Lava turun dari kamarnya untuk mengikuti makan malam. Tapi, seperti biasa, Lava tidak akan makan semeja dengan kedua orang tuanya serta Airish. Dia lebih memilih makan di dapur ditemani oleh Bi Mina. Lebih tepatnya, memang sengaja diasingkan. Sedari kecil, ini memang sering terjadi. Bisa di hitung jari dirinya makan di meja makan. Khususnya, saat tidak ada mereka di sana.
Sebelum mencapai dapur, Lava terpaksa harus melewati ruang makan. Jika boleh jujur, Lava iri, sangat iri kepada Airish, yang sekarang sedang bersenda gurau bersama papa dan mamanya. Tidak tahan melihat mereka terlalu lama, Lava memutuskan untuk mempercepat langkahnya agar sampai di dapur.
"Eh non udah turun, nih bibi udah siapin makanannya," Ucap bi Mina sambil menyerahkan sepiring makan malam kepada Lava. Lengkap dengan sayur dan ikan sederhana.
"Makasih ya mbok." Lava langsung mengambil kursi dan mulai menyantap makanannya dalam diam.
Sedangkan bi Mina menatapnya dengan pandangan kasihan di sebelahnya. Lava yang menyadari tatapan bi Mina langsung saja menghentikan kegiatan makannya.
"Bi, aku baik-baik aja, toh udah biasa juga kan?" Lava berusaha memaksakan senyumnya, yang bahkan tidak sampai ke mata. Sesering apapun hal yang di katakannya biasa, tetap saja membuatnya sedih.Bi Mina mengusap bahu Lava seakan menguatkan. "Sabar ya non, semua pasti bakalan berubah."
Lava bergumam kecil, "Semoga."
*
Setelah selesai makan malam, Lava bergegas memasuki kamarnya agar tidak bertemu dengan Airish, pasalnya, dia tidak siap bertemu dengan Airish yang akan memberinya hukuman yang tidak-tidak. Sambil menoleh ke kanan kiri, Lava melangkahkan kakinya dengan cepat menaiki tangga. Belum sempat tangannya memegang handle pintu, bajunya di tarik dari belakang dengan kasarnya.
"Maaf kak, aku nggak bakal ngulangin lagi kok." Lava memejamkan matanya erat-erat dan menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya.
"Maafin nggak ya?" Airish melipat satu tangannya di depan dada, dan yang satunya mengetuk-ngetukan jarinya di deoan dagu, berpose seakan-akan sedang berpikir.
"Pliss kak." Lava tetap dalam pose yang sama. Jangan heran jika di sekolah Lava tidak memanggil Airish dengan sebutan 'kak'. Karena itu merupakan kesepakatan yang di buat Airish agat satu sekolah tidak ada yang tahu bahwa mereka adik kakak.
"Kalo gitu...serahin uang jajan lo bulan ini. Semua!" Airish menengadahkan tangannya di depan Lava.
"Tapi kak, aku gimana kalo kakak ambil semuanya?" Padahal, setahu Lava uang jajan Airish lebih banyak daripada dirinya.
Airish tertawa singkat sambil mengendikkan bahunya tidak peduli, "Itu urusan lo! Atau lo mau, kalo sepeda kesayangan lo itu gue ancurin?"
"Jangan kak! Ambil aja uang aku semua juga nggak papa kok, asal jangan sepeda aku." Lava menggeleng histeris saat mendengar Airish akan menghancurkan sepedanya jika tidak menyerahkan uang jajannya. Lebih baik kehilangan uang, daripada sepeda kesayangan. Benar bukan?
Airish mendorong bahu Lava untuk segera memasuki kamarnya dan mengambil uang, "Cepet sana ambil!"
"Hufttt." Lava mengehela nafas dan mulai memasuki kamarnya, untuk mengambil dompet yang terletak di nakas dan membawanya ke luar.
"Sini!" Airish langsung mengambil dompet Lava dan segera mengosongkan isi di dalamnya. Setelah yakin bahwa tidak ada sepeser pun yang tertinggal, ia lantas melemparkan dompet itu ke Lava dan berlalu pergi memasuki kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Magma [END]
Ficção AdolescenteIni kisah Lava&Magma. Kisah tentang dua orang remaja yang mempunyai persoalan masing-masing. Lava dengan persoalan keluarganya yang rumit, dan Magma dengan sandiwaranya untuk melindungi Lava. Akankah Lava mampu melewati semuanya? Dan apakah Magma ma...