21| Panggilan Darurat

1.1K 88 0
                                    

Sejak pulang dari menjenguk Lava di rumah sakit, yang merupakan jengukan gagal, Magma terus mondar-mandir di ruang keluarganya, membuat Kaldera yang sedari tadi memperhatikan akhirnya angkat bicara.

"Abang! Kenapa dari tadi mondar-mandir mulu sih? Pusing aku lihatnya." Serunya sambil meletakkan majalah yang sempat di bacanya.

"Ya nggak usah dilihat."

"Gimana aku nggak ngelihat? Orang abang mondar-mandir nya aja di depan aku."
Kaldera geleng-geleng sendiri melihat kelakuan Magma.

"Ya pindah aja sana." Tangan Magma membuat gestur seakan mengusir yang membuat Kaldera menghela nafas lelaah.

Karena tahu bahwa abangnya tidak akan berhenti sebelum mendapat solusi, Kaldera akhirnya bangkit dan menghampiri abanngnya, "Abang kenapa sih sebenernya?"

"Abang khawatir sama Lava."

"Di samperin dong kalo khawatir, kalo abang mondar-mandir gini gak bakal dapet apa-apa."

"Maunya sih gitu dek. Tapi, Lava bilang nggak mau disamperin." Magma akhirnya berhenti dari aksinya mondar-mandir dan mulai menghadap ke Kaldera.

"Coba di telfon aja deh bang. Biar agak lega."

"Pinter banget, kenapa abang nggak kepikiran ya dari tadi? Makasih adik cantiku bye." Magma langsung sumringah dan segera mengacak-acak rambut adiknya sebelum akhirnya kembali ke kamarnya.

"Giliran gini dibilang cantik. Dasar."

Magma hendak menutup pintu kamarnya saat Kaldera dengan seenaknya ikut masuk sambil memasang wajah memohon. Dan akhirnya, Magma membiarkan Kaldera begitu saja dan mulai mencoba menghubungi Lava.

Panggilan pertama masih tidak di angkat, dan Magma masih terus mencoba, sampai dering ke lima, panggilan Magma akhirnya terangkat. Terdengat suara Lava yang sangat serak di ujung sana. Entah berapa lama gadis itu menangis.

"Halo?"

"Lo...baik-baik aja kan?" Magma bertanya dengan hati-hati.

"Aku cuma sakit biasa kok."  Typical Lava, selalu mengatas namakan semua dengan biasa.

Kaldera menjawil lengan Magma, membuat Magma menoleh dan dengan tanpa suara, meminta Magma untuk men-loudspeaker agar Kaldera bisa ikut mendengarkan apa yang dikatakan Lava.

Magma menggeleng, yang langsung dihadiahi cubitan bertubi-tubi pada lengannya. Terpaksa, dia men-loudspeakers dan disambut senyuman lebar dari Kaldera.

"Tadi, gue sama yang lain jenguk lo, dan lo nggak ada di sana." Sebernarnya, Magma yakin Lava sudah mengetahui perihal itu dari Ata, tapi Magma hanya ingin tahu bagaimana reaksi Lava.

"Oh i-itu karena aku udah sembuh. Jadi nggak perlu nginep lebih lama lagi."
Di seberang sana, Magma bisa mendengar suara Lava yang sedikit tergagap membuat Magma semakin mencurigai satu hal.

"Yakin?" Tanya Magma sekali lagi untuk meyakinkan. Dia sama sekali tidak berniat untuk bertanya sampai Lava sendiri yang akan bercerita padanya.

"Seratus persen. Maaf ya udah buat kalian semua khawatir."

"Wajar dong kalo kita khawatir. Bukannya kita...teman?" Saat mengucapkan kata terakhirnya, Magma langsung bisa melihat Kaldera yang memasang senyum meremehkan dan mengganti raut wajahnya seakan mengiba.

"Makasih, kalo gitu aku tutup dulu ya?"

"Jangan! yakin lo beneran nggak papa? Kalo ada apa-apa jangan sungkan buat hubungi gue, anggap aja gue ini panggilan darurat yang selalu siap sedia nolong lo di situasi apa pun. Yah, walaupun akan lebih menyenangkan kalo lo mengaggap gue panggilan khusus eheh."

"Panggilan darurat? Semacam pemadam kebakaran gitu?" Kaldera berusaha menahan tawanya yang seakan siap meledak, dan langsung kicep saat Magma melotot ke arahnya.

"Kok lo malah samain gue sama yang gituan sih, gue kan seratus kali lebih ganteng." Magma langsung mendengus saat mendengar Lava menyamakannya dengan pemadam kebakaran

"Yayaya serah kamu deh. Bye Ma."

"Tunggu! Jangan lupain satu hal lagi, jangan nangis, jangan lupa makan, jangan lupa juga buat istirahat."

"Kamu udah berubah dari panggilan darurat ke dokter pribadi aku ya?"

"Gue bisa jadi apapun buat lo kok."
Mendengar abangnya berbicara seperri itu, membuat Kaldera berakting seakan ingin muntah.

"Mulai deh, yaudah ya aku tutup dulu. Makasih buat panggilannya."

"Sama-sama. Sleep well ya?"

"You too. Bye."

Panggilan dimatikan di seberang sana, membuat Kaldera sedikit merengut karenanya.

"Abang, kok cepet banget sih?"

"Karena ada anak kecil di sini. Abang nggak mau dong berbagi keromantisan."
Magma bangkit berdiri dan menarik Kaldera untuk segera keluar dari kamarnya. Membuat Kaldera mendengus di buatnya.

Magma langsung menutup pintunya tepat di depan muka Kaldera yang langsung membuat Kaldera memcibir, dan meledek pintu di depannya. "Romantis apaan, biasa aja tuh. Wlee."

*

Setelah mematikan panggilan Magma, Lava langsung mengusap air matanya yang sebenarnya sudah mengering. Dengan perlahan, dia bangkit dari posisinya sebelumnya yang bersender di pintu, dan langsung merasakan sakit pada lehernya. Tubuhnya sudah tidak selemas tadi, tapi Lava masih merasa sedikit pusing.

Lava men charge ponselnya dan lekas membaringkan tubuhnya di ranjang. Lava teru memikirkan perkataan Magma. Magma benar dia tidak boleh menangis, dia harus cepat pulih agar bisa menghadapi semuanya seperti sedia kala.

Tapi tetap saja, dalam hatinya, Lava selalu menyalahkan dirinya. Dirinya yang cepat terbuai oleh kasih sayang yang bahkan tidak sepenuhnya mereka berikan. Seharusnya Lava tetap seperti dulu. Peduli, tetapi tidak pernah berharap sama sekali. Sehingga, jika terjadi hal seperti ini, dia akan biasa saja melewatinya.

Bukankah selama tujuh belas tahun hidupnya, Lava selalu menjalani hari seperti ini? Lantas kenapa dia harus bersedih seperti ini. Memang benar kata orang, jangan meletakkan perasanmu berlebihan terhadap suatu hal, karena yang akan kamu dapatkan hanya kekecewaan.

Lava bernafas secara teratur untuk menghilangkan sesak yang bergumul di dadanya. Dia tidak boleh menangis lagi, tidak untuk hari ini dan hari-hari ke depannya. Lava terus berpikir, bahwa masih banyak orang-orang di luar sana yang peduli dengannya, walaupun tanpa ikatan darah sekalipun. Seperti....Magma?

Nama yang tiba-tiba terlintas dipikirannya membuat Lava bangkit terduduk. Dia memegang dadanya yang tadi terasa sesak, justru seakan menghangat. Entah kenapa malah nama Magma yang terlintas di pikirannya. Kenapa bukan nama Ata, atau bahkan Una?
Lava memukul kepalanya sendiri untuk menghilangkan bayang-bayang Magma dan mendengus saat apa yang dilakukannya tidak berhasil. Menyerah, Lava akhirnya kembali berbaring dan menutupi wajahnya dengan selimut. Berharap kegelapan membawa semua hal seputar Magma yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Dan sepertinya, cara Lava berhasil. Terbukti dari deru nafasnya yang berangsur-angsur memelan disertai dengkuran halus yang terdengar.

***

Targetnya sih bulan april ini bakal tamat! Enjoy ya, mian kalo banyaK typo dsb,

Papay!

Lava dan Magma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang