5

10.7K 542 3
                                    

Semalam aku menangis hingga membuat kedua mataku sembab. Aku harus sedikit bekerja ekstra menutupinya. Puas menatap bayanganku dicermin, kuraih tas daan juga sepatu disudut kamar.

Hari ini aku sengaja memakai kemeja krem dipadu celana panjang juga flat shoes yang mempermudah gerakku. Aku tak mau mengulang kesalahan yang sama saat hari pertama mengajar. Aku sedikit kesulitan bergerak dengan rok pendek dan high heels, apalagi saat aku harus mengejar anak-anak kecil yang berlarian kesana-kemari. Entah berapa kali aku harus membetulkan rok pendekku yang selalu naik keatas, belum lagi kaki yang pegal karena berlarian menggunakan high heels.

Kusempatkan mampir kekamar Felix sekedar berpamitan padanya, sebelum kulangkahkan kaki ke meja makan untuk sarapan. Sebenarnya aku ingin langsung berangkat tapi Tante Retha sengaja memanggilku, jadi aku tak punya pilihan selain mengiyakannya.

Kami bertiga duduk mengelilingi meja, tak ada satupun yang bersuara. Hingga Tante Retha mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meletakkannya dihadapanku.

"Aku tahu uang tabunganmu habis untuk biaya rumah sakit Felix"

Aku tak tahu apa hubungannya dengan amplop cokelat dihadapanku.

"Ambillah! Aku tak mau punya hutang padamu"

"Mom" Tante Retha memilih meninggalkan meja makan dari pada berdebat dengan Sergio "Maafin Mama ya Di!" Aku manggeleng

"Tante Retha ga salah kok!" Sejujurnya Tante Retha berhak melakukan lebih dari ini.

.

.

.

.

.

.

Sejak pagi aku kurang bisa berkonsentrasi dengan pekerjaanku, penyebabnya tak lain karena amplop cokelat pemberian Tante Retha. Aku memang mengeluarkan banyak uang untuk pengobatan Felix saat itu tapi sungguh aku tak pernah mengharapkan balasan apapun selain bisa berada disamping Felix.

Aku memang tidak jujur kepada keluarga Felix tentang siapa aku sebenarnya, sejak awal aku tak ingin berbohong tapi keadaan yang membuat aku terus larut dalam keadaan seperti ini.

"Tante!" Kuserahkan kembali amplop cokelat itu pada Tante Retha "Maaf, saya tidak bisa menerimanya"

"Sejak awal aku tak pernah menginginkan kamu bersama Felix"

"..."

"Pergilah Felix bukan tanggung jawabmu"

"Maaf tante! Saya tahu tante membenci saya bahkan..."

"..."

"Saat Felix bangun nanti tante akan lebih membenci saya"

"Karena itu pergilah ..."

"Tante..."

PLAAK...

Rasa asin mengusik disudut bibirku karena tamparan Tante Retha, tapi hatiku jauh lebih sakit karenanya.

"Harusnya kamu pergi saat aku menyuruhmu baik- baik..." Tante Retha seperti hilang kendali, tangan kanannya menjambak rambukku sedang tangannya yang lain memukuliku tanpa henti.

"Aku tak tahu apa yang putraku ku lihat darimu..." dada Tante Retha naik turun tak beraturan karena emosi sedangkan tubuhku merosot kebawah. Tante Retha kembali menjambaki rambutku, dengan berapi- api ia meluapkan semua kemarahan yang selama ini dipendam. Aku hanya pasrah ketika kata- kata Tante Retha terus mencecarku dengan kasar.

Aku tak pantas diperlakukan seperti ini tapi memilih diam saja.

.

.

.

.

.

Saat memasuki rumah Sergio dikagetkan dengan kegaduhan yang berasal dari kamar Felix. Sambil berlari didengarnya suara teriakan serta sumpah serapah Tante Retha.

Begitu membuka pintu Sergio dikejutkan oleh Tante Retha yang sedang kalap menyerang gadisnya. Sergio lebih memilih melindungi gadis itu ketimbang menenangkan Tante Retha. Saat itu baru ia sadar ada darah disudut bibir gadisnya.

Sergio merutuki tindakannya yang tidak segera pulang. Mungkin jika ia pulang lebih awal Tante Retha tidak akan bertindak seperti ini.

"Dasar wanita murahan!! Pergi... aku tidak mau melihatmu di rumahKU LAGI!"....

Tanpa banyak bicara Sergio membawa gadisnya menjauh dari Tante Retha hatinya berteriak agar tak membuat gadis itu terluka lagi, tapi ia juga tak bisa melawan Tante Retha yang sedang emosi.

.

.

.

.

.

"Lepaskan aku!"

Aku berusaha lepas dari rangkulan Sergio, tapi pria ini benar- benar keras kepala semakin aku berusaha ia semakin erat rangkulannya. Langkah kakinya lebar tak hanya membawaku keluar dari kamar Felix tapi juga keluar dari rumah ini.

"Sergio!" Pria ini tak mau mendengarkanku, ia justru melempar tubuhku kedalam mobil.

"Diam" wajahnya dingin ketika menutup pintu dengan kasar.

Tanpa banyak bicara ia membawaku pergi menjauh membelah jalanan malam yang sepi. Sepanjang jalan Sergio terus mendiamkanku dan aku memilih mengalihkan pandanganku keluar kaca mobil. Pikiranku melayang jauh tentang apa yang aku alami alasan kenapa ini terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya padaku.

"Apa kamu juga ... mengusirku?" Tanpa terasa air mataku menetes "ijinkan aku tetap menjaga Felix!"

"Saat ini bukan Felix yang aku khawatirkan"Sergio memukul setir dengan kedua tangannya "Aku janji akan membawamu kembali jika itu yang kamu mau, kita tunggu setelah kemarahan mom reda"

"Aku tidak mau..."

"Jangan keras kepala Mom bisa saja membunuhmu"

"Aku tidak peduli..."

"DIANDRA!" Sergio berteriak padaku "Mom bisa saja melakukan sesuatu lebih dari ini jadi aku mohon ijinkan aku menjagamu!"

"..."

"Mom sengaja menyuruh orang mengikutimu, untuk itu sebaiknya kamu ikuti semua yang aku katakan"

Aku tak menyangka Tante Retha akan sejauh ini, atau mungkin Tante Retha tahu kalau aku bukan Diandra Nathasa tapi Nathasa Dewy. Lalu bagaimana dengan Sergio apa dia juga.

Tubuhku gemetar karena rasa takut. Kepanikan melandaku membuatku tak sadar mengigit bibir bawahku hingga luka disudut bibirku melebar. Dalam sekejap keringat dingin membanjiri tubuhku. Mataku terasa begitu berat dan berkabut...

"Diandra are you ok?!"kepala ku menggeleng

Sergio memaksaku memakai jaketnya sebelum mengijinkanku keluar dari mobilnya. Sejak keluar dari mobil hingga masuk kedalam apartemen Sergio tak pernah sekalipun melepaskan genggaman tanganya padaku. Saat didalam liftpun sama saja padahal kami hanya tinggal berdua.

Begitu pintu terbuka Sergio langsung memeriksa seluruh tubuhku yang penuh lebam karena Tante Retha. Pipiku merah bekas tamparan Tante Retha dan sedikit luka berdarah diujung bibirku. Selebihnya hanya luka bekas cakaran serta lebam dibahuku. Aku menyisir rambutku dengan jari saat Sergio meninggalkan aku sendirian, tanpa harus bercermin aku tahu penampilanku sangat kacau saat ini.

Sergio kembali dengan membawa baskom berisi air hangat dan kotak obat, dengan telaten ia mengompres lukaku. Dengan sedikit memaksa Sergio memintaku membuka baju agar ia mudah mengompres dan mengobati bekas cakaran di bahu kiriku.

" Tidak mau"

" Jangan keras kepala nanti lukanya membekas!"

" Aku bisa melakukannya sendiri"kukeluarkan hp dari sakuku ku dial no Fanya belum sempat panggilanku tersambung Sergio sudah lebih dahulu merampasnya dari tanganku "Kembalikan!"

"..."

"Hemm..."aku menggeram kesal "Apa maumu?"

" Untuk sementara ini tinggallah disini demi kebaikanmu"

Troubel In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang