20| Terlalu Terbuai

1.1K 93 1
                                    

Tengah malam, dimana jam berdentang tiga kali, Lava terbangun dari tidurnya. Memandang langit-langit kamar yang terasa asing baginya. Dan baru menyadari saat ini dirinya berada di rumah sakiy, dimana ada selang infus yang mengganjal di tangannya.

Tatapannya mengarah ke sofa, dimana sosok bibi berada tengah tertidur pulas. Lava akhirnya beranjak dari tempatnya, hendak menyalakan lampu. Dia tidak terbiasa tidur dalam kegelapan. Mengangkat selang infusnya pelan-pelan, Lava menuju tempat saklar dan menekannya.

Ruangan yang tadinya gelap, sekarang mendapatkan cahayanya. Niat hati ingin kembali tidur, langkah Lava justru terhenti di depan jendela kamarnya yang menghadap parkiran. Lava melangkah mendekat ke jendela dan mengambil ponselnya yang sebelumnya sempat dia ambil saat hendak menyalakan lampu.

Begitu menyalakan ponselnya, Lava melihat begitu banyaknya notifikasi yang masuk. Dan mulai mengeceknya satu persatu.

Ata : Lo dimana?

Ata : Woi kacang

Ata : P

Ata : P

Ata : Lo beneran sakit?

Ata : Besok gue jenguk lo. Sekarang nggak bisa.

Ata : Besok mau gue bawain apa?

Ata : Gws ya.

Lava : Apa aja terserah kamu:)

Lava memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku bajunya dan memandang keluar. Sedih sih saat menyadari, tidak ada papa atau mama yang menunggunya di rumah sakit. Justru bibi yang menungguinya.

Seharusnya lo bersyukur masih punya papa & mama.

Benar, bukankah biasa hal seperti ini? Kenapa Lava menjadi bersikap melankolis? Dengan hati-hati Lava melangkaj kembali ke ranjangnya. Dan mulai memejamkan matanya. Berharap, besok saat dia bangun, ada keajaiban dimana mamanya akan duduk di sana menunggunya.

*

"Bangun. Bangun!" Lava yang baru merasa dirinya memejamkan mata, tersentak kaget saat ada yang menggoyang bahunya dengan kasar. Dia dengan perlahan membuka matanya, yang masih terasa berat, hanya untuk bertatapan dengan mata mamanya yang nyalang.

"Mama?" Mata Lava berbinar saat menyadari kehadiran mamanya dan seketika kantuk yang sempat dia rasakan tadi, menghilang.

"Berdiri! Kita pulang." Mama Lava menarik lengan Lava kasar, agar Lava segera bangkit dan mengikutinya.

"Nyonya, jangan di tarik-tarik non Lava nya kasian, dia lagi sakit nyonya."
Bibi yang langsung terbangun karena mendengar suara melengking yang familiar di telinganya, langsung mencegah nyonyanya.

"Sakit? Mana? Orang dia baik-baik aja gini." Dengan kasar, mama Lava mencabut infus yang terlasang di tangan Lava, membuat darh keluar dari sana.

"Aww, sakit ma." Lava hanya mampu meringis kesakitan. Apalagi, tubuhnya masih belum bisa berdiri tegak. Kepalanya pun juga masih pusing.

"Cepetan pulang. Mama nggak mau ya nanggung rumah sakit kamu."
Mama Lava menggeret Lava keluar dari ruang inapnya, diikuti dengan bibi yang terburu-buru merapihkan barang bawaan Lava dan segera mengikuti langkah nyonyanya.

"Maaf ma."

Langkah mereka terhenti saat tiba di pintu keluar, mama Lava melepaskan begitu saja pegangannya pada lengan Lava yang membuat Lava terhuyung karena masih lemas. Bibi yang sedari tadi di belakang Lava dengan sigap menopang Lava.

"Kamu pulang sama bibi aja." Setelah berkata begitu, mama Lava pergi begitu saja memasuki mobilnya dan meninggalkan Lava berdua dengan bibi.

"Non nggak papa?"

Lava dan Magma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang