28| Pilihan

1.2K 92 0
                                    

Pandangannya tidak pernah lepas dari gadis yang terbaring di depannya. Terbaring dengan mata yang terpejam. Goresan di tubuhnya sudah di obati menyisakan garis-garis merah yang terdapat di beberapa bagian kulit gadis di depannya. Tangannya terulur merapikan beberapa helai rambut yang melekat di pipi Lava dengan perlahan. Magma bisa melihat lilitan perban yang membungkus bahu kiri Lava melalui perban yang juga terhubung sampai mendekati leher.

Magma tidak siap melihat Lava terbangun dan menjelaskan semuanya. Setelah mengusap kepala Lava beberapa kali, Magma membawa kakinya menuju sofa panjang yang ada di belakangnya. Magma terbaring miring sambil matanya tidak lepas memandang Lava. Magma bisa melihat Lava berbaring miring ke arah kanan sehingga menghadap ke arahnya. Mata yang sudah terpejam selama beberapa jam yang lalu, kini perlahan terbuka. Mereka bertatapan cukup lama dari biasanya, sampai Lava mengucapkan sesuatu.

"Kamu nggak pulang?"

"Nggak." Magma menjeda beberapa saat, "kamu baik-baik aja?"

Lava sempat mengernyit bingung sebelum setelahnya terkekeh kecil, "aku-kamu nih ceritanya?"

"Nggak boleh?"

Magma sempat lega saat Melihat senyum Lava, tapi langsung tegang saat Lava menghilangkan senyum dari wajahnya dan menggantinya dengan raut wajah serius.

"Berapa lama?" Magma tahu pertanyaan ini mengarah ke mana, tanpa perlu mendengarkan penjelasan dari dokter, Lava sudah pasti tahu bagaimana kondisinya saat ini. Melihat dari seberapa parah luka yang Lava dapat di bagian bahunya.

"Dua sampai tiga tahun."

"Huft, lama berarti ya?" Magma bisa melihat pandangan Lava tidak fokus, justru memandang kosong tembok di belakangnya.

Magma lantas menggeleng, "kamu cuma perlu nunggu sebentar, semuanya pasti bakal cepat berlalu. Ini cuma sementara." Terdengar tawa getir dari Lava, matanya menyorot Magma dengan sedikit berkaca-kaca, "sebentar?"

"Iya, kamu pasti bisa lewatin ini, aku bakal selalu-" Magma berhenti berujar saat melihat Lava membalikkan posisi tidurnya menjadi arah sebaliknya. Sempat terdengar ringisan saat Lava melakukan itu. Karena Magma yakin, posisi Lava menyakiti bahunya.

"Bisa kamu pergi?" Magma langsung merubah posisinya menjadi duduk, menatap prihatin pada gadis yang membelakanginya. Menghela nafas sejenak, akhirnya Magma membawa kakinya keluar dari ruangan ini. Setelah sebelumnya menoleh ke arah Lava dan melihat bahu gadis itu sedikit bergetar.

Magma menutup pintu di belakangnya dan berpura-pura pergi. Yang mana sebenarnya dia justru bersandar pada pintu dan mengintip melalui kaca kecil yang ada di pintu. Bisa dilihatnya, Lava bangkit dan bersandar setelah mengaduh pada luka di bahunya. Bahunya tetap bergetar, semakin lama semakin kencang. Entah karena memang merasa kesakitan karena luka di bahunya atau mungkin karena sakit yang lain?

Tangisan Lava terdengar pilu, membuat Magma ingin menerobos masuk dan segera menenangkan gadis itu. Tapi urung, karena Lava pasti butuh waktu untuk sendiri saat ini. Jadi, yang bisa dilakukan Magma hanya memberikan Lava ruang dan menunggu sampai gadis itu terlelap.

Magma bisa melihat Lava melempar bantal yang dia gunakan ke sembarang arah, selimut yang dia gunakan juga sudah jatuh ke lantai. Tangisannya tidak kunjung berhenti. Beruntung koridor rumah sakit sepi saat ini. Jadi tidak perlu ada orang lain yang akan menyaksikan seberapa terpuruknya Lava saat ini.

Saat kembali memasuki ruangan Lava, Magma bisa melihat gadis itu yang tidur meringkuk. Dia mengambil bantal yang tadi sempat di lempar Lava dan menaruhnya sebagai alas Lava dengan lembut agar gadis itu tidak terbangun. Dengan pelan diusapnya bekas air mata yang tertinggal di pipinya. Menyingkirkan beberapa helai anak rambut yang menempel di sana. Di tariknya selimut yang sudah di ambilnya dan menyelimutkannya.

"Jangan sedih. Aku di sini." Bisiknya pelan di dekat telinga gadis itu dan
Kakinya yang lelah membuat Magma memutuskan untuk beristirahat di sofa. Sebelum matanya terpejam, dirinya sempat mendengar Lava bergumam, "makasih Ma."

*

"Ayah kapan dateng?" Tanya Lava saat melihat ayahnya memasuki ruang rawatnya.

Meletakkan makanan yang di bawanya di nakas yang ada di samping ranjang Lava dan mulai duduk di sebelah Lava. "Kemarin ayah dateng buat ngelihat keadaan kamu. Tapi ayah harus ngurus sesuatu lebih dulu. Kamu baik-baik aja kan?"

"Baik yah." Lava menerima suapan yang di berikan ayahnya.

"Maafin ayah Va, ayah nggak jujur dari awal sama kamu. Ayah udah ngijinin kamu buat tinggal sama mereka begitu aja yang justru nyakitin kamu. Ayah minta maaf Va."

"Ayah, ayah nggak salah. Mungkin emang takdir aku udah kayak gini. Aku nggak papa kok, aku seneng sekarang semuanya udah jelas, nggak lagi ngeblur kayak yang dulu-dulu." Lava memegang tangan ayahnya yang sydah tidak memegang piring makannya. Meyakinkan sang ayah bahwa dirinya baik-baik saja. Bahwa ini sama sekali bukan salah ayahnya.

"Tapi, kamu sampai kehilangan mimpi kamu Va."

Lava menggeleng, senyumnya muncul di wajahnya yang nampak sedikit pucat, "bener kata Magma yah, ini cuma sementara. Masih ada waktu lain buat aku ngejar mimpi aku lagi."

Ayahnya memandang ke arah Magma yang tengah tertidur, membuat Lava mengikuti arah pandangannya, tangan besar ayahnya mengusap pucuk kepala Lava, "dia pasti kecapekan jagain kamu."

"Bukan saat aku sakit aja yah, dia udah sering jagain aku selama ini."

"Ayah cuma mau bilang, kamu ikut ayah aja ya? Kita mulai hidup yang baru. Ayah nggak bisa ngijinin kamu buat tinggal lagi sama mereka."

"Jadi, kita bakal ke sana?"

"Iya, secepatnya. Saat kamu udah mendingan."

"Iya ayah."

"Yasudah, ayah ngurus keberangkatan kita dulu ya, ayah juga bakal ngurus kepindahan kamu. Barang-barang kamu biar ayah yang ambilin. Kamu di sini ya? Nanti sore ayah balik lagi. Dah."

"Ati-ati yah."

Lava memandang kepergian ayahnya, bisa dia lihat uban sudah mulai tumbuh di rambut ayahnya. Tidak seharusnya ayahnya seperi ini. Mengurus gadis sepertinya yang hanya membawa masalah. Seharusnya ayahnya sekarang sudah menikah dan memiliki anak sendiri. Tapi entah apa yang membuat ayahnya memutuskan untuk hidup sendiri. Lava hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk ayahnya.

Tiba-tiba perkataan ayahnya mengingatkan Lava. Sebentar lagi, dia akan memulai hidup baru bersama ayahnya. Meninggalkan Ata, Una, Tulip, dan juga.....Magma. pandangannya langsung tertuju ke arah Magma, Lava memiringkan tubuhnya dan menatap Magma yang masih tidur terpulas.
Lava memperhatikan lekuk wajah Magma. Lekuk wajah yang selalu membuat Lava menampilkan beragam ekspresi. Matanya yang selalu menatapnya hangat, bibirnya yang selalu menerbitkan senyum dan mengeluarkan tawa yang selalu sukses untuk menenangkannya.

Lava sempat terkejut saat mata itu perlahan membuka, membuatnya lantas memejamkan matanya berpura-pura tertidur.

"Udah puas merhatiin akunya?" Suara serak Magma tidak mampu membuat Lava bangun dari tidurnya -tidur pura-puranya-.

"Nggg, eh Magma kamu udah bangun?" Lava berpura-pura menggeliat seakan seseorang yang baru saja terbangun dari tidurnya. Membuat Magma menggeleng geli. Tapi tidak lantas bangkit dan justru menatap Lava dalam. Membuat Lava sampai menahan nafas di buatnya.

"Kamu denger semuanya ya?"

"Semuanya." Perkataan Magma membuat Lava mengehela nafasnya. Magma sudah mendengar semuanya. Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, dia harus menjelaskannya sekarang dan mulai melakukan salam perpisahan, mungkin?

***

Tinggal 4 part lagi menuju ending yeyeye! Di tunggu ya, ini aku ngetiknya super ngebut. Manfaatin waktu malam yang nggak bisa tidur ehehe. Sorry for typo dsb. Papay!

Lava dan Magma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang