Kakinya dengan bosan terayun-ayun dari atas ranjangnya. Pandangannya yang kosong mentap lurus ke arah tembok di hadapannya. Keadaan kamar rawatnya sepi hari ini. Semuanya masih belum datang hari ini, yang pasti mereka sedang berada di sekolah. Sedangkan ayahnya, tengah mengurus semua hal yang diperlukan untuk kepindahannya nanti. Dirinya terlarut dalam pikirannya, dan terganggu saat mendengar suara pintu di buka. Membuatnya sontak menolehkan pandangannya ke arah pintu. Dan di sanalah berdiri papa dan mamanya.
"Buat apa kalian ke sini?" Lava tahu, dia sangat tidak sopan saat ini, tapi apa pedulinya? Dia hanya tidak tahu lagi bagaimana bersikap baik terhadap dua orang yang berdiri mematung di depan pintu.
Papanya maju menghampirinya, "maafin kita Va," ucapnya dengan sungguh-sungguh. Berbeda dengan mamanya yang justru bersikap acuh tak acuh.
"Maaf? Kalau emang itu yang buat kalian datang ke sini, saya sudah maafin. Jadi, silahkan kalian pergi." Lava memasang wajah dinginnya. Wajah dingin yang baru pertama kali di pasang di wajahnya yang lebih cocok sebenarnya dengan ekspresj bahagia.
Mamanya akhirnya ikut mendekat menghampirinya, telunjuknya menunjuk-nunjuk dirinya, "dasar anak kur-"
"Kurang apa tante? Kurang ajar? Nggak berguna? Atau apa lagi? Tante nggak punya hak sama sekali ya buat ngatain saya."
Perataan Lava membuat dua orang di ruangan itu terkjut, tidak menyangka bencinya Lava akan sampai separah ini. "Lava, jangan gini, kamu mau pulang sama papa kan?"
"Pulang? Kalian pikir aku bakal masih mau lagi tinggal di sana setelah semua hal yang dengan bodohnya, aku terima begitu aja, dulu."
"Nak, maafin papa. Papa sayang sama kamu."
"Sayang? Omong kosong."
Perempuan yang dipanggil tante -yang mana dulu adalah mamanya- meringsek maju dan menamparnya, membuat Lava hanya memandang datar perempuan itu.
"Kamu ya, sudah untung kita mau datang ke sini malah kurang ajar, memang nggak tahu diri ya kamu!"Lava memandang dingin perempuan di hadapannya, "sudah puas? Keluar sekarang."
"Lava, maaf-"
"Keluar!"
Dan dengan begitu perempuan tadi keluar setelah sebelumnya melengos, sedangkan papanya masih diam di tempat. Tangannya seakan ingin memeluk Lava namun Lava tepis begitu saja. "Maafin papa nak."
Setelah pintu ruangan tertutup, Lava menuggu sampai suara langkah kaki tidak terdengar lagi. Dan Lava langsung menangis sekencang-kencangnya, tangannya memegang bagian depan bajunya dan mencengkramnya dengan begitu erat. Dirinya terjatuh ke bawah dengan tepi ranjang sebagai sandaran kepalanya. Sebenci apapun dirinya kepada mama dan papanya tidak mungkin melunturkan sayang yang sudah dia punya untuk keduanya.
Karena terlalu larut dengan kesedihannya, Lava sampai tidak menyadari kehadiran seseorang di sana. Seseorang yang memandangnya dengan sorot sedih yang kentara. Sosok itu perlahan, berjalan mendekat dan berjongkok di hadapan Lava, membuat Lava menoleh dan langsung menubruk bahu sosok itu. Magma.
Lava mulai menangis sejadi-jadinya di sana, membuat Magma tidak tega melihatnya. Magma hanya mampu mengelus rambut Lava untuk menenangkannya. Magma selalu merasakan perasaan yang tidak enak saat Lava tengah bersedih. Itu pula yang membuatnya ijin pulang lebih awal. Dan dugaannya selalu benar. Lava memang sedang bersedih, lebih tepatnya terpukul.
"A-aku jahat, aku udah buat papa sedih tadi. Padahal aku sama sekali nggak punya niat buat ngelakuin itu. Aku cuma mau buat mereka benci aja sama aku, supaya aku nggak terus-terusan jadi masalah di keluarga mereka," ucap Lava di sela-sela tangisnya.
"Aku nggak akan nyuruh kamu berhenti nangis. Kamu harus keluarin apa yang kamu rasain, biar nggak ada alasan lagi kamu nangis saat ini terjadi lagi."
Lava langsung mematung, perkataan Magma benar, dia sudah terlalu sering menangis. Menangis dengan alasan yang sama. Bukannya seharusnya dia menjalani hidup baru?
Lava mengusap air matanya, walaupun masih terdengar sesenggukan, dia menegakkan kepalanya yang tadi bersandar nyaman di bahu Magma, dan memandang Magma lekat. "Kenapa kamu selalu ada di saat kondisi kayak gini? Kenapa nggak pernah saat aku seneng aja? Aku malu kamu harus tahu semua masalah aku."
Magma tersenyum menenangkan, tangannya menyingkirkan helaian rambut yang melekat di pipi Lava yabg masih basah, "mau keadaan kamu bagaimanapun, nggak seharusnya kamu malu. Aku justru seneng karena bisa jadi sandaran kamu. Bisa jadi penopang kamu. Jadi kamu nggak perlu malu ya?"
Senyun lebar terukir di bibir Lava, membuat matanya juga ikut melengkungkan senyum. Membuat Magma berpikir, kenapa dari sekian banyak gadis yang pernah berusaha mendekatinya, hanya Lava yang selalu menjadi juaranya. Dan itu semua karena, hanya dengan melihat senyum yang terbit dari bibir Lava, membuatnya seakan melihat matahari.
Dengan hati-hati Magma membantu Lava untuk berdiri dan duduk di tepian ranjang, sedangkan dirinya berdiri di hadapan Lava. "Ah, nggak lama lagi ya?"
Sadar arah pertanyaan Magma, Lava hanya mengangguk, tidak mampu menjawab selain itu. Magma dengan cepat mengganti mimik wajahnya, dirinya tengah mengambil sesuatu dari dalam tasnya yang sempat dia letakkan begitu saja di sofa, dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Cengiran lebar langsung muncul di wajahnya, tatkala tangannya memegang sebuah polaroid bewarna kuning.
"Tara! Kita habisin waktu kita buat foto-foto!"
"Masa aku pake pakaian rumah sakit sih?"
"Sebentar."
"Kamu sering banget loh pinjemin aku hoodie, emang baju kamu di rumah nggak habis?" Magma terkekeh saat mendengar Lava berkata seperti itu saat dia menyerahkan hoodie bewarna army ke Lava yang tentu saja langsung gadis itu kenakan.
Mereka berdua mulai berpose dengan Magma yang akhirnya memutuskan untuk ikut duduk di samping Lava. Pada pose pertama, mereka hanya tersenyum lebar menatap kamera. Pose kedua, mereka menatap datar ke kamera dan sampai pose ke dua puluh dua, pose mereka bisa di bilang absurd semua. Selama melihat hasil foto mereka, mereka berdua tidak bisa berhenti tertawa, melihat berbagai pose aneh yang mereka lakukan.
"Gaya kamu yang ini kok jelek banget sih? Ahaha."
"Kamu juga, cantik banget yang ini."
Perkataan Magma sontak langaung memunculkan semburat merah di pipinya membuatnya secara otomatis memukul pundak Magma yang hanya dibalas dengan kekehan. Dia heran bagaimana bisa Magma memujinya di saat dia justru mengejek Magma.
Pembahasan mereka tentang foto itu berakhir dengan pembagian foto. Magma yang mendapat lebih banyak foto yakni lima belas foto dari total dua puluh foto.
"Biar aku yang megang lebih banyak fotonya."
"Kenapa?"
"Karena aku yang bakal lebib kangen kamu."
"Masa?"
"Iya, serius."
Dan momen diantara mereka di akhiri dengan menonton film bersama melalui ponsel milik Magma dan berakhir dengan datangnya ayahnya dan juga Tulip, Ata dan Una. Yang paling tidak Lava sangka adalah kehadiran Alteza. Lava dan Magma melupakan sejenak foto yang sengaja mereka simpan di laci yang ada di ruangan Lava. Dan kembali mengabadikan foto bersama yang lainnya.
***
Ini barusaaaaan ngetik dan untungnya selesai yeay! Semoga enjoy ya. Aku nggak mampu berkata-kata lagi. Ehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Magma [END]
Ficção AdolescenteIni kisah Lava&Magma. Kisah tentang dua orang remaja yang mempunyai persoalan masing-masing. Lava dengan persoalan keluarganya yang rumit, dan Magma dengan sandiwaranya untuk melindungi Lava. Akankah Lava mampu melewati semuanya? Dan apakah Magma ma...