23| Kedatangan Ayah

1.1K 90 0
                                    

"Kalian kenapa ngelihatin aku kayak gitu sih?" Lava langsung salah tingkah saat di tatap oleh anak-anak kelas, yang walaupun hanya setengah dari seharusnya. Apalagi, sebagian dari merek memandang Lava sambil tersenyum penuh makna.

"Lo so sweet banget tadi." Ata menjawab pertanyaan Lava, mewakili anak-anak lainnya.

Ida yang duduk di bangku terdepan, bertopang dagu, "gue udah ngeship kalian dari kelas sepuluh sih."

"Aku nggak pacaran sama Magma tahu!" Seru Lava sambil lekas duduk di bangkunya.

"Tenang aja, kita percaya kok sama lo, lo nggak mungkin lah selingkuh sama Magma. Kalaupun iya, kan nggak papa, lagian lo sama Magma sama-sama udah putus kan dari Awan dan Airish?" Ana ikut-ikutan nimbrung yang mana memancing anggukan dari yang lainnya.

"Aku terharu kalian percaya sama aku." Lava benar-benar terharu. Dari awal dia sudah yakin, bahwa teman-teman sekelasnya tidak akan mudah percaya dengan gosip semacam itu. Lava selalu bersyukur di tempatkan dengan kelas ini.

"Itu mah harus. Karena kita keluarga."

"Keluarga? Tapi kita kan nggak punya hubungan darah?"

Serentak semuanya sama-sama menghembuskan nafas lelah, dan kembali menghadal ke depan. Mengabaikan Lava yang masih sibuk dengan pikirannya seputar keluarga.

*

Istirahat, dirinya menjadi yang terakhir keluar dari kelas, baru saja dirinya keluar dari pintu kelas, Lava terdorong kembali ke dalam, sampai dirinya terjatuh cukup keras. Dilihatnya Airish yang tengah mengunci pintu kelas.

"Lo! Seneng banget ngerusak hubungan orang ha?!" Airish terlihat sedikit mengenaskan, karena Airish yang biasanya gayanya playful justru terlihat biasa saja dengan kantung mata yang menghias bawah matanya.

"Aku nggak ngelakuin apapun kak!"

"Nggak ngelakuin apapun? Bullshit! Kalo lo emang nggak ngelakuin apapun, mana mungkin Magma putusin gue?!" Airish meringsek maju dan menarik ujung kepangan Lava dengan kuat.

"Aw-aw sakit kak, sakit."

Tidak berhenti di sana, Airish semakin menjadi saat ikatan Lava terlepas dan mulai menjambak rambut Lava. "Sakitan mana sama gue?!"

"Maaf kak. Maaf!"

Airish mendorong Lava sekali lagi, sampai bahu Lava membentur ujung meja guru, membuat Lava meringis kesakitan. Setelah itu, Airish menginjak tangan Lava dengan sekuat tenaga, membuat Lava berteriak kesakitan, "sakit kak,"

"Gue masih belum puas, sini lo!" Airish menarik Lava untuk berdiri dan menampar pipinya berkali-kali, membuat bekas merah muncul di kedua pipinya.

*

"Ata! Buruan ikut gue!" Salah satu teman sekelasnya, berlari dengan tergesa-gesa menghampirinya, membuat Ata yanh waktu itu sedang menunggu kedatangan Lava langsung bangkit dari duduknya.

"Ada apa?"

"Lava di keroyok Airish, cepet!" Tanpa banyak bicara lagi, Ata berlari sekencang mungkin diikuti Una yang sedari tadi rupanya mendengar percakapannya.

Sesampainya di depan pintu kelasnya, Ata hendak menerobos masuk saat menyadari bahwa pintu di kunci dari dalam,lantas Ata menggedor-gedor pintunya. "Buka pintunya!"

Ata bisa melihat kondisi sahabatnya yang sedikit mengenaskan dengan rambut yang berantakan dan pipi yang lebam. Ata menggedor-gedor jendela untuk membuat Lava melihat ke arahnya.

"Kenapa kalian diem aja?! Cepet panggil guru sekarang!"

Ata bersama beberapa siswi lainnya, termasuk Una berusaha untuk mendobrak pintu, tapi tetap saja tidak terbuka, karena tenaga mereka yang tidak seberapa. Saat melihat kedatangan Bu Nurul di kejahuan Ata menghembuskan nafas leganya, apalagi saat Pak Bon dan Pak guru lainnya berhasil mendobrak pintu. Dirinya buru-buru menghampiri Lava yang bersender di tembok dengan Airish yang masih berusaha melukai Lava.

Beberapa guru memegangi Airish dan beberapa yang lainnya segera membawa Lava ke uks, tapi Lava menolaknya.

"Kalian! Ikut ibu ke kantor sekarang."

*

"Airish, tindakan kamu ini sungguh kelewatan, ini bisa mencoreng nama baik sekolah!"

"Ibu sudah telpon masing-masing orang tua kalian."

Lava diam saja, hanya menyentuh tangannya yang sakit karena injakan Airish, dirinya belum sempat untuk mengobati semua lukanya karena ingin masalah ini segera selesai.

Setelah menunggu hampir setengah jam dalam keadaan hening, akhirnya mamanya datang. Tentu saja untuk mewakili Airish, dirinya mungkin akan di wakilkan oleh Bibi. Tapi dugaannya salah, saat orang yang sangat familiar dengannya yanh justru datang sebagai walinya.

"A-ayah!" Serunya sedikit terkejut, membuat seseorang yang dipanggilnya ayah segera menghampirinya dan memandang sedih keadaannya.

"Ayah kenapa bisa di sini?"

"Nanti ayah ceritain, sekarang kita selesaiin masalah ini dulu ya?" Lava mengangguk mengiyakan. Membiarkan ayahnya untuk duduk di hadapan bu Nurul bersebelahan dengan mamanya.

"Melihat keadaan anak saya yang seperti ini, saya rasa masalah ini harus di bawa ke polisi." Papa dengan pembawaannya gang tegas yang memulai percakapan.

"Ayah! Nggak perlu sampe bawa-bawa polisi, Lava baik-baik aja." Lava yang berdiri di belakang ayahnya kaget saat ayahnya mengusulkan hal demikian, dia pun langsung berseru menolak keputusan ayahnya.

"Apanya yang baik-baik aja Lava? Lihat keadaan kamu!"

"Lava mohon yah, tolong jangan laporin kak Airish ke polisi."

"Bapak tenang dulu ya, sekolah pasti membuat keputusan yang adil. Jadi, Airish bisa kamu minta maaf sekarang ke Lava?"

Airish diam saja, tidak berniat mengatakan apa-apa.

"Airish," bu Nurul sedikit menaikkan nada suaranya, yang mana percuma saja karena Airish masih tetap diam.

"Sudahlah bu, langsung saja apa hukuman buat anak saya. Jangan berbelit-belit."
*

"Ayah, Lava kangen banget." Lava langsung memeluk ayahnya erat, saat dirinya sudah keluar dari ruang konsultasi.

"Ayah juga. Kamu nggak papa kan? Perlu ke rumah sakit?" Ayahnya mengelus rambut Lava yang berantakan dan memandang khawatir Lava.

"Lava baik-baik aja kok. Oh iya, kenapa ayah bisa di sini?" Lava mengerutkan keningnya, pertanda bingung dengan kehadiran ayahnya yang tiba-tiba.

"Tadi, ayah ke rumah kamu, dan yang nyambut bibi. Dan bibi waktu itu langsung ngasih tahu ayah kalau kamu lagi kena masalah di sekolah. Makannya ayah buru-buru ke sini."

Lava manggut-manggut mengerti, dia berusaha merapikan rambutnya dengan sisir yang dia buat dengan tangannya sendiri, melihat itu, ayahnya menarik Lava untuk duduk di bangku terdekat dan membalikan badan Lava, sehingga rambut Lava tepat berada di depannya.

"Sini, duduk dulu di sini. Ayah kepangin rambut kamu ya? Rambut kamu kayak singa gini habisnya." Dengan telaten ayahnya mengepang rambut Lava, dengan kepangan yang apik, dan tentu lebih rapi dari kepangan yang Lava sering buat.

Lava cemberut, kakinya menghentak-hentak dengan posisinya yang masih duduk, "Ihh ayah, mulai deh,"

Ayahnya hanya menanggapinya dengan tawanya yang khas, yang mau tidak mau membuat Lava ikut tertawa di buatnya.

"Ayah anter ke kelas kamu ya?" Ayahnya bangkit berdiri, "atau kamu mau ayah ijinin pulang aja?"

"Aku ke kelas aja yah,"

Mereka berdua selama perjalanan menuju kelas Lava saling bercerita banyak hal, karena wajar saja sudah lama sekali mereka tidak bertemu. Di pertengahan jalan, Lava melihat Magma dengan air mineral di genggaman tangannya berjalan ke arahnya.

"Hai Ma," sapa Lava. Magma melirik ke arah ayahnya yang ada di sebelahnya, membuat Lava menepuk jidatnya seakan lupa sesuatu.

"Oh iya, kenalin yah, ini Magma temen aku." Lava meneperkenalkan Ayahnya ke Magma yang membuat Magma semakin memperdalam kerutan di dahinya, "dan Magma, ini ayahku."

"Ayah?" Magma bertanya bingung, membuat Lava menghela nafas, merasa bahwa dia akan menjelaskan banyak hal setelah ini.

***

Lava dan Magma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang