Lava baru menyempatkan diri untuk membuka ponselnya, saat sudah tiga hari berada di Medan. Banyak sekali pesan-pesan yang masuk, terutama Ata. Ada lebih dari 200 pesan yang Ata kirim dalam tiga hari ini. Jarinya bergerak ke bawah untuk melihat pesan lainnya. Saat menemukan ada pesan dari Magma, Lava buru-buru membukanya.
Magma : Safe flight Va.
Lava : :)
Lava hanya membalasnya dengan emot tersenyum. Dia ingat, dulu, dia yang paling sering mengirim pesan duluan ke Magma. Mengingatnya, membuat Lava terkekeh sendiri, membuat Astri, teman sesama atlet renangnya, menegurnya.
"Kenapa Va? Kok ketawa sendiri?"
"Nggak kok, nggak papa. Lagi keinget suatu hal yang bodoh aja As."
Astri meletakkan handuk yang tadi dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya ke kasur, dan mengambil duduk di sebelah Lava.
"Hal bodoh? Kalo dipikir-pikir, gue sering ngelakuin hal bodoh dan akhirnya ketawa-ketawa sendiri waktu inget tentang itu."
"Hal bodoh kayak gimana maksud kamu?"
"Dulu, gue pernah ditembak sama cowok Va. Dia tuh udah deket banget sama gue waktu itu. Dan mungkin, karena sikap gue yang terlalu baik ke dia, membuat dia berpikir lain. Dan tahu apa yang gue lakuin ke cowok itu? Gue tolak dia Va. Bukan, bukan karena gue nggak suka sama dia. Lebih tepatnya, gue mau ngelindungin dia. Gue tahu lo bakalan nggak percaya sama cerita gue."
"Aku percaya kok, maksud kamu ngelindungin dia apa?"
"Biar itu jadi rahasia gue sama dia."
"Percuma dong kamu cerita segitu panjangnya kalo gitu." Lava langsung melempar handuk yang digunakan Astri tadi ke wajah Astri lantaran kesal.
"Ehehe."
*
Magma tiga hari ini, bergerak dengan tidak semangatnya. Seakan-akan ada yang hilang dari tubuhnya. Ditambah lagi dengan kehadiran Airish didekatnya, yang membuat dunianya seakan tv jaman dulu. Hitam putih.
"Kamu mau coba bakso aku?"
"Nggak."
"Ini enak banget loh Ma."
"Lo nggak lihat? Kita makan bakso yang sama."
"Tahuu, tapi kan kalo dari tangan aku, baksonya jadi lebih enak tau."
Menusuk baksonya dengan garpu, Magma bangkit, "kalo dari tangan lo, gue yakin nih bakso pasti nggak orisinil. Full borak. Bye."
"Magma!" Seruan Airish tidak membuat Magma berbalik, justru Magma semakin mempercepat langkahnya, takut Airish akan mengikutinya.
Langkahnya menuntunnya ke ruang osis. Ruang dimana hanya dia yang dapat mengaksesnya. Tangannya merogoh saku celananya untuk menemukan kunci disana.
Merutuk pelan, karena tidak mendapati kunci ruang osis, Magma terduduk di kursi di depan ruang osis.
Magma menyalakan ponselnya, berharap akan mendapat balasan dari Lava. Setelah menunggu beberapa detik, ponselnya akhirnya menyala dan langsung muncul notifikasi disana.
Lava : :)
Sebatas emot senyum memang, tapi mampu membuat Magma melambung tinggi. Dengan girangnya, Magma berdiri dan memukul-mukul pintu ruang osis dengan perasaan senang. Mungkin, orang yang melihatnya, akan mengira Magma kesurupan. Tapi, nyatanya memang begitu, dia sedang kesurupan.
Aksinya terhenti, saat salah satu anggota osis, Irene, menghampiri Magma, "kenapa Ma?"
Dengan gelagapan, Magma berpura-pura sedang membuka pintu ruang osis, "ah? Nggak, ini mau ngambil berkas yang ketinggalan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Magma [END]
Novela JuvenilIni kisah Lava&Magma. Kisah tentang dua orang remaja yang mempunyai persoalan masing-masing. Lava dengan persoalan keluarganya yang rumit, dan Magma dengan sandiwaranya untuk melindungi Lava. Akankah Lava mampu melewati semuanya? Dan apakah Magma ma...