9| Perbincangan

1.2K 106 5
                                    

Kakinya menciptakan bunyi  yang sangat mengganggu. Apalagi, di saat-saat tertentu, dia akan menggoyangkan kakinya dengan semangat yang cenderung berlebihan, sehingga membuat pakaiannya basah. Tapi, Lava tidak peduli.

Seandainya saja jika Lava adalah gadis yang penakut, dia akan pulang sedari tadi sebelum matahari terbenam. Dia tidak mungkin akan berani berdiam diri di dalam ruang renang sendirian, dalam keadaan gelap, dan hanya ada cahaya bulan sebagai penerangan.

Lava bisa melihat pantulan cahaya bulan di hadapannya yang di pantulakan dari cendela besar di atas.

Mungkin karena lelah, Lava berhenti menggoyangkan kakinya di dalam air, dan hanya menatap dalam diam air di hadapannya. Sampai, suara langkah kaki terdengar dan membuatnya menoleh ke asal suara.

"Sendirian?" Tanya seseorang tersebut berdiri di sampingnya. Dia adalah Magma.

Lava terkekeh, "bukan kamu banget kalau basa-basi kayak gini tahu."

"Sini duduk," ucap Lava sambil menepuk-nepuk tepi kolam di sebelahnya, sebagai kode untuk Magma agar duduk di sebelahnya.

Magma menggulung celananya sampai selutut sebelum ikut menceburkan kakinya ke dalam air kolam yang dingin.

"Nggak takut apa di sini sendirian?" Tanya Magma untuk memecahkan keheningan.

Lava menoleh ke arah Magma, yang kebetulan juga menoleh ke arahnya, "kenapa harus takut? Ini rumah kedua buat aku."

"Rumah kedua?"

"Iya, karena entah kenapa, waktu di sini terasa lebih baik daripada rumah pertama aku. Di sini, aku nggak perlu cari cara gimana caranya cari perhatian mama atau papa, karena di sini, aku sendiri. Dan itu cukup baik buat aku."

"Gue juga punya rumah kedua, di sini."

"Oh ya?"

"Iya, ruang osis. Karena tempat itu udah kayak tempat keramat yang nggak mungkin nggak gue datangi setiap hari."

Perkataan Magma membuat Lava mendengus, "dasar ketua osis."

"Kemaren...sukses?" Tanya Magma, dalam hati dia sangat berharap Lava menjawab iya.

"Tentu."

Magma menghela nafas leg--

"Nggak. Hehe," lanjut Lava sambil terkekeh di akhir kalimatnya. Yang membuat Magma tidak jadi menghembuskan nafas lega, melainkan nafas sesak.

"Kenapa?"

"Karena mama nggak suka kue buatan aku? Mungkin?"

"Atau karena aku anak yang nggak berguna, persis sama yang kak Airish bilang. Padahal selama ini, aku berusaha sebisa mungkin buat bikin mama bangga sama aku. Walaupun aku tahu endingnya bakalan sia-sia."

Magma bisa melihat pandangan nanar gadis di sebelahnya, yang membuatnya ingin membawanya ke dalam dekapannya.

"Mungkin..mama lo capek kali?"

Lava tertawa getir, "capek? Kalo mama memang capek, mama bisa bilang baik-baik ke aku. Aku nggak pernah minta apa-apa, karena aku tahu, nggak bakal terkabul."

"Va.."

"Mama bisa nggak capek seharian sama papa dan kak Airish buat ngerayain ulang tahunnya. Tapi kenapa mama capek cuma buat tiup lilin yang nggak makan waktu sampai lima menit. Kenapa?"

Tanpa sadar, satu tetes air mata lolos dari mata Lava. Dan Lava tampak tidak berniat sedikit pun untuk menghapusnya.

"Apalagi, papa yang nggak pernah sekalipun manggil aku 'nak' atau sekedar bertanya 'kamu baik-baik saja?' Aku cuma berharap hal kecil, tapi tetap nggak terwujud. Apa aku sejahat itu? Senakal itu? Atau nggak seberguna itu? Aku nggak tahu."

Lava dan Magma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang