Hujan mengguyur kota Jakarta sore ini, membuat seorang gadis dengan dress putih bercorak di bagian bawahnya, mengelus-elus salah satu lengannya dengan tangannya yang terbebas karena sedikit basah. Beruntung dia segera berteduh di tempat terdekat, sehingga, kotak biru yang di bawanya tidak ikut basah akibat guyuran hujan yang turun begitu lebatnya hari ini.
Dirinya mendesah, memandang bingung sekeliling yang sudah penuh dengan orang-orang yang takut terguyur air. Melihat ke arah jam tangannya dan langsung mendecak sebal. Sudah pasti dirinya akan telat malam ini. Telat menghadirii acara perpisahan yang di buat oleh Ata. Niat hati ingin berjalan kaki tadi, karena cafe yang menjadi tempatnya janjian dengan yang lainnya terbilang dekat dengan rumah sementara yang ayahnya sewa. Tahu begini, gadis itu tentu saja dengan senang hati menerima tawaran Magma.
Matanya berkeliling memandang sekitar. Memandang hujan yang semakin deras saja sampai-sampai membuatnya mundur agar tidak terkena cipratan oleh pengendara lain.
Kenapa tidak menunggu dirinya sampai saja baru hujan turun. Padahal, tinggal sedikit lagi dirinya sampai. Hanya tinggal menyebrang dan sedikit berjalan ke ujung jalan. Dan di situlah cafenya berada.
Saat sedang menatap genangan air yang ada di depannya. Terdapat pantulan seseorang dengan payung yang di bawanya, berdiri tepat di depannya. Membuat Lava memutuskan untuk mendongak dan melihat siapakah gerangan seseorang itu. Niatnya belum terlaksana, saat orang yang berteduh di belakangnya entah dengan sengaja atau tidak mendorong bahunya, membuatnya terdorong ke depan dengan sepatu yang tergenang genangan air. Cipratannya juga mengenai celana bagian bawah laki-laki yang berdiri di depannya. Membuatnya mendongak dan mata hitamnya, bersibobok dengan mata segelap malam yang sedang tersenyum menatapnya dengan payung yang terulur melindunginya dari hujan.
Dia, Magma.
Magma menariknya mendekat, memposisikan dirinya sendiri sedikit berada di belakangnya, dengan tangan yang memegang bahunya. Membuat Lava mendongak menatapnya saat Magma melakukannya. Dan mereka berdua mulai meninggalkan orang-orang yang ikut berteduh bersama Lava tadi.
"Kamu kok tahu aku di sana?"
Magma sedikit menunduk untuk dapat menatap Lava, "aku tadi udah sampai duluan di cafe. Terus dari sana aku lihat kamu, yaudah aku samperin."
Mata Magma melirik pada kotak biru yang berada di rengkuhan Lava.
"Itu apa? Kamu kan nggak boleh bawa yang berat-berat dulu? Kenapa nekat sih, Bahu kamu gimana? Sakit?"Lava terkekeh mendengar rentetan pertanyaan Magma, "kamu apa sih Ma, gitu banget. Ini ringan kok, sama sekali nggak berat. Serius."
"Yaudah, kalau gitu sini aku bawain."
Lava bisa merasakan rengkuhan Tangan Magma pada bahunya mengendur, membuatnya menahan tangan Magma tetap di bahunya dengan tangan kanannya. Kepalanya lantas menggeleng, membuat Magma menaik turunkan alisnya seakan mengejeknya. "Nggak mau di lepas nih?"
"Emang nggak."
Dan selama perjalanan yang singkat itu mereka habiskan dengan tawa yang keluar dari bibir mereka masing-masing dan terhenti saat mereka sudah sampai di cafe. Lava masuk ke cafe duluan, diikuti Magma di belakangnya. Bisa terlihat teman-temannya sudah menunggu dengan wajah bosan mereka. Apalagi Alteza, wajahnya tidak pernah tidak bosan jika melihat Lava. Berbeda dengan Tulip yang hanya memandang datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Magma [END]
Fiksi RemajaIni kisah Lava&Magma. Kisah tentang dua orang remaja yang mempunyai persoalan masing-masing. Lava dengan persoalan keluarganya yang rumit, dan Magma dengan sandiwaranya untuk melindungi Lava. Akankah Lava mampu melewati semuanya? Dan apakah Magma ma...