera menghampiri mamanya, yang ternyata sudah terbangun dari tidurnya dan tengah berjalan beriringan ke arahnya bersama papanya.
"Kamu ngapain masuk ke kamar mama?"
"Anu ma, anu. A-aku mau ngambilin mama selimut tadi, ini buktinya." Dengan gugup seakan habis tertangkap basah, Lava menjawab.
"Nggak usah sok peduli kamu. Kalau sampai ada yang hilang dari kamar mama, awas kamu." Mama Lava langsung merebut selimut yang di pegang Lava dan melenggang masuk. Sedangkan papanya hanya mengekori mamanya.
Setelah mama dan papanya masuk, Lava menghela nafas lega dan memegangi dadanya yang berdetak kencang. Menggelengkan kepalanya, untuk mengusir sebuah pemikiran yang terlintas, Lava buru-buru naik ke atas menuju kamarnya.
Selama membersihkan diri, pikiran Lava terus tertuju ke album yang sempat dia temukan tadi. Dia penasaran dengan isinya, apalagi judul album dan foto seseorang yang menjadi sampul albumnya yang membuat Lava tambah penasaran.
Memang benar kata orang, penasaran itu nggak enak.
*
"Airish cepet turun nak, sarapan. Nanti terlambat." Panggil mamanya dengan suara yang agak di keraskan. Setiap pagi, panggilan seperti ini memang biasa terjadi. Tapi tidak ada kata 'Lava' di dalamnya. Ironi memang.
Dan setelah ini, mamanya pasti akan berkata, "Lava, kakak kamu tuh belum makan. Kamu malah enak-enakn makan di sana."
Seperti itu dan selalu terulang. Oleh karena itu, Lava lebih sering membuat bekal, atau bahkan tidak sarapan sama sekali.
"Maaf ma, Lava nggak makan kok. Cuman minum air putih aja. Jadi, Lava berangkat sekarang ya, Assalammualaikum."
Berbeda dengan mamanya yang tidak akan membalas salimannya, papanya justru membalasnya. Yang membuat mama menggeram di tempatnya.
Keluar dari rumah, Lava di sambut pemandangan Pak Satpam yang tengah memompa sepedanya. "Bannya kempes non, jadi saya pompa sepedanya.""Iya pak, makasih. Maaf ngerepotin."
"Nggak kok non, nggak sama sekali."
"Yaudah pak, Lava berangkat dulu ya, Assalammualaikum." Lava menyalimi Pak Satpam.
"Ati-ati non." Pak satpam memandang punggung Lava yang sudah menghilang dari belokan. Sambil membawa pompa bannya masuk ke dalam garasi, Pak Satpam menggumam. "Maaf non, bapak cuma bisa bantu ini."
*
"Ata!" Seru Lava saat melihat Ata turun dari motor. Lantas saja, Ata melambaikan tangannya.
"Ciee di anter lagi nih ceritanya." Lava menoel-noel bahu Ata yang membuat Ata tersenyum-senyum di buatnya.
"Yaiyadong," ucap Ata sambil naik di boncengan sepeda Lava.
"Ehh ngapain? Turun ih Ta! Aku nggak bisa bonceng tau."
"Ishh yaudah sini gue yang bonceng. Gue males soalnya kalau jalan. Capek." Ata dan Lava segera bertukar posisi.
Lava yang di bonceng Ata menepuk bahu Ata agak keras, "ihh sama aja tahu. Toh, ini kamu sama-sama capek."
"Ehehe, iya sih."
Memutar bola mata bosan, Lava menyuruh Ata untuk segera mengayuh sepedanya. Dengan semangat Ata mengayuh sepedanya, hingga membuat Lava hampir terhuyung ke depan. Tapi, tak lantas membuat Lava takut. Justru mereka berdua tertawa-tawa selama perjalanan menuju parkiran.
***
Nggak tahu mau bilang apa, yang penting enjoy with this chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Magma [END]
Teen FictionIni kisah Lava&Magma. Kisah tentang dua orang remaja yang mempunyai persoalan masing-masing. Lava dengan persoalan keluarganya yang rumit, dan Magma dengan sandiwaranya untuk melindungi Lava. Akankah Lava mampu melewati semuanya? Dan apakah Magma ma...