24| Salah Lagi dan Akan Selalu Salah

1.1K 83 0
                                    

"Sebelum kamu berpikir yang nggak-nggak aku bakal jelasin." Lava menarik napas sejenak, "dia om aku, tapi dari kecil aku udah manggil om aku dengan sebutan ayah, karena emang om aku udah kayak ayah buat aku."

Magma manggut-manggut mengerti, seperti tersadar oleh sesuatu, Magma segera berniat salim ke ayah Lava dan tentu saja disambut dengan hangat oleh ayah Lava.

"Kamu mau kemana Ma?"

"Ha? Anu....gue mau ngasih ini sebenernya ke lo, lo...baik-baik aja kan?" Magma dengan sedikit gugup menjawab, sebelum akhirnya menyerahkan air mineral yang dibawanya ke Lava.

Lava tersenyum menerimanya, "Thanks ya, aku baik-baik aja kok."

"Va, ayah balik ke kantor dulu ya? Nanti ayah jemput pulangnya." Ayahnya yang rupanya, telah menerima telepon dari bawahannya, saat Lava dan Magma yang mengobrol sedari tadi, ijin pamit untuk segera kembali ke kantor.

"Yah ayah, Lava masih kangen." Lava langsung menurunkan bahunya begitu mendengar ayahnya berpamitan. Tidak rela ayahnya pergi begitu saja.

"Ayah juga, tapi gimana lagi, pekerjaan udah memanggil. Kamu baik-baik ya?"

"Lava sayang ayah," Lava memeluk ayahnya singkat dan dengan berat hati membiarkan ayahnya pergi.

Ayah Lava memberi kecupan singkat di dahi Lava sebelum melenggang pergi. Tak lupa memberi senyum singkat ke Magma yang di balas Magma dengan anggukan. "Ayah lebih sayang kamu, dah."

"Lo deket banget ya sama ayah lo?" Magma bertanya setelah punggung ayah Lava sudah tidak terlihat lagi. Apalagi, menilik dari interaksi Lava dan ayahnya yang tentu saja akan membuat orang lain berpikiran sama dengan Magma.

"Iya, tapi semenjak aku umur delapan tahun, kami pisah. Aku tinggal sama papa."

Magma memang tidak melihat adanya bekas pukulan apapun di wajah ataupun badan Lava, tapi tetap saja dirinya tidak yakin jika Lava baik-baik saja. "Tapi, lo beneran nggak papa?"

"Serius, lihat nih lihat." Lava menggerak-gerakkan seluruh badannya dan menggoyangkan wajahnya untuk meyakinkan Magma.

"Iya, percaya-percaya."

"Oh iya, ayah juga loh yang ngajarin aku ngepang rambut kayak gini. Satu-satunya supaya aku ngerasa kalo ayah masih tinggal di deket aku yah dengan aku mengepang rambut aku setiap hari." Lava bersandar pada tembok di belakangnya dan menarik kepangannya ke atas untuk menunjukkannya kepada Magma.

"Pasti ayah lo juga yang ngajarin lo renang kan?"

"Kamu kok tahu?!"

"Ketebak aja."

"Wah kamu nakutin, kayak yang di tv-tv itu loh yang suka ngeramal. Aku jadi was-was deket kamu." Lava bergidik, beringsut mundur seperti takut akan apa yang Magma lakukan selanjutnya. Yang langsung di balas Magma dengan gelengan dan tawa yang meluncur begitu saja.

"Ehehe, apasih Va, mulai deh nggak jelasnya."

"Ishh."

"Yaudah, gue balik ke kelas dulu ya. Gue tadi ijinnya ke kamar mandi soalnya."
Magma memandang jam tangannya sebentar sebelum mengacak-acak rambut Lava untuk berpamitan ke kelasnya yang hanya di balas Lava dengan anggukan dan dengusan yang tak luput Lava keluarkan.
"Iya sana."

*

"Nggak jadi nungguin ayah lo?" Magma menghentikan motornya di sebelah Lava yang juga berniat mengayuh sepedanya, membuat Lava mengurungkan niatnya.

"Ayah nggak jadi jemput, masih ada kerjaan. Hft." Dengan lesu Lava menggeleng. Helaan nafas lolos dari bibir mungilnya.

"Nggak usah sedih gitu dong, kan masih banyak waktu. Mending sekarang lo langsung pulang, istirahat." Tangan Magma terjulur seperti biasa untuk mengacak-acak rambut Lava. Membuat si empunya mendengus dan menyingkirkan tangan Magma yang berada di kepalanya.

"Kamu kebiasaan ih, ngacak-ngacak mulu hobinya."

"Habis, lo lucu sih."

"Kamu pikir aku lagi stand up?"

Dan jika ini di film-film, mungkin setelah perkataan Lava akan muncul suara kucing yang membuat keadaan menjadi hening.

*

Tangannya baru menutup pintu di belakangnya, saat dirinya dibuat tersentak oleh kehadiran mamanya yang tiba-tiba, dengan pandangan yang biasa mamanya tujukan kepadanya, namun terlihat sedikit lebih menusuk.

"Masih berani pulang kamu?"

"Maaf ma,"

"Kamu jadi adik nggak berguna sama sekali, gara-gara kamu kakak kamu di skors! Dan sekarang dia lagi sakit."
Mamanya menaikan nada suaranya dan tangannya menunjuk-nunjuk Lava dengan sedikit emosi.

"Kakak, sakit?" Lava terkejut mendengar perkataan mamanya. Tidak menyangka bahwa kakaknya akan sakit. Padahal, bukannya Lava yang mendapat pukulan dari kakaknya? Tapi, kenapa Airish sampai bisa sakit?

"Iya! Dan itu gara-gara kamu."

"Kenapa mama selalu nyalahin aku? Apa mama nggak bisa, sedetik aja nggak nyalahin aku?" Dengan keberanian yang entah dia dapat dari mana, Lava bertanya sesuatu yang sudah lama ingin dia keluarkan.

"Nggak bisa! Kamu lahir aja itu udah salah!"

"Kalau gitu, kenapa mama dulu minta aku buat tinggal di sini?"

"Tanyain itu ke papa kamu!"

"Aku capek ma, capek selalu salah di mata mama. Apa yang aku lakuin nggak pernah terlihat bener buat mama. Aku harus apa ma? Apa yang bisa aku lakuin supaya mama bisa bersikap lebih baik sama aku?" Lava mengeluarkan semua yang dia rasakan. Dia memang lelah, lelah menghadapi semua sikap yang mamanya berikan.

"Bahkan, sedetik saja, mama nggak punya niatan untuk bersikap baik sama kamu."
Setelah mengatakannya, mamanya pergi begitu saja memasuki kamarnya dengan bantingan pintu yang terdengar keras. Meninggalkan Lava yang diam sambil menghapus air mata di ujung matanya. Berharap bahwa air matanya tidak akan jatuh kali ini.

Setelah diam ditempatnya selama beberapa menit, Lava melangkahkan kakinya ke atas untuk menuju kamar kakaknya. Lava berniat mengetuk pintu kamar Airish, tapi di urungkannya karena takut mengganggu istirahat kakaknya.

Membuka pintunya dengan pelan, Lava langsung duduk di bawah, tepat di sebelah Airish yang terbaring dengan selimut yang tidak terpasang dengan benar. Lava membenarkan selimut yang digunakan Airish sampai ke dagu. Dan mengambil handuk kecil yang terpasang di dahi Airish untuk di celupkan lagi ke dalam air hangat yang ada di nakas sebelahnya.

"Kakak sakit ya?" Lava menopang kepalanya di lipatan tangannya sambil memandang Airish dengan lekat.

"Lava minta maaf ya kalo buat hidup kakak nggak tenang kayak gini." Lava terus berbicara, yang mana tidak akan di respon Airish. Tapi, Lava meneruskan perkataannya. Tidak peduli akan di jawab atau tidak.

"Lava nggak tahu, kenapa tindakan yang Lava ambil justru nyakitin kakak. Lava sayang kakak. Kakak cepet sembuh ya?"

Lava bangkit dari duduknya dan memeluk Airish singkat sebelum beranjak keluar dari kamar Airish. Dirinya tidak langsung menuju kamarnya, melainkan mensandarkan punggungnya di pintu kamar Airish yang sudah ditutup sebelumnya. Dirinya menghembuskan nafas berulang kali. Dia bingung akan langkah yang akan dia ambil selanjutnya. Mungkin perkataan mamanya sebelumnya memang benar. Dirinya dilahirkan merupakan sebuah kesalahan.

Kesalahan yang membuat mama susah untuk memberikan kasih sayang yang sepatutnya dia berikan. Lava bertekad akan mencari tahu apa yang membuat mamanya begitu benci dengan dirinya. Dan, itu di mulai dari album yang ditemukannya.

***

Lava dan Magma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang