Bercabang
Langkahnya dipercepat. Meski sudah beberapa kali ditahan oleh pemuda itu, tetapi Joya tidak peduli.
Untuk saat ini, dia tidak ingin mendengar apa pun dari bibir Reynand, pasalnya tidak ada yang perlu dijelaskan baginya."Kalau lo nggak mau dengerin gue, sama aja lo egois!"
Namun, seruan itu ampuh membuatnya berhenti di tempat. Ia memutar tubuh dan menatap pemuda itu dengan pandangan heran.
"Apa yang perlu dijelasin? Gue rasa semuanya jelas, Rey." Joya menelan salivanya. Tenggorokannya terasa kering karena menahan semua amarah sejak tadi.
"Ada yang lo belum tahu—"
"Tentang lo yang nggak bisa ikut liburan? Atau ... tentang hubungan lo sama cewek itu di belakang gue?" potong Joya membuat pemuda di depannya menghela napas dengan kasar.
"Bukan. Gue nggak bilang ke elo tentang Gita karena nggak mau nyakitin lo. Gue janji sama diri gue sendiri buat selesaiin Gita dulu, baru ke elo." Reynand berusaha menjelaskan, tetapi dirasa percuma, karena Joya enggan untuk mempercayainya.
"Bener kata mama lo, kita masih terlalu muda untuk berpikir hubungan ini. Gue rasa memang bener, gue harus jauhin lo, Rey."
"Enggak. Anak muda pun punya rasa, kita bukan anak SD. Bahkan kita mau naik kelas tiga, jangan anggap kita terlalu muda, Joy," tegas Reynand mulai geram dengan pola pikir Joya yang sepertinya teracuni oleh ucapan mamanya.
"Apa lo balas kebohongan gue dengan kebohongan ini?" tanya Joya dengan penuh pertimbangan. Ia menjadi berpikir, kalau Reynand tengah membalasnya perihal kebohongannya saat jalan bersama Seno.
"Sama sekali nggak ada hubungannya. Kalau gue nggak sayang sama lo, kenapa gue nyusul lo ke pantai?"
Joya menggeleng. "Nyatanya mama lo beda. Dia yang nyuruh gue menjauh, jadi gue nggak ada pilihan lain."
Joya langsung melangkah pergi meninggalkan Reynand. Ia tidak lagi peduli dengan teriakan pemuda itu yang berusaha menghentikannya. Joya membenarkan, kalau dia dan Reynand masih terlalu muda—seperti kata Maria.
Joya tidak ada henti-hentinya menghela napas panjang. Matanya membulat ketika melihat ban sepedanya kempis. Parahnya lagi, badan sepedanya sudah baret-baret seperti baru saja dijatuhkan.
"Siapa yang udah berani ngerusak sepeda gue?" Joya menjambak rambutnya.
Siapa yang sudah melakukan perusakan sepedanya? Reynand bersamanya tadi, lalu apa ada orang lain iseng seperti Kuda poni jelek itu?.
Sepertinya parkiran sekolah tidak aman lagi untuk sepedanya."Kayaknya segitu aja belum cukup deh." Suara yang sangat tidak asing itu membuat Joya memutar tubuh.
Gadis itu terperanjat ketika menemukan sahabat baiknya yang datang menemuinya."Aliya? Apa lo yang lakuin itu?"
Aliya menyunggingkan senyum. "Kenapa? Apa itu membuat lo kaget? Sama, gue juga kaget waktu tau seorang Joya nusuk sahabatnya sendiri dari belakang."
Seketika kening Joya mengerut. Ada apa dengan Aliya? Gadis itu terlihat berbeda, cara bicaranya begitu tidak biasa. "Maksud lo apa, Al?"
"Nggak usah sok polos Joya. Kurang apa sih Reynand? Apa lo masih mau ngerebut Seno sedangkan Reynand udah cukup sempurna, Joy?"
Joya terdiam. Ia memikiran apa yang sebenarnya Aliya maksud saat ini. Joya merasa tidak melakukan apa pun, lalu mengapa Aliya semarah itu?.
"Lo kayak anak kecil tau nggak? Apa lo harus ngerusak sepeda gue, Al?" Joya mengalihkan pembicaraan, dia berpikir kalau Aliya hanya tengah bergurau sekarang. Joya marah jika sepedanya yang menjadi sasaran, Juno adalah sepeda kesayangannya. Akan jauh lebih baik jika dia langsung yang menjadi sasaran, bukan benda mati seperti sepedanya.
"Yang kayak anak kecil itu elo, Joya!" Aliya kemudian mengeluarkan ponselnya, selanjutnya menunjukan foto Joya saat bersama Seno.
Foto tersebut menampilkan saat Joya memeluk Seno di pinggir jalan kemarin."Apa perlu fotonya dicetak biar jelas?" tanya Aliya dengan nada begitu ketus.
"Gue bisa jelasin tentang hal itu Al." Joya tidak menyangka kalau Aliya marah karena fotonya dengan Seno. Ia baru tahu jika sahabat baiknya telah salah paham.
"Jelasin apanya? Jelasin kalau lo suka sama dua orang sekaligus, iya?!" Aliya berteriak memaki. Dia sudah menahan amarah sejak perhatian Seno pada Joya waktu itu, dan kali ini foto tersebut yang sudah membuat kemarahannya memuncak.
"Nggak. Gue kemarin lagi nangis dan butuh seseorang buat nenangin—"
"Harus Seno gitu?" potong Aliya semakin murka. Gadis bermata bulat itu tertawa sumbang—tidak menyangka kalau Joya begitu egois.
"Itu cuma kebetulan karena kita—"
"Udah, Joy, cukup. Gue nggak mau denger apa pun lagi." Aliya langsung beranjak pergi meninggalkan Joya di parkiran.
Joya berusaha menghentikan Aliya, tetapi nihil karena gadis itu berjalan cepat meninggalkannya.
Lagi-lagi Joya menghela napas panjangnya, lelah dengan semua yang sedang terjadi. Bahkan, seolah semua menjadi bercabang.Joya memutuskan untuk mendorong sepedanya pulang ke rumah. Bukan hanya Reynand, tapi kini Aliya juga harus berurusan dengannya.
Ia terperanjat ketika ada sebuah motor ninja berhenti tepat di depannya. Joya pikir itu Reynand, tetapi ternyata Seno."Joy, sepedanya kenapa?" tanya pemuda itu setelah turun dari motornya.
"Sepedanya rusak," sahut Joya seadanya. Gadis itu mengedarkan pandangannya, takut kalau Aliya melihatnya tengah bersama Seno, lagi.
"Gue anterin aja ya, biar sepedanya nanti orang bengkel aja yang ambil?" Seno menawarkan bantuan dengan tulus.
"Nggak, nggak usah." Namun, Joya menolak dengan tegas. "Kak, Aliya itu suka sama lo, mendingan sekarang lo bicarain tentang kesalahpahaman kita. Aliya dapet foto kita waktu gue peluk lo di sisi jalan kemarin. Please, bikin Aliya percaya kalau foto itu cuma salah paham!" sambung Joya seraya memohon.
Seno mengerutkan keningnya, dia sudah tahu mengenai perasaan sahabat Joya kepadanya. Namun, Seno tidak memiliki perasaan apa pun. "Enggak perlu. Mendingan sekarang gue anter lo pulang."
"Kak, makasih lo udah baik sama gue, tapi gue nggak mau kebaikan lo membuat Aliya berpikir kalau gue berusaha rebut lo," tolak Joya lagi. Ia tidak ingin kebaikan pemuda itu disalahartikan oleh sahabatnya.
"Joy, kalau Aliya memang sahabat lo, udah seharusnya dia paham keadaan lo. Dia egois, nggak mau tau yang sebenarnya. Apa dia tau perasaan gue ke dia itu kayak apa? Gue anggap dia sebagai teman biasa, kayak cewek lain." Seno menjelaskan apa yang dia rasakan selama ini. Lagi pula, Aliya tidak pernah berada di ruang hatinya.
"Jadi lo nggak suka sama Aliya?"
"Enggak."
xx
Ia menatap fotonya dua tahun lalu ketika pertama kali masuk ke Starga—bertemu dengan gadis berwajah imut yang entah mengapa dulu pemalu.
Sesekali Aliya tersenyum melihat fotonya bersama Joya.Aliya merasa tidak tega kalau harus menjauh dari Joya di saat gadis itu sedang ada masalah. Di mana letak persahabatan mereka jika dirinya kini malah ikut menjauhi Joya. Padahal, jelas sahabatnya itu tengah membutuhkan teman untuk sekedar memberi dukungan.
Namun, saat Aliya mengingat kembali apa yang sudah Joya lakukan padanya, rasanya dia sudah tidak memiliki rasa persahabatan itu lagi.
Ia kecewa karena Joya begitu dekat dengan Seno, padahal dia sudah memiliki Reynand di sisinya.Tadi siang, Aliya sudah bertemu dengan Vino dan Andi untuk dia interogasi.
Ia penasaran dengan kalimat Reynand dan lainnya saat memperingatkannya untuk hati-hati pada Seno.Setelah tadi siang Vino dan Andi menjelaskan tentang masa lalu Reynand dengan Seno, barulah Aliya tahu kalau dulu Seno pernah merebut gebetan Reynand saat SMP.
Aliya jadi berpikir, ternyata Joya dan Seno sangat cocok. Keduanya sama-sama perebut gebetan sahabatnya sendiri.
Tiba-tiba, Aliya mengingat sesuatu yang lebih penting saat ini. "Siapa yang udah kirim foto Joya sama Seno ke gue?"
*****
Baca terus ya. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynand & Joya | END
Teen FictionFollow sebelum baca yuk, untuk mengikuti ceritanya. #645 dalam TEEN FICTION-11/3/2018 #961 dalam TEEN FICTION-9/2/2018 "Kuda poni! Dasar jelek, sinting, kutu kupret, tai lo. Maju sini, gue telen lo hidup-hidup!" teriak Joya mengerahkan semua kekesal...